Opini
Dari Pemimpin Milisi ke Presiden: Jejak Darah Ahmad al-Sharaa

Di sebuah negeri yang pernah dikenal dengan aroma kopi dan pasar yang riuh, kini suara yang paling sering terdengar adalah letusan senjata. Sweida, yang seharusnya menjadi salah satu detak jantung kehidupan di Suriah selatan, berubah menjadi etalase kematian. Nama-nama warga — 28 orang, termasuk 12 perempuan — didokumentasikan oleh Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) sebagai korban eksekusi lapangan oleh aparat Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri. Bukan di medan tempur. Bukan di hadapan hakim. Tapi di tanah sendiri, dengan peluru yang dilepaskan begitu saja, seolah nyawa hanya angka di laporan harian.
Kita bisa berpura-pura terkejut. Tapi kenyataannya, ini bukan kejadian pertama. Sejak 13 Juli, jumlah korban eksekusi di Sweida melonjak menjadi 429 orang. Di antara mereka, 38 perempuan, 14 anak-anak, dan para lansia yang mestinya melewati hari tua dengan damai. Ada pula 20 tenaga medis dari Sweida National Hospital, ditembak mati di tempat kerja mereka — rumah sakit, simbol perawatan dan penyelamatan nyawa. Ironis, di tengah dunia yang sibuk berdebat soal etika medis dan teknologi, di sini nyawa perawat dan dokter lenyap dalam sekejap, bukan karena penyakit, tetapi karena peluru negara.
Saya rasa, inilah titik di mana kata “tragis” terasa terlalu lemah. Sebab yang terjadi bukan hanya tragedi, melainkan kegagalan total sebuah negara untuk menjalankan fungsi paling mendasar: melindungi rakyatnya. Dan ironinya lagi, yang kini duduk di kursi presiden transisi adalah Ahmad al-Sharaa, sosok yang dulu memimpin kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) — sebuah organisasi bersenjata yang rekam jejaknya terhadap warga sipil pun penuh noda darah. Bedanya, dulu dia berpakaian milisi, kini berseragam negara. Dulu membawa bendera kelompok, kini membawa bendera nasional. Tetapi pola yang sama berulang: nyawa hilang tanpa keadilan.
SOHR mencatat bahwa sejak al-Sharaa berkuasa pada Desember 2024, hampir 10.000 orang tewas, dengan 7.449 di antaranya warga sipil. Dari jumlah itu, lebih dari 2.500 orang mati akibat eksekusi di luar proses hukum. Angka yang dingin ini, jika dibayangkan dalam bentuk wajah, keluarga, dan cerita hidup, akan membuat kita merasakan betapa luasnya skala penderitaan. Maret 2025 menjadi bulan paling mematikan. Bulan yang seharusnya menjadi awal musim semi, di Suriah malah menjadi puncak musim kematian.
Yang lebih pahit, dalam bentrokan di Sweida, kelompok Druze berhadapan dengan suku Badui yang disebut didukung oleh dua kementerian negara. Bentrokan itu berujung ratusan kematian sebelum al-Sharaa mengumumkan gencatan senjata “komprehensif dan segera” pada 19 Juli. Kata-kata yang terdengar indah di mimbar politik, tapi hampa di lapangan. Gencatan senjata tanpa keadilan hanyalah jeda untuk mengisi ulang peluru.
Kita semua tahu, di tanah manapun, ketika aparat negara membunuh warga sipil tanpa proses hukum, itu bukan “insiden”. Itu adalah pesan. Pesan bahwa kekuasaan berada di atas hukum. Bahwa hidup dan mati rakyat adalah hak prerogatif yang bisa diambil kapan saja. Dan di sini, pesan itu dikirim berulang kali, sampai menjadi bagian dari kebiasaan. Seperti hujan di musim penghujan: kita tidak lagi kaget, tapi tetap basah kuyup.
Ada orang yang mungkin berkata, “Tapi ini kan Suriah, negara dalam konflik, wajar kalau ada korban.” Kalimat seperti ini terdengar seperti alasan murahan. Sebab hukum humaniter internasional ada justru untuk situasi perang. Ada garis merah yang tidak boleh dilanggar — membunuh tenaga medis, anak-anak, atau melakukan eksekusi lapangan adalah pelanggaran berat. Tapi di bawah al-Sharaa, garis merah itu seolah dihapus, diganti garis tipis yang bisa dilangkahi kapan saja, tergantung siapa yang memegang senjata.
Saya teringat pada pepatah lama: “Serigala berbulu domba tetaplah serigala.” Peralihan Ahmad al-Sharaa dari pemimpin milisi HTS menjadi presiden transisi hanyalah perubahan kostum. Metode dan logika kekuasaannya tetap sama: lawan dibungkam dengan kekerasan, oposisi dibersihkan dengan peluru, dan rakyat dijadikan collateral damage yang tak perlu dipikirkan. Bedanya, kali ini ia punya legitimasi formal. Ia tak lagi dikejar sebagai pemberontak, tapi disambut di meja diplomasi sebagai kepala negara. Dan itulah ironi paling getir: dunia bisa menerima seorang mantan pemimpin kelompok bersenjata sebagai presiden, tapi sulit memaksa presiden itu mempertanggungjawabkan darah yang tumpah.
Mungkin sebagian orang akan berargumen bahwa situasi Suriah terlalu rumit, penuh faksi, dan kekerasan bisa berasal dari berbagai pihak. Benar, tapi di sini jelas disebut pelaku berasal dari aparat resmi negara. Itu berarti tanggung jawab tertinggi ada pada pemerintah Suriah, dan secara pribadi pada Ahmad al-Sharaa. Tidak ada alasan “tak tahu” atau “tak bisa kendalikan pasukan”. Prinsip tanggung jawab komando dalam hukum internasional jelas: jika pemimpin tahu atau seharusnya tahu dan tidak mencegah atau menghukum pelanggaran, dia ikut bersalah.
Apa yang terjadi di Sweida adalah pengingat pahit bagi siapa saja yang percaya bahwa perubahan pemimpin otomatis berarti perubahan nasib rakyat. Kita, di Indonesia, juga kadang terjebak pada euforia pergantian tokoh, berharap wajah baru akan membawa cara baru. Padahal, jika mentalitas dan sistemnya sama, hanya label yang berganti. Dari HTS ke istana presiden, dari bendera milisi ke bendera negara — tapi nyawa tetap berharga murah.
Di dunia politik, memegang kekuasaan adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa Anda berbeda dari masa lalu. Tetapi al-Sharaa justru menunjukkan sebaliknya: bahwa masa lalu bisa dibawa utuh ke masa kini, hanya kemasannya yang diubah. Dan korban-korban di Sweida adalah bukti hidup — atau tepatnya, bukti mati — dari kontinuitas itu.
Saya rasa, dunia tidak boleh lagi sekadar “menyatakan keprihatinan”. Keprihatinan tidak menghentikan peluru. Keprihatinan tidak menghidupkan kembali tenaga medis yang ditembak di rumah sakit. Yang dibutuhkan adalah mekanisme akuntabilitas internasional yang nyata, bahkan jika itu berarti menyeret seorang presiden transisi ke pengadilan. Sebab jika tidak, pesan yang dikirim ke seluruh dunia adalah sederhana: Anda bisa membunuh rakyat Anda sendiri, selama Anda punya stempel resmi kekuasaan.
Akhirnya, saya ingin mengajak pembaca untuk membayangkan satu hal: jika angka-angka yang dingin ini — 429 eksekusi di Sweida, 10.000 korban sejak Desember — adalah nama-nama tetangga kita, apakah kita akan tetap melihatnya sebagai statistik, ataukah kita akan marah dan menuntut pertanggungjawaban? Di Sweida, mereka tidak lagi punya kemewahan untuk memilih. Kita, yang masih hidup, setidaknya punya kemewahan untuk peduli. Dan dari kepedulian itulah, keadilan seharusnya dimulai.