Connect with us

Opini

Darurat Militer: Siapa Sebenarnya Diuntungkan?

Published

on

Ilustrasi simbolik darurat militer: papan besar kuning dengan tulisan merah ‘Darurat Militer’, latar kota dengan siluet tentara dan warga, dan efek asap dramatis.

Asap dan bau hangus masih menyelimuti kota-kota yang menjadi saksi gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus 2025. Halte, gedung pemerintah, dan jalanan rusak, sementara korban terus berjatuhan. Affan Kurniawan di Jakarta, empat orang terjebak di kantor DPRD Makassar, Rheza Sendy Pratama di Yogyakarta, dan tukang becak Sumari di Solo—mereka adalah wajah-wajah yang membayar harga paling nyata dari ketegangan ini. Di tengah kekacauan ini, muncul narasi dari seorang influencer, Ferry Irwandi, yang menyebut adanya upaya pihak tertentu untuk “cipta kondisi” dan menargetkan darurat militer sebagai tujuan akhir. Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang diuntungkan, dan apakah klaim ini masuk akal jika disandingkan dengan fakta di lapangan?

Menurut Ferry, kerusuhan bukan semata-mata spontanitas massa atau protes warga biasa. Ia menegaskan bahwa ada akun-akun anonim yang sengaja memprovokasi, buzzer ribuan, dan strategi tersembunyi yang diarahkan untuk menciptakan kondisi kacau. Tujuan akhir, kata Ferry, adalah legitimasi darurat militer. Jika kita mengikuti logika ini, maka pihak yang ingin darurat militer secara otomatis menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kerusuhan. Logika sederhana: siapa yang menginginkan darurat militer, dialah yang diuntungkan, dan dengan begitu berpotensi merupakan dalang “cipta kondisi.” Namun, logika ini juga menuntut pertanyaan kritis: apakah fakta korban dan kerusakan mendukung klaim adanya dalang tunggal yang ingin mengatur segalanya?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Darurat militer di Indonesia, menurut UUD 1945 dan UU No. 23 Tahun 1959, hanya dapat diterapkan dalam kondisi perang atau ancaman serius terhadap keamanan negara. Penerapannya memberikan kekuasaan besar kepada militer: hak untuk menahan warga tanpa prosedur hukum normal, kontrol penuh atas publik, penyitaan aset, hingga pembatasan hak sipil. Jika kerusuhan yang terjadi benar-benar dimanfaatkan untuk tujuan ini, maka jelas pihak yang ingin status darurat adalah pihak yang paling diuntungkan. Dari perspektif publik, ini menimbulkan kekhawatiran serius: bukan hanya hilangnya hak, tapi juga risiko keselamatan warga biasa yang sudah menderita akibat bentrokan.

Namun, jika menelusuri fakta lapangan, narasi “dalang cipta kondisi” menjadi lebih kompleks. Korban yang tewas dan terluka sebagian besar adalah warga sipil tanpa keterkaitan politik jelas: tukang becak Sumari di Solo, mahasiswa Rheza di Yogyakarta, atau warga yang terjebak di tengah kerusuhan di Makassar. Ini menunjukkan bahwa kerusuhan tidak sepenuhnya bisa dipandang sebagai skenario yang sempurna untuk tujuan darurat militer. Fakta ini menimbulkan dilema: jika ada pihak yang diuntungkan dari darurat militer, bukankah kerusuhan yang tidak terkontrol justru bisa menjadi boomerang bagi mereka sendiri? Dalam hal ini, klaim Ferry harus dibaca sebagai hipotesis yang memerlukan pembuktian lebih lanjut, bukan kesimpulan final.

Selain itu, klaim Ferry mengenai akun anonim dan buzzer yang memicu kerusuhan juga menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang benar-benar diuntungkan. Apakah ribuan akun anonim dan buzzer itu benar-benar terkoordinasi, atau sebagian besar hanyalah spontanitas online yang memanfaatkan kerusuhan untuk menyebarkan opini dan provokasi? Jika tujuan utamanya adalah darurat militer, maka keberadaan korban nyawa dan kerusakan masif justru bisa menimbulkan persepsi publik negatif terhadap status darurat itu. Dalam konteks ini, pihak yang diuntungkan harus berhitung lebih teliti: apakah keuntungan politik atau kontrol militer sebanding dengan kerugian sosial dan kemarahan publik?

Kita juga harus menyoroti tanggung jawab aparat dan pemerintah. Data dari laporan Tempo menunjukkan bahwa bentrokan antara polisi dan massa menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan lainnya. Insiden seperti Affan Kurniawan yang dilindas mobil Brimob atau korban kebakaran kantor DPRD Makassar menekankan bahwa aparat sendiri berperan besar dalam eskalasi. Jika klaim Ferry tentang pihak yang ingin darurat militer benar, maka logikanya mereka bukan hanya diuntungkan dari kekacauan, tapi juga harus memiliki pengaruh terhadap aparat untuk memastikan situasi tetap sesuai skenario. Fakta ini menunjukkan kerumitan yang nyata: siapa yang diuntungkan bukan hanya dalang teoritis, tetapi juga struktur aparat yang rentan salah urus.

Dampak langsung terhadap masyarakat jelas: kerusakan fasilitas publik, terganggunya layanan, trauma psikologis, dan kehilangan pekerjaan atau kesempatan. Darurat militer yang diterapkan di tengah situasi seperti ini akan menambah penderitaan. Warga yang sudah menjadi korban kekerasan atau kehilangan fasilitas akan semakin terjebak, sementara pihak yang diuntungkan memperoleh kontrol dan legitimasi. Dalam perspektif ini, klaim Ferry menuntun kita pada hipotesis yang masuk akal: siapa pun yang menginginkan darurat militer berpotensi mendapatkan keuntungan kekuasaan dan kontrol atas rakyat yang sudah menderita.

Namun, kita juga perlu skeptis terhadap klaim sepihak. Tidak ada bukti konkret bahwa kerusuhan di berbagai kota benar-benar direncanakan untuk tujuan itu. Banyak insiden menunjukkan spontanitas massa, frustrasi yang meluas, dan kesalahan aparat sebagai pemicu. Dengan kata lain, pihak yang diuntungkan mungkin tidak selalu sama dengan pihak yang memprovokasi atau mengatur kerusuhan. Dalam konteks analisis kritis, kita harus memisahkan antara niat yang diklaim dengan dampak nyata di lapangan, agar logika kita tidak hanya mengikuti narasi yang terdengar dramatis.

Selain itu, klaim tentang siapa yang diuntungkan membuka pertanyaan etis: jika benar ada pihak yang menginginkan darurat militer, apakah wajar mereka mempertaruhkan nyawa warga biasa demi tujuan politik atau kekuasaan? Fakta bahwa korban adalah orang-orang yang tidak terkait politik, termasuk mahasiswa, pekerja, dan warga biasa, menunjukkan bahwa klaim “dalang cipta kondisi” bisa menjadi terlalu reduktif. Masalahnya lebih kompleks daripada hanya menuding satu pihak; ada interaksi spontan, kesalahan aparat, dan eskalasi yang tak terkontrol.

Darurat militer sendiri membawa risiko besar bagi demokrasi. Hak untuk berkumpul, menyampaikan pendapat, dan mendapatkan informasi terbatas. Fasilitas publik terhambat, aktivitas ekonomi melambat, dan rasa aman publik menurun drastis. Pihak yang diuntungkan mungkin memperoleh kekuasaan dan kontrol, tapi publik membayar harga tinggi: hilangnya ruang sipil, korban jiwa, trauma, dan ketidakpercayaan terhadap institusi negara. Inilah paradoks logika Ferry: keuntungan bagi dalang potensial berbanding lurus dengan penderitaan publik.

Analisis lebih jauh juga menunjukkan bahwa publik memiliki “senjata” sendiri: informasi, kesadaran, dan pengawasan terhadap aparat. Alih-alih mengikuti narasi sepihak, memahami strategi kekuasaan, menyoroti klaim cipta kondisi, dan menuntut pertanggungjawaban aparatur lebih efektif. Dalam hal ini, kesadaran masyarakat menjadi alat yang jauh lebih berdaya daripada sekadar teori atau klaim di media sosial. Mereka yang ingin darurat militer mungkin diuntungkan, tapi jika masyarakat kritis dan terinformasi, potensi kekuasaan itu bisa terkendali.

Akhirnya, pertanyaan tentang siapa yang diuntungkan membawa kita kembali ke logika sederhana: jika klaim Ferry benar, dalang cipta kondisi adalah pihak yang ingin darurat militer; pihak yang diuntungkan adalah pihak yang memperoleh kontrol dan legitimasi dari status itu. Namun, fakta lapangan menunjukkan kompleksitas: korban nyata, kerusakan masif, dan spontanitas massa tidak sepenuhnya selaras dengan skenario dalang tunggal. Analisis kritis menuntut keseimbangan: mengakui kemungkinan niat tersembunyi, namun tetap menekankan fakta, korban, dan dampak nyata bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, masyarakat seharusnya fokus pada hal-hal yang dapat dikontrol: pengawasan, tuntutan transparansi, pelaporan korban, dan perlindungan hak sipil. Klaim cipta kondisi dan darurat militer boleh dianalisis, tapi jangan sampai menutupi fakta bahwa rakyatlah pihak yang paling menderita. Siapa yang diuntungkan? Logikanya, dalang potensial. Siapa yang dirugikan? Publik. Dan pertanyaan kritis tetap sama: apakah kerusuhan ini benar-benar diatur, atau kita sedang menyusun narasi dari fragmen fakta yang kompleks?

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Dalang Kerusuhan Mengaburkan Tuntutan Rakyat

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer