Opini
Deklarasi Arab: Damai Palsu, Tikam Perlawanan Gaza

Pada tanggal 29 Juli di New York, dalam sebuah sesi yang katanya diadakan untuk “menghidupkan kembali solusi dua negara,” sejumlah negara Arab, Turki, dan bahkan Uni Eropa berkumpul. Dengan wajah serius dan raut yang sok bijak, mereka menandatangani sebuah deklarasi: menyerukan agar Hamas dilucuti senjatanya dan melepaskan kendali atas Gaza. Sekilas terdengar seperti upaya perdamaian, diplomasi, dan jalan keluar. Namun jika direnungkan lebih dalam—atau cukup menyimak fakta lapangan yang paling kasat mata—deklarasi ini lebih menyerupai surat pengunduran diri kolektif dari akal sehat. Atau lebih tepatnya: persekongkolan global untuk membungkam satu-satunya bentuk perlawanan yang tersisa.
Bagaimana bisa kita berbicara tentang “kedamaian” sambil meminta rakyat Palestina—yang telah dikepung, dibombardir, dikuliti dari tanah dan martabatnya selama lebih dari tujuh dekade—untuk menyerah begitu saja? Ironisnya, permintaan itu datang dari saudara sendiri. Negara-negara Arab yang selama ini lebih sering duduk nyaman di hotel bintang lima daripada di tenda pengungsian, lebih sibuk mengatur normalisasi diplomatik dengan Tel Aviv ketimbang mengatur logistik bantuan untuk Rafah, kini tiba-tiba tampil ke panggung seolah pembawa damai. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada dikhianati oleh mereka yang seharusnya berdiri di belakangmu—bahkan dalam diam.
Hamas, dengan segala kontroversinya, bukanlah entitas tanpa cacat. Tapi mari bicara jujur: tanpa Hamas, siapa yang akan menolak tank-tank zionis yang masuk ke Gaza? Tanpa perlawanan bersenjata, siapa yang akan menghalau aneksasi? Tanpa suara ledakan di langit Gaza, adakah yang masih peduli jika anak-anak Palestina mati kelaparan, satu demi satu, dalam sunyi? Ketika Arab meminta Hamas meletakkan senjata, itu bukan sekadar tuntutan politik—itu adalah permintaan agar Palestina menyerahkan napas terakhirnya dengan tenang. Seperti seorang pasien yang dirawat di ICU, diminta mencabut alat bantu hidup, demi “ketenangan keluarga.”
Dan jika benar perlawanan harus dilucuti agar solusi dua negara terwujud, maka izinkan kami bertanya: apakah Tepi Barat sudah merdeka? Bukankah di sana Otoritas Palestina—yang katanya moderat, yang katanya mitra damai Israel—telah lama memerintah tanpa satu peluru pun? Tapi mengapa justru Tepi Barat yang kini menjadi ladang aneksasi paling brutal, tempat pemukiman ilegal tumbuh seperti jamur di musim hujan, dan rakyat Palestina ditembaki bahkan ketika sedang bercocok tanam? Di mana janji damai yang dijanjikan kepada mereka yang telah lebih dulu menyerah?
Sungguh menarik, betapa narasi “perdamaian” ini selalu datang bersama syarat bahwa pihak yang tertindas harus lebih dulu menurunkan tangan, menurunkan suara, menurunkan kepala. Mereka diminta menyerah demi mendapatkan negara, tetapi tanpa dijanjikan tanah, keamanan, atau kedaulatan. Bahkan hak untuk bernapas kini tampaknya harus dinegosiasikan. Lihat saja Gaza hari ini. Di bawah blokade Israel, rakyatnya hidup dalam kondisi yang tak layak bahkan untuk seekor kambing di pinggiran Jakarta. Listrik padam, air bersih minim, rumah hancur, anak-anak mati kelaparan. Tapi yang didesak untuk berubah adalah Hamas. Bukan Israel.
Mereka—para penandatangan deklarasi itu—menyerukan agar senjata diserahkan kepada Otoritas Palestina. Ya, kepada PA yang bahkan untuk mengeluarkan paspor saja butuh restu dari Tel Aviv. Kepada PA yang diam saat para pemukim Yahudi membakar desa-desa, saat remaja Palestina diculik malam-malam, dan saat Al-Aqsa dinodai. Ini seperti meminta seorang korban perampokan menyerahkan pisau dapurnya kepada tetangga yang sudah lama bekerjasama dengan perampok. Demi keamanan, katanya. Demi solusi dua negara.
Namun mari kita jujur pada diri sendiri. Solusi dua negara kini tinggal dongeng. Bahkan Israel pun sudah tak lagi berpura-pura mendukungnya. Mereka membangun tembok lebih tinggi, memperluas permukiman lebih jauh, dan kini terang-terangan mengancam akan menganeksasi sebagian Gaza jika Hamas tak menyerah. Anehnya, sebagian negara Arab malah merespons dengan memoles wajah zionis, merapikan dasi, dan mengatur agenda pertemuan baru. Seolah dengan menjinakkan Gaza, mereka bisa meraih tiket menuju “stabilitas regional.” Padahal yang mereka kejar sebenarnya bukan perdamaian, tapi perjanjian dagang.
Apakah mereka tidak sadar, atau pura-pura tidak sadar, bahwa satu-satunya alasan dunia masih mendengar tentang Palestina hari ini adalah karena perlawanan itu masih hidup? Bahwa suara-suara di PBB, protes mahasiswa, boikot internasional, dan semua gerakan solidaritas itu mendapat nyala justru karena Hamas dan kelompok perlawanan lain menolak tunduk? Tanpa mereka, Gaza sudah tinggal sejarah, Palestina tinggal museum, dan perjuangan tinggal label harga di toko souvenir Ramallah.
Sungguh tragis, ketika rakyat Indonesia—yang jaraknya ribuan kilometer dari Gaza—menggalang dana, menekan pemerintah untuk bersikap, dan menggelar doa di masjid-masjid, justru negara-negara yang hanya selemparan batu dari Palestina malah sibuk merancang peta baru tanpa Hamas. Mereka khawatir pada opini dunia, tapi tak takut pada murka sejarah. Mereka lebih peduli bagaimana agar tampak moderat di hadapan Barat, daripada bagaimana menjaga hak hidup rakyat Palestina. Ini bukan hanya pengkhianatan, tapi juga pengabadian kolonialisme dalam rupa yang lebih halus, lebih rapi, dan lebih fotogenik.
Mungkin memang benar, seperti yang sering dikatakan orang-orang bijak: jika tidak bisa membantu, lebih baik diam. Karena ketika suara yang keluar justru mendesak penyerahan tanpa syarat, maka suara itu bukan lagi suara diplomasi—melainkan gema dari ruangan-ruangan dingin di Washington dan Tel Aviv yang sedang menyusun langkah selanjutnya untuk menggulung tanah, sejarah, dan darah rakyat Palestina.
Tak semua yang tampak seperti upaya perdamaian benar-benar menginginkan kedamaian. Kadang, perdamaian hanyalah kata lain dari pemakaman tanpa bunyi. Maka jika deklarasi ini disebut sebagai “sejarah baru,” kita patut bertanya: sejarah untuk siapa? Dan siapa yang akan dikubur bersamanya?
Sementara dunia berbicara tentang solusi, Gaza terus terkubur dalam reruntuhan. Dan suara-suara yang mestinya membela, kini justru memutar mikrofon ke arah rakyat Palestina sambil berkata: “Sudah, berhentilah melawan. Lelah kami mendengarmu berteriak.” Maka biarlah kami yang menjawab: lebih baik berdarah dalam perlawanan daripada hidup dalam pengkhianatan. Karena senjata yang dirampas hari ini adalah nisan untuk generasi esok. Dan sejarah, seperti yang kita tahu, tak pernah memaafkan mereka yang memilih diam di saat perjuangan menuntut suara.