Connect with us

Opini

Dell: Wajah Baru Kolonialisme Digital Kita

Published

on

Dell tak lagi hanya menjual laptop tipis dengan iklan bernuansa startup muda dan masa depan cerah. Tidak juga sekadar logo biru di sudut belakang layar kerja para pekerja kantoran, mahasiswa, atau pegiat sosial. Kini, Dell adalah nama yang melekat erat pada sesuatu yang jauh lebih gelap dari casing hitam matte-nya: teknologi yang memfasilitasi pembunuhan massal, pengawasan total, dan genosida yang berlangsung dengan siaran langsung—disponsori oleh algoritma dan disoraki oleh kapitalisme.

Laporan Electronic Intifada dan The Cradle membuka sebuah jendela yang selama ini sengaja dikunci rapat dengan kata-kata netral seperti “pengadaan perangkat keras” atau “dukungan teknis.” Tapi mari kita sebut itu apa adanya: Dell memenangkan tender senilai $150 juta dari Kementerian Pertahanan zionis, menyuplai server, laptop, infrastruktur jaringan, dan tentu saja—dukungan teknis untuk unit-unit militer. Bukan sembarang unit, tapi mereka yang terlibat langsung dalam operasi-operasi yang bahkan menurut Mahkamah Internasional sudah menyerempet garis genosida.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Unit seperti Golani Brigade, yang bertanggung jawab atas pembantaian 15 paramedis di Rafah, dan Unit 8200, cyberwarfare elite yang mungkin terlalu bangga dengan “Where’s Daddy?“—sebuah sistem pintar nan keji yang membombardir orang setelah mereka kembali ke rumah. Ya, karena membunuh seseorang ketika sedang duduk bersama keluarga jauh lebih efisien jika dilakukan dengan bantuan AI dan jadwal rutin. Dan Dell, dengan keanggunannya, hadir di sana sebagai pemasok utama perangkat keras yang membuat itu semua berjalan lancar dan tanpa hambatan. Seperti driver update di hari Senin pagi.

Coba bayangkan sejenak: sebuah laptop Dell XPS, dengan kipas angin yang nyaris tak bersuara, membuka dashboard dari algoritma “Lavender,” yang secara otomatis menyusun daftar target yang akan dibunuh. Ini bukan metafora. Ini realitas. Dan di sinilah absurditas kita hari ini: algoritma tidak hanya merekomendasikan film atau makanan, tapi juga siapa yang layak hidup dan siapa yang harus dihapus dari muka bumi. Dan perusahaan seperti Dell tidak sekadar tahu, mereka membantu.

Ada waktu ketika kolonialisme datang dengan seragam militer dan kapal perang. Kini, kolonialisme datang dengan server rakitan, cloud infrastructure, dan surat kontrak bernilai ratusan juta dolar. Inilah wajah baru kolonialisme digital kita: tanpa penjajahan formal, tapi dengan kontrol penuh atas infrastruktur data, jaringan komunikasi, dan sistem pengawasan. Penjajahan yang tidak memakai senapan, tapi memakai sensor, kamera, dan login administrator.

Michael Dell, CEO perusahaan yang dulu identik dengan perlombaan teknologi melawan HP dan Lenovo, kini dengan bangga berpose dengan Presiden Israel dan mengunggah kalimat “Suatu kehormatan berdiri bersama Israel.” Di tengah tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung, ketika ribuan anak dibunuh dan satu bangsa dikepung hingga nyaris tak bisa bernapas, Dell memilih berdiri bukan sebagai penengah, tapi sebagai penyokong. Di dunia yang waras, kita menyebut itu sebagai komplikasi moral. Tapi dunia bisnis tak butuh moral, hanya laba.

Dan jangan lupakan fakta bahwa Dell juga menyumbang ke Friends of the IDF, sebuah organisasi yang secara terbuka mendanai militer zionis. Bayangkan seandainya sebuah perusahaan menyumbang ke kelompok bersenjata di Kongo atau Kolombia, lalu menyatakan diri sebagai pelopor etika dan inovasi. Dunia mungkin sudah gaduh. Tapi jika pelakunya punya saham di Nasdaq dan markas besar di Texas, semua terasa wajar. Kapitalisme punya cara yang sangat unik dalam mendefinisikan kekejaman.

Yang lebih memilukan adalah ketika korporasi-korporasi ini masih mengadakan seminar tentang “tanggung jawab sosial” dan membanggakan program ramah lingkungan. Mereka mempromosikan “sustainability” sambil mendukung sistem yang secara harfiah menghancurkan masa depan seluruh generasi. Mereka bicara soal “equity” sambil menyediakan perangkat keras bagi apartheid digital. Mereka bicara soal “human-centered AI,” padahal AI mereka secara aktif menargetkan manusia untuk dihabisi. Ironis, tapi bukan tanpa disengaja. Ini adalah desain, bukan kecelakaan.

Di Indonesia, kita juga tak bisa menutup mata. Laptop Dell tersebar di ruang-ruang kelas, kantor pemerintah, studio podcast, bahkan masjid dan pesantren. Dan wajar jika banyak yang belum tahu, karena kekejaman selalu datang lewat pintu belakang. Tapi setelah semua ini terbuka, masihkah kita merasa nyaman menatap layar yang sama, yang pada waktu lain digunakan untuk menandai siapa yang akan dibom berikutnya di Gaza?

Pertanyaan itu bukan untuk menumbuhkan rasa bersalah, tapi untuk menumbuhkan keberanian bertanya ulang: teknologi siapa yang kita pakai, dan untuk siapa kita bekerja tanpa sadar?

Mungkin sebagian akan berkata: “Tapi semua perusahaan besar juga sama.” Lalu kita memilih diam, pasrah, dan menyeka darah dengan tisu-tisu retorika netralitas. Tapi bukankah justru karena semua perusahaan besar sama, kita harus mulai memisahkan mana yang masih bisa diajak berpikir dan mana yang telah menjual nuraninya secara utuh?

Ada saat ketika boikot dianggap tak berguna. Kini, boikot adalah satu-satunya suara yang tersisa bagi mereka yang tidak punya pesawat tempur. Dell tak akan berhenti karena satu tulisan ini. Tapi suara kecil yang jujur, kalau cukup banyak, bisa jadi retakan di fondasi paling kokoh. Apalagi jika datang dari ruang-ruang seperti milik kita—yang selama ini cuma dianggap konsumen pasif dari kolonialisme digital mereka.

Kita tidak bisa mengalahkan mereka di medan perang server. Tapi kita bisa membuat mereka kehilangan panggung. Kita bisa menyebut mereka bukan sebagai pelopor teknologi, tapi sebagai penyedia alat pembunuh bersertifikasi cloud. Kita bisa memaksa publik untuk berhenti memisahkan teknologi dari etika, karena pisau juga teknologi—tapi tetap saja bisa disebut senjata pembunuh, tergantung siapa yang memegangnya.

Dell hari ini bukan sekadar merek. Ia adalah simbol dari kematian moral korporasi global. Sebuah wajah baru kolonialisme yang tidak datang dari pelabuhan, tapi dari data center. Dan jika kita masih percaya bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari efisiensi dan kecepatan komputasi, maka mungkin sudah waktunya menekan tombol shutdown. Bukan pada komputer kita, tapi pada sistem yang menjadikan nyawa manusia hanya deretan angka di layar server.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer