Connect with us

Opini

Dejavu Suriah: Rezim Baru, Wajah Lama

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Suriah kembali berada dalam pusaran konflik yang mengancam stabilitas kawasan, meskipun pemerintahan baru telah terbentuk. Namun, pergantian rezim ini lebih terlihat sebagai perubahan kosmetik belaka. Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), kelompok yang sebelumnya dikenal sebagai al-Nusra Front, kini memainkan peran sentral dalam pemerintahan. Wajah baru ini ternyata membawa pendekatan lama yang represif dan sektarian, menimbulkan keraguan serius terhadap masa depan Suriah.

Laporan dari sejumlah media sosial menunjukkan bahwa HTS tidak hanya melanjutkan tindakan represif terhadap oposisi tetapi juga memperdalam konflik sektarian yang melibatkan minoritas Alawi. Pada masa lalu, HTS dituding melakukan serangkaian kekerasan brutal terhadap kaum Alawi, termasuk serangan terhadap desa-desa Alawi, penculikan massal, hingga pembantaian warga sipil yang terekam dalam video yang beredar luas di media sosial. Salah satu insiden yang banyak mendapat perhatian adalah serangan terhadap desa Maaloula, sebuah kawasan yang menjadi simbol keberagaman agama di Suriah, di mana penduduknya dipaksa meninggalkan keyakinan mereka atau menghadapi ancaman kematian.

Salah satu insiden yang paling mencolok terjadi akhir-akhir ini adalah penembakan demonstran di Homs, di mana aksi protes damai berubah menjadi tragedi berdarah akibat tindakan represif aparat yang kini berada di bawah pengaruh HTS. Tindakan ini membangkitkan kembali ingatan akan awal konflik Suriah pada 2011, ketika protes damai yang menuntut reformasi berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan. Penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa ini menunjukkan bahwa klaim HTS sebagai kelompok yang telah mengadopsi pendekatan moderat tidak lebih dari upaya untuk mengubah citra mereka di mata dunia.

Sejumlah video yang beredar di media sosial menggambarkan gambaran kekerasan sektarian yang terjadi. Salah satunya menunjukkan seorang pria yang diikat di tiang di tempat umum, disiksa dengan brutal oleh pria berseragam tentara yang membawa senjata. Video lain memperlihatkan dua pria berseragam tentara memukuli seorang pemuda Alawi dan memerintahkannya untuk mengonggong, sebuah bentuk penghinaan yang jelas menunjukkan kebrutalan. Di video lainnya, terlihat bagaimana sejumlah orang dibunuh oleh tentara dalam aksi kekerasan yang tak terhitung jumlahnya. Kekerasan ini semakin memperlihatkan wajah lama dari rezim yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan baru yang lebih moderat.

Namun, sebagian kalangan justru menuduh Iran sebagai pihak yang menyebarkan konflik sektarian di Suriah. Tuduhan ini, alih-alih menyelesaikan masalah, justru mengaburkan persoalan sesungguhnya, yaitu perlakuan tidak adil yang diterima oleh kaum Alawi. Tuduhan semacam ini hanya bertujuan untuk memperkeruh situasi, menciptakan kambing hitam tanpa memperbaiki keadaan. Iran, yang selama ini mendukung pemerintahan Suriah dalam menghadapi kelompok ekstremis, justru menjadi sasaran kritik yang tidak berdasar. Hal ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian dari akar permasalahan, yaitu kebijakan diskriminatif dan kekerasan yang dilakukan oleh HTS terhadap komunitas minoritas.

Lebih mengkhawatirkan lagi, media mainstream tampaknya bungkam terhadap realitas kekerasan ini. Video dan laporan independen yang tersebar di media sosial sering kali menjadi satu-satunya sumber informasi tentang kebrutalan HTS. Namun, laporan ini jarang mendapatkan perhatian di panggung internasional. Bungkamnya media arus utama ini menimbulkan pertanyaan besar tentang objektivitas dan keberpihakan dalam melaporkan konflik Suriah. Padahal, bukti-bukti yang tersebar menunjukkan bahwa HTS masih melanjutkan pola lama mereka, termasuk intimidasi dan penindasan terhadap komunitas minoritas.

Kegagalan komunitas internasional untuk mengutuk tindakan sektarian ini hanya akan memperburuk situasi. Jika persoalan ini tidak segera dituntaskan, Suriah berisiko terjerumus lebih dalam ke dalam konflik sektarian yang lebih luas, dengan implikasi yang mengancam stabilitas kawasan. Minoritas seperti kaum Alawi akan terus menghadapi ancaman eksistensial, sementara masyarakat internasional yang memilih diam akan menjadi saksi dari tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung.

Pemerintahan HTS, meski dengan wajah baru, jelas tidak membawa angin perubahan. Rezim ini tetap mengandalkan taktik lama yang represif dan diskriminatif. Dunia harus mengambil sikap tegas dan tidak membiarkan Suriah menjadi medan uji coba baru bagi kelompok-kelompok ekstremis. Perubahan sejati hanya akan terjadi jika semua pihak, termasuk minoritas yang telah lama tertindas, diberikan ruang dan perlindungan untuk berpartisipasi dalam membangun masa depan Suriah.

 

*Sumber: @NewRulesGeopolitics

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *