Opini
Dari Sekutu ke Musuh: Perang Musk-Trump

Elon Musk dan Donald Trump, dua nama besar yang sempat bersinar bersama dalam panggung politik Amerika Serikat, kini menjadi musuh bebuyutan dalam konflik yang menyibak tabir rapuhnya aliansi antara teknologi dan kekuasaan. Yang dahulu tampak sebagai bromance unik antara raja teknologi dan presiden populis, kini berubah menjadi saling sindir, saling tuduh, dan perang terbuka di depan publik. Laporan mendalam dari NPR menjadi pemicu terbongkarnya kisah ini, menyajikan potret bagaimana relasi berbasis kepentingan jangka pendek bisa hancur ketika ego dan ambisi bertabrakan.
Di awal hubungan mereka, banyak yang terkejut melihat Musk—yang sebelumnya pernah mendukung Hillary Clinton dan Joe Biden—berpindah haluan mendukung Trump menjelang Pilpres 2024. Ia bahkan dikabarkan menyumbang hingga hampir US $300 juta untuk kampanye Trump. Bukan sekadar donatur, Musk juga masuk ke lingkaran dalam kekuasaan: menghadiri rapat Kabinet, menjadi penasihat informal, dan bahkan memimpin lembaga baru bernama Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE)—lelucon cerdas sekaligus serius, diambil dari nama meme favorit Musk.
Musk, yang selama ini identik dengan Tesla dan SpaceX, tiba-tiba menjadi arsitek efisiensi anggaran negara. Di Indonesia, ini ibarat tokoh seperti Nadiem Makarim tiba-tiba dipercaya menyusun ulang struktur kementerian dan belanja negara. Bagi banyak orang, pemandangan ini terasa tak lazim, tapi juga mencerminkan semangat perubahan. Namun, seperti yang disorot NPR, hubungan ini tidak dilandasi visi atau nilai bersama, melainkan kepentingan pragmatis. Dan ketika kepentingan itu saling berbenturan, perceraian pun tak terelakkan.
Konflik bermula dari sebuah kebijakan ambisius: “One Big, Beautiful Bill Act,” sebuah RUU omnibus yang dirancang Trump menjelang pemilu paruh waktu. RUU ini, menurut laporan Congressional Budget Office, diproyeksikan menambah defisit anggaran sebesar US $3,8 triliun dalam 10 tahun. Bagi Musk, yang ditugaskan memangkas pemborosan, ini adalah mimpi buruk. Ia menolak keras dan menyebutnya penuh “pork“—istilah untuk anggaran proyek lokal tak esensial.
Musk melihat RUU ini sebagai bentuk pemborosan terang-terangan. Dalam gaya khasnya, ia menyebut RUU tersebut sebagai “pukulan terhadap akal sehat fiskal.” Sementara Trump dan para sekutunya di Partai Republik, termasuk John Thune dan Mike Johnson, bersikukuh agar RUU disahkan. Mereka berargumen bahwa RUU ini penting untuk mendongkrak popularitas dan memenuhi janji kampanye.
Analogi di Indonesia sangat relevan: bayangkan sebuah RUU besar yang tiba-tiba menyisipkan proyek-proyek bernilai triliunan rupiah—membangun jembatan di daerah yang nyaris tak berpenghuni atau bandara di lokasi minim aktivitas, hanya demi menjaga dukungan elite lokal. Di sinilah perbedaan tajam antara pendekatan teknokrat dan politisi menjadi jelas. Musk memegang data dan prinsip efisiensi. Trump memegang kekuasaan dan logika elektoral.
Konflik pun makin meruncing. Trump, merasa dikhianati, mengancam akan mencabut seluruh subsidi pemerintah untuk Tesla dan SpaceX. Ancaman ini berdampak langsung: saham Tesla anjlok hingga 14,3%, menghapus lebih dari US$150 miliar dari nilai pasar. Langkah Trump menjadi sinyal bahwa kekuasaan bisa digunakan sebagai alat penghukuman. Fenomena ini bukan asing di Indonesia—seringkali pengusaha yang tak sejalan dengan kekuasaan menghadapi audit mendadak, revisi kontrak, atau tekanan regulasi.
Musk tak tinggal diam. Dalam gaya konfrontatifnya, ia menyerang balik. Ia menuduh Trump memiliki keterkaitan dengan jaringan Jeffrey Epstein—meskipun tanpa bukti kuat. Tuduhan ini memperlihatkan bahwa konflik kebijakan kini berubah menjadi perang karakter. Saling serang lewat media sosial menjadi tak terhindarkan. Bagi publik, ini memperlihatkan betapa cepatnya dialog substansial berubah menjadi drama politik yang penuh sentimen.
Namun demikian, pencapaian Musk selama memimpin DOGE tak bisa diabaikan. NPR mencatat DOGE berhasil menghemat anggaran federal sebesar US $9,4 miliar. Angka ini belum cukup untuk membendung defisit, namun membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dan efisiensi bisa membawa hasil nyata. Sayangnya, politik bukan sekadar angka. Musk, yang jujur dan lugas, justru menjadi sosok yang terisolasi dalam sistem yang lebih menghargai kompromi dan loyalitas ketimbang akurasi.
Sebaliknya, Trump tetap unggul secara politik. Ia memahami lanskap kekuasaan dan piawai menjaga dukungan. Meski RUU dikritik dari sisi fiskal, Trump mampu mengemasnya sebagai simbol keberhasilan kepemimpinan dan komitmen terhadap rakyat. Di Indonesia, hal serupa sering terjadi: proyek prestisius seperti IKN tetap dijalankan meskipun banyak kritik teknis dan fiskal, karena nilai simboliknya yang kuat.
Pertarungan antara Musk dan Trump membuka pertanyaan penting: apakah politik modern memberi ruang bagi teknokrat idealis? Dalam banyak kasus di Indonesia, kita melihat bagaimana reformasi birokrasi tersendat karena dominasi kepentingan politik. Musk, dengan gaya “Silicon Valley“-nya yang rasional dan cepat, seperti mencoba berenang di lautan penuh jerat kepentingan. Dan ketika ia melawan arus, ia pun tenggelam.
Setelah keluar dari DOGE pada Mei 2025, Musk makin vokal di media sosial. Ia bahkan menyatakan dukungan terhadap proses pemakzulan Trump. Ini menunjukkan bahwa konflik tersebut telah melewati batas profesional dan menjadi personal. Tidak lagi soal kebijakan, melainkan tentang siapa yang menang dalam perang opini publik.
Trump tetap di atas angin. Ia mengendalikan narasi, menguasai panggung politik, dan berhasil mempertahankan dukungan dari partainya. Sementara Musk, meski punya logika dan data di pihaknya, kalah dalam permainan kekuasaan. Di sinilah kita melihat bahwa dalam politik, kebenaran teknis belum tentu mengalahkan kekuatan simbol dan loyalitas.
Pelajaran yang bisa diambil dari saga ini sangat relevan bagi Indonesia. Ketika teknokrat dan politisi bekerja sama, hasilnya bisa luar biasa. Namun bila kerja sama itu didasari kepentingan pragmatis semata, maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu. Musk mungkin benar dalam angka, tapi keliru dalam membaca permainan kekuasaan. Trump mungkin salah dalam kebijakan, tapi menang dalam mengelola persepsi.
Dan pada akhirnya, publiklah yang harus menanggung konsekuensi dari pertarungan ini. Apakah kita akan terus menyaksikan pertarungan ego seperti ini di panggung kekuasaan? Atau haruskah kita mulai menuntut politik yang lebih akuntabel, rasional, dan berpihak pada data—bukan sekadar slogan dan drama?
Konflik Musk dan Trump adalah potret zaman: pertarungan antara logika dan loyalitas, antara idealisme dan kekuasaan. Pertanyaannya sekarang, di tengah politik global yang makin kompleks, siapakah yang akan memenangi babak berikutnya? Dan apakah kita sebagai publik bisa membedakan siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat, dan siapa yang hanya memperjuangkan dirinya sendiri?