Opini
Demi Kekuasaan, Netanyahu Korbankan Rakyatnya

Sebuah laporan mengungkap bahwa sepertiga keluarga di “Israel” kini hidup di bawah garis kemiskinan. Jutaan orang kesulitan membayar tagihan, anak-anak menderita kelaparan, dan para lansia terpaksa memilih antara membeli obat atau makan sehari-hari. Namun di tengah penderitaan ini, Netanyahu tetap sibuk mengobarkan perang, seolah-olah kehancuran ekonomi rakyatnya hanyalah efek samping yang sepele.
Netanyahu tampaknya telah menemukan solusi ajaib untuk semua masalahnya: perang. Ketika skandal korupsi mengejarnya, ketika rakyat mulai mempertanyakan kepemimpinannya, jawabannya selalu sama—lebih banyak bom, lebih banyak peluru, dan lebih banyak rakyatnya yang mati di garis depan. Mengapa mengurus kesejahteraan ketika perang bisa menjadi hiburan nasional yang memalingkan perhatian dari kegagalannya?
Dalam dunia Netanyahu, rakyatnya hanyalah pion dalam permainan catur politiknya. Mereka bisa lapar, kehilangan pekerjaan, dan jatuh dalam kemiskinan, asalkan ia tetap duduk manis di kursi kekuasaan. Ia tahu betul bahwa selama perang berkecamuk, ia bisa terus menjual ketakutan, memaksa rakyatnya percaya bahwa tanpa dirinya, mereka akan musnah dalam sekejap.
Lihat saja bagaimana Netanyahu memainkan kartunya. Alih-alih membangun perekonomian yang stabil atau memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, ia memilih membakar anggaran negara untuk mesin perang yang tidak pernah berujung pada kemenangan. Dengan dalih keamanan, ia mengabaikan kenyataan bahwa musuh terbesar warganya bukanlah musuh di luar, melainkan kebijakan ekonominya sendiri.
Sementara rakyatnya antre untuk mendapat bantuan makanan, Netanyahu terus menandatangani kontrak senjata. Di setiap rudal yang meluncur, ada uang pajak rakyatnya yang seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki layanan kesehatan, pendidikan, atau sekadar mencegah mereka jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Tapi tentu, perang lebih menguntungkan bagi karir politiknya daripada perut kenyang rakyatnya.
Ironisnya, rakyatnya masih banyak yang terjebak dalam propaganda. Mereka rela dikorbankan untuk perang yang tak akan pernah dimenangkan. Para tentara muda dikirim ke garis depan, bukan untuk melindungi negara, tetapi untuk menjaga agar Netanyahu tetap bertahan di kursi kekuasaan. Sementara itu, para oligarki terus menumpuk kekayaan dari industri perang yang tak ada habisnya.
Ketika angka kemiskinan melonjak, Netanyahu tak ambil pusing. Ia cukup melempar pidato heroik tentang ancaman yang harus ditumpas. Ia cukup menakut-nakuti rakyatnya dengan bayangan kehancuran agar mereka terus mendukungnya. Ia tahu, semakin takut rakyatnya, semakin mereka akan tunduk, dan semakin lama ia bisa bertahan dalam tahta politiknya yang berlumuran darah.
Di balik layar, Netanyahu mungkin tersenyum puas. Ia berhasil mengalihkan perhatian dari krisis dalam negerinya dengan membakar negeri lain. Ia berhasil meyakinkan dunia bahwa rakyatnya adalah korban, padahal mereka sendiri adalah korban dari ambisinya. Tidak ada yang lebih mengerikan daripada pemimpin yang lebih peduli dengan perangnya daripada rakyatnya sendiri.
Sejarah akan mencatat bahwa di bawah Netanyahu, rakyat “Israel” bukan hanya berperang melawan musuh di luar, tetapi juga melawan pemimpinnya sendiri. Mereka kelaparan, miskin, dan kehilangan harapan, tetapi Netanyahu tetap melangkah maju dengan langkah tegap, memastikan bahwa selama ia berkuasa, rakyatnya akan terus membayar harga untuk ambisi gilanya.