Opini
Dari Los Angeles ke Boston: Amerika Mulai Bergejolak

Sore itu, suasana di Los Angeles berubah mendadak. Langit masih cerah, tetapi udara penuh ketegangan. Di depan Balai Kota, kerumunan massa berkumpul dengan spanduk dan pekikan yang menggema, menuntut keadilan dan menyuarakan penolakan terhadap kebijakan federal yang mereka anggap semena-mena. Walikota Karen Bass tampil di hadapan publik dengan nada yang tegas namun penuh kekhawatiran. Ia mengabarkan bahwa David Huerta, presiden serikat pekerja SEIU, telah dibebaskan dengan jaminan setelah sebelumnya ditahan secara sepihak oleh otoritas federal. Unjuk rasa itu, katanya, berlangsung damai. Tapi di antara massa, rasa tenang perlahan berganti dengan kewaspadaan.
Polisi mulai bergerak. Barisan National Guard yang tadinya hanya berjaga di tangga gedung federal kini turun ke jalan. Suara perintah, dentuman granat kejut, dan hiruk-pikuk mengoyak suasana. Aktivis yang memekikkan “Peaceful protest!” didorong mundur oleh tameng baja. Ketegangan antara warga dan aparat memuncak, menandakan bahwa ini bukan lagi sekadar perbedaan pendapat soal kebijakan. Ini tentang siapa yang berhak menentukan masa depan kota. Ini tentang apa artinya menjadi warga negara.
Karen Bass tidak tinggal diam. Ia menyebut penggerebekan yang dilakukan oleh ICE sebagai tindakan sepihak yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam satu hari, terjadi lima penggerebekan di wilayah Los Angeles. Salah satunya terjadi di dekat sekolah tempat cucunya bersekolah. Ini bukan hanya soal angka, ini tentang rasa aman yang dirampas dari komunitas. Bass menyebut Los Angeles kini dijadikan “test case” oleh pemerintahan federal, seakan kota itu hanyalah laboratorium kebijakan keras yang dirancang jauh di ibu kota.
Gubernur California, Gavin Newsom, bahkan membawa kasus ini ke pengadilan. Ketika Presiden Trump memerintahkan pengerahan tambahan 2.000 pasukan National Guard ke California, Newsom menilai langkah itu bukan solusi keamanan, melainkan bentuk intimidasi terhadap warga sipil. Ketegangan antara negara bagian dan pemerintah pusat tak lagi bisa disembunyikan. Ini bukan konflik teknis administratif, melainkan benturan nilai tentang bagaimana negara memperlakukan rakyatnya.
Dan yang lebih mengejutkan, protes tidak berhenti di Los Angeles. Dalam beberapa hari, aksi serupa merebak ke kota-kota lain: Tampa, Boston, Houston, hingga kota-kota kecil yang selama ini jarang terdengar dalam pemberitaan. Dari ujung timur hingga barat Amerika Serikat, satu pesan yang mengemuka adalah: warga menolak dipaksa tunduk pada kebijakan yang merampas hak-hak dasar mereka, terutama komunitas imigran yang telah menjadi bagian dari nadi sosial dan ekonomi negeri itu.
Retorika “invasion” yang digunakan oleh Presiden Trump untuk menggambarkan arus migrasi telah mengubah cara aparat memandang warga. Mereka bukan lagi tetangga atau rekan kerja. Mereka dianggap ancaman. Maka ketika kebijakan direspon dengan mobilisasi militer dan penggerebekan massal, itu bukan hanya soal hukum, tapi soal politik identitas yang semakin mengeras. Apa jadinya negara jika aparat lebih sibuk memburu rakyat daripada melindunginya?
Dalam konteks ini, suara warga menjadi semakin penting. Unjuk rasa bukan hanya bentuk ketidaksetujuan, tetapi juga pernyataan eksistensi. Mereka berkata: kami ada di sini, dan kami berhak merasa aman di rumah sendiri. Namun ketika suara-suara itu dibungkam, risiko yang mengintai bukan hanya dislokasi sosial, tapi potensi meledaknya pemberontakan sipil bahkan mungkin juga berujung pada perang sipil. Amerika pernah mengalaminya—dari gerakan hak sipil hingga kerusuhan rasial—dan sejarah mengingatkan bahwa ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh akan selalu mencari jalannya sendiri untuk meledak.
Apakah kebijakan Trump salah? Jika ditakar dari perspektif hukum dan hak asasi manusia, banyak kritik yang bisa diajukan. Pemaksaan deportasi massal, pengabaian koordinasi dengan pemerintah lokal, serta penggunaan pasukan militer untuk menekan protes sipil—semuanya merupakan langkah yang dinilai berlebihan dan kontraproduktif. Bahkan sejumlah analis keamanan dalam negeri menilai pendekatan ini justru memperbesar polarisasi dan memperkeruh suasana.
Dampaknya tidak hanya dirasakan warga di kota-kota besar Amerika, tapi juga menggema ke luar negeri. Dunia menyaksikan bagaimana negara yang selama ini mengklaim diri sebagai pelindung demokrasi, justru memperlakukan rakyatnya seperti musuh dalam pertempuran. Bagi negara seperti Indonesia, ini menjadi pelajaran penting. Ketika pemerintah pusat mengambil alih otoritas lokal tanpa dialog, ketika kebijakan dibangun di atas ketakutan, maka stabilitas hanya akan bertahan sementara. Sebab ketakutan tak pernah menjadi fondasi damai yang kokoh.
Los Angeles kini menjadi simbol perlawanan. Bukan karena ingin memisahkan diri dari Amerika, tapi karena ingin mengembalikan esensi Amerika itu sendiri: bahwa setiap orang, apapun asal-usulnya, punya hak untuk hidup tanpa rasa takut. Dan jika pemerintah pusat terus memaksakan visinya tanpa memperhatikan suara dari bawah, maka yang akan lahir bukan kepatuhan, melainkan resistensi.
Kita belum tahu ke mana arah semua ini. Tapi tanda-tandanya jelas. Ketika aparat bersenjata lengkap dikerahkan untuk menghadapi demonstran damai, ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, dan ketika rasa aman dipertukarkan dengan doktrin keamanan, maka potensi krisis sosial tak bisa dihindari. Mungkin bukan hari ini. Tapi jika ketidakadilan terus berlanjut, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri.
Dalam senyap malam yang mulai turun di Los Angeles, suara-suara protes masih terdengar. Di jalan-jalan, para ibu, buruh, mahasiswa, dan warga biasa berjalan bersama. Mereka tahu risiko yang mereka hadapi. Tapi mereka juga tahu bahwa diam bukan pilihan. Dan di antara mereka, harapan itu tetap hidup: bahwa suatu hari, negeri ini bisa kembali pada janjinya sendiri.