Connect with us

Opini

Dari Teroris ke Diplomatik: Politik Suriah yang Ironis

Published

on

Asaad Hassan al-Shaibani, Menteri Luar Negeri dari pemerintahan transisi Suriah yang didominasi oleh mantan pemimpin kelompok ekstremis, pada 13 Februari,  menghadiri konferensi internasional di Paris. Tidak salah lagi, ini adalah momen bersejarah: sepertinya dunia tidak hanya memaafkan mereka yang pernah mengibarkan bendera Al-Qaeda, tetapi juga menjadikannya bagian dari percakapan resmi. Sebuah evolusi politik yang luar biasa, bukan?

Kehadiran Shaibani, yang sebelumnya dikenal dengan nama Zaid al-Attar—sang pengurus hubungan luar negeri untuk kelompok yang dulu kita kenal sebagai Nusra Front, kini melangkah ke Paris. Bukan untuk sekadar jalan-jalan atau mencari inspirasi arsitektur Prancis, tapi untuk duduk bersama negara-negara besar yang dulu berperang melawan orang-orang seperti dia. Tak perlu ditanya lagi, dunia memang benar-benar punya cara unik untuk “memperbaiki” kesalahan sejarah.

Berbicara tentang perubahan, Prancis dan Jerman—dua negara yang pernah dengan penuh semangat mengecam kelompok ekstremis ini—sekarang seolah-olah berkata, “Ah, tidak apa-apa, mari kita lanjutkan percakapan!” Prancis, dengan percaya diri, mengatakan bahwa mereka bekerja sama dengan rekan-rekan Eropa untuk mencabut sanksi terhadap Suriah. Sanksi yang dulu diberlakukan untuk menanggulangi kejahatan yang sama kini menjadi hambatan bagi “transisi” yang sangat damai ini. Lucu, bukan?

Jerman juga menambah kegembiraannya, dengan pernyataan bahwa mereka sedang “berkerja langkah demi langkah” untuk mencabut sanksi. Jelas, langkah-langkah ini sangat hati-hati—seperti mencoba menyeberangi jalan yang penuh dengan lubang sambil mengenakan sepatu kaca. Tetapi jangan khawatir, karena mereka yang dulu menguasai medan pertempuran dengan nama-nama seperti Al-Qaeda dan ISIS kini duduk di meja perundingan dengan senyuman yang sangat diplomatis.

Keadaan ini menjadi semakin menarik ketika mengingat latar belakang Ahmad al-Sharaa, yang dulu dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani, pemimpin yang menggagas Al-Qaeda di Suriah. Jika dia tidak cukup menarik perhatian sebagai pembicara di Paris, maka sejarahnya sebagai pendiri Hayat Tahrir al-Sham (HTS) mungkin akan menambah keceriaan diskusi. Hanya saja, sepertinya dunia telah memutuskan bahwa “masa lalu” tidak lebih penting daripada masa depan yang penuh harapan. Setidaknya, itu yang mereka katakan.

Tidak ada yang lebih mengundang tawa daripada fakta bahwa negara-negara yang dulu berperang melawan kelompok seperti HTS kini berkompromi dengan mereka. Tentu saja, ini bukan tentang membela nilai-nilai demokrasi atau hak asasi manusia—sepertinya semua itu kini bisa diganti dengan agenda pragmatis yang lebih penting. Lagipula, siapa yang peduli dengan sedikit darah di tangan ketika ada peluang untuk berbisnis atau mencapai stabilitas politik? Begitulah cara kerja diplomasi.

Sementara itu, di Paris, para pemimpin yang dulu berteriak bahwa ekstremisme adalah musuh utama dunia kini bersalaman dengan mereka yang secara langsung terlibat dalam penyebaran ideologi tersebut. Dunia internasional nampaknya telah memutuskan bahwa prinsip moral bisa dibeli dengan satu pertemuan dan beberapa janji kosong. Hanya dalam dunia politik, kita bisa melihat “teroris” bertransformasi menjadi mitra strategis hanya dengan sedikit kecerdikan diplomatik.

Sementara itu, rakyat Suriah tetap terperangkap dalam kebingungan. Mereka yang sudah lama menderita akibat konflik yang tiada henti kini dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa pemimpin yang dulunya mereka lawan kini berada dalam kursi kekuasaan internasional. Seperti dalam kisah dongeng yang buruk, kita diajarkan bahwa kejahatan bukan hanya bisa dimaafkan, tapi juga diberi legitimasi.

Ironisnya, kita kini berdiri di ambang sebuah tatanan baru di Timur Tengah, yang didorong oleh kepentingan geopolitik, bukan keadilan atau moralitas. Sanksi yang dulu digunakan untuk menekan ekstremisme kini mulai mengendur. Semua ini demi “stabilitas.” Bagaimana mungkin kita tidak terhibur dengan drama politik ini? Namun, satu hal yang pasti: kita semua adalah penonton dalam pertunjukan tragis yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *