Opini
Déjà Vu: Saudi-UEA di Jebakan AS, Dukung Israel di Yaman?

Di tengah debur ombak Laut Merah, langit Yaman kembali diterangi kilatan ledakan. Pada 16 April 2025, laporan Al Mayadeen menggambarkan serangan udara AS yang menghantam Sanaa, Saada, dan Pulau Kamaran, menewaskan ratusan warga sipil, termasuk 32 orang di pabrik keramik al-Sawari. Tak lama berselang, Al-Masirah TV melaporkan serangan rudal dan artileri Saudi di perbatasan Saada, diikuti kabar rencana ofensif darat milisi proksi UEA di Hodeidah, didukung kontraktor AS (The Cradle, 16 April 2025). Pemandangan ini bagai déjà vu, mengingatkan kita pada 2015, ketika koalisi Saudi-UEA, dengan restu Barat, membombardir Yaman. Namun, kini ada lapisan baru: serangan Houthi di Selat Bab al-Mandab, yang diklaim sebagai solidaritas dengan Palestina, menempatkan Saudi dan UEA dalam posisi sulit. Keterlibatan mereka bersama AS berisiko membuat publik memandang mereka sebagai pendukung tak langsung Israel, sebuah tuduhan yang dapat mengguncang legitimasi mereka di mata masyarakat Arab.
Sepuluh tahun lalu, Operasi Decisive Storm meluncurkan rentetan bom ke Yaman, dipimpin Saudi dan UEA untuk mengusir Houthi dari Sanaa. Didukung logistik dan senjata AS serta Inggris, koalisi itu menyebabkan 24.000 korban sipil hingga 2019, menurut laporan PBB (UN Human Rights Council, 2019). Kini, AS memimpin langsung dengan lebih dari 350 serangan udara sejak Maret 2025, menewaskan 338-340 warga sipil, termasuk 117 kematian di pemukiman seperti al-Nahda (Al Mayadeen, 16 April 2025). Saudi, meski hanya melancarkan serangan perbatasan terbatas di Saada, dan UEA, melalui milisi proksi yang merencanakan serangan ke Hodeidah, tampak mengulangi peran mereka sebagai sekutu Barat. Namun, konteksnya berbeda: Houthi kini menyerang kapal terkait Israel di Laut Merah, mengganggu 12% perdagangan global (UNCTAD, 2024), dengan dalih mendukung Palestina. Ini menempatkan Riyadh dan Abu Dhabi dalam dilema geopolitik yang rumit.
Houthi, atau Ansarullah, telah mengubah narasi konflik. Serangan mereka di Selat Bab al-Mandab, yang dimulai Oktober 2023 sebagai respons terhadap serangan Israel ke Gaza, menargetkan kapal yang diduga menuju Israel, meningkatkan biaya pelayaran hingga 60% (Bloomberg, Januari 2025). Dengan korban di Gaza mencapai 43.000 jiwa (UN OCHA, Maret 2025), Houthi memanfaatkan kemarahan regional, mendapatkan dukungan dari Hamas, Hizbullah, dan Jihad Islam Palestina. Laporan The Cradle menyebutkan Houthi bersumpah membalas serangan AS, bahkan menargetkan USS Harry S. Truman. Narasi “perlawanan terhadap Zionis” ini membuat keterlibatan Saudi dan UEA bersama AS berisiko disalahartikan. Jika Saudi atau UEA mendukung operasi AS, mereka bisa dianggap memihak Israel, sebuah tuduhan yang sangat sensitif mengingat isu Palestina tetap menjadi pemicu emosi publik Arab, dengan 89% warga Timur Tengah menentang normalisasi dengan Israel (Arab Barometer, 2024).
Keterlibatan Saudi saat ini tampak hati-hati. Laporan The Cradle menyatakan pejabat Saudi menolak mendukung ofensif darat di Hodeidah, kemungkinan karena trauma kegagalan 2018, ketika tiga operasi koalisi gagal merebut pelabuhan itu. Serangan Houthi balasan, termasuk drone ke fasilitas Aramco di Jeddah, mengganggu 5% pasokan minyak global (Reuters, Maret 2019). Kini, Saudi juga terikat perjanjian damai dengan Iran yang dimediasi China pada 2023, yang mendorong Riyadh menjaga jarak dari eskalasi anti-Houthi yang dapat memicu Teheran, pendukung utama Houthi. Namun, serangan perbatasan Saudi di Saada, hanya beberapa jam setelah serangan udara AS pada 16 April 2025, menunjukkan keterlibatan minimal yang tetap menempatkan mereka dalam orbit AS. Ini menciptakan persepsi bahwa Saudi, meski enggan, masih selaras dengan agenda Barat yang dipandang pro-Israel oleh sebagian publik.
UEA, sebaliknya, tampak lebih agresif. The Wall Street Journal (16 April 2025) melaporkan milisi proksi UEA, dengan bantuan kontraktor keamanan AS, merencanakan ofensif untuk menguasai Hodeidah, pelabuhan yang menangani 70% impor pangan Yaman (WFP, 2024). Ini mengingatkan pada ambisi UEA pada 2015-2018, ketika mereka mendukung pasukan Separatis Selatan untuk mengontrol pantai Yaman. Namun, keterlibatan dengan AS dalam konteks serangan Houthi pro-Palestina menempatkan UEA dalam sorotan. Sejak menandatangani Abraham Accords pada 2020, UEA telah menjalin hubungan ekonomi dengan Israel, dengan perdagangan bilateral mencapai $2,6 miliar pada 2023 (Israel Ministry of Economy). Jika ofensif Hodeidah berhasil, UEA mungkin memperkuat pengaruhnya di Yaman, tetapi jika gagal, seperti upaya Saudi 2018, mereka berisiko menghadapi serangan balasan Houthi dan tuduhan mendukung Israel, yang dapat memicu kemarahan publik domestik.
Déjà vu dari 2015 terasa kuat karena pola kerusakan yang sama. Serangan udara AS telah merusak infrastruktur sipil, seperti Bandara Sanaa dan proyek air di Hodeidah, menggemakan serangan koalisi Saudi yang menghancurkan 50% fasilitas kesehatan Yaman hingga 2019 (WHO, 2019). Laporan Al Mayadeen mencatat 338 korban sipil sejak Maret 2025, dengan serangan di al-Sawari dan al-Nahda menunjukkan pelanggaran potensial terhadap hukum humaniter internasional, mirip dengan temuan PBB pada 2019 tentang serangan “sistematis” koalisi Saudi. Keterlibatan Saudi dan UEA, meski berbeda dalam intensitas, memperkuat kesan bahwa mereka mengulangi peran sebagai sekutu Barat, sebuah posisi yang kini diperumit oleh narasi Houthi. Postingan di X dari analis seperti Elijah J. Magnier (16 April 2025) menyoroti bahwa serangan AS gagal menghentikan Houthi, namun Saudi dan UEA tetap terjebak dalam dinamika yang membuat mereka tampak complicit dalam agenda anti-Palestina.
Dilema Saudi dan UEA diperparah oleh tekanan domestik dan regional. Survei Arab Barometer (2024) menunjukkan 76% warga Saudi dan 68% warga UEA menentang intervensi militer asing di Yaman, sementara 92% mendukung perjuangan Palestina. Keterlibatan mereka bersama AS, bahkan jika terbatas, dapat memicu protes domestik, seperti yang terjadi di Arab Saudi pada 2018 setelah serangan koalisi di Hodeidah. Sementara itu, solidaritas regional dengan Houthi, dari Suriah hingga Hizbullah, memperkuat narasi bahwa Saudi dan UEA, dengan mendukung AS, secara tidak langsung membantu Israel menekan “poros perlawanan.” Ancaman Trump terhadap Iran (Reuters, 15 April 2025) atas dukungannya untuk Houthi juga menambah tekanan pada Riyadh dan Abu Dhabi untuk tidak terlihat sebagai bagian dari front anti-Iran yang dipandang pro-Israel.
Keterlibatan Saudi dan UEA dalam operasi AS ini adalah déjà vu yang pahit. Seperti pada 2015, mereka berjalan di tali tipis antara kepentingan keamanan dan tekanan publik. Namun, kini, dengan Houthi membingkai perjuangan mereka sebagai dukungan untuk Palestina, setiap langkah Saudi dan UEA di sisi AS memperkuat tuduhan bahwa mereka mendukung Israel. Ini bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga soal legitimasi di mata rakyat mereka sendiri. Laporan Al Mayadeen dan The Cradle menunjukkan bahwa Yaman sekali lagi menjadi medan pertempuran proksi, tetapi dengan taruhan yang lebih tinggi: persepsi publik yang dapat mengguncang stabilitas domestik Saudi dan UEA. Solusi militer, seperti yang terbukti pada 2015, hanya akan memperdalam krisis. Diplomasi, termasuk mendukung gencatan senjata di Gaza dan pembicaraan damai di Yaman, adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari lingkaran setan ini.
Sumber Data:
- Al Mayadeen, “US Bombs Yemeni Capital, Surrounding Regions,” 16 April 2025.
- The Cradle, “Saudi Arabia Bombs Yemen Border Areas Hours After Intense US Airstrikes,” 16 April 2025.
- UN Human Rights Council, “Yemen: Situation of Human Rights,” 2019.
- UNCTAD, “Global Trade Update,” 2024.
- Bloomberg, “Red Sea Disruptions Increase Shipping Costs,” Januari 2025.
- UN OCHA, “Gaza Humanitarian Update,” Maret 2025.
- Arab Barometer, “Public Opinion in the Middle East,” 2024.
- Reuters, “Houthi Attack on Saudi Aramco,” Maret 2019; “Trump Warns Iran,” 15 April 2025.
- WFP, “Yemen Food Security Update,” 2024.
- Israel Ministry of Economy, “UAE-Israel Trade,” 2023.
- WHO, “Yemen Health Crisis,” 2019.
- Postingan X, Elijah J. Magnier, 16 April 2025.