Opini
Dari Jalanan Menuju Keadilan Palestina

“Pasukan Israel telah mengambil alih sebuah kapal kemanusiaan yang mencoba menembus blokade laut di Jalur Gaza…” begitulah pembuka laporan—sepotong fakta yang meremas dada. Sebuah kapal kecil, Madleen, berawak 12 orang, termasuk Greta Thunberg, mencoba satu misi: mengantarkan sepucuk bantuan—beras dan susu bayi—ke penduduk Gaza. Tapi saat malam menyapa, mereka digiring ke pelabuhan Israel. Apa yang kacau? Bukan sekadar jumlah bantuannya, melainkan niat kemanusiaannya.
Ketika mereka masih di perairan internasional, dan Israel berkata “selfie yacht” serta “propaganda,” kita menyaksikan ketegangan antara moral dan narasi milik negara. Di satu sisi, mereka membawa paket kemanusiaan simbolis. Di sisi lain, Israel menegaskan blokade telah diberlakukan sejak 2007 untuk mencegah senjata hingga hari ini. Tapi apakah jumlah bantuan kecil itu tak berarti? Atau memang itu bagian dari panggung global?
Laporan menyebutkan mereka ditahan, dipastikan aman, diberi makanan dan air, dan sekarang dipaksa pulang. Dengan bahasa dingin: “the show is over.” Sementara di sana, Gaza mencatat lebih dari 54.000 korban jiwa—data Kementerian Kesehatan lokal—dan jutaan nyaris mati kelaparan. Inilah paradoksnya: sementara dunia melihat dari jauh, mereka yang berani bergerak—meskipun dalam skala kecil—menghadirkan wajah manusia di tengah statistik, kemanusiaan di tengah perang.
Aktivis dan selebritas seperti Thunberg menyebut aksi ini “risiko tapi perlu.” Mereka bukan jubir Hamas, seperti klaim pejabat Israel. Mereka hadir karena nurani mendesak. Di Indonesia, kita tak asing dengan suara rakyat yang tak terdengar. Saat pengungsi Rohingya mengungsi di Aceh dan penguasa setempat susah mendesak bantuan pusat, publik bergerak: menggalang dana, berkonvoi, memasang spanduk. Itu kenyataan, bukan wacana.
Kini para ultras sepakbola di Tunisia dan Libya turut turun, membentuk Resilience Convoy. Ribuan mendaftar untuk menembus daratan menuju Gaza. Mereka meneriakkan slogan: “When the world falls silent, the crowds must scream.” Bukankah ini pengingat akan apa yang bisa dilakukan masyarakat? Bahwa saat sistem internasional bungkuk, rakyat bisa meretas belenggu diamnya dunia?
Israel beralasan memblokade Gaza agar Hamas tak menyerang Israel. Betul, setiap negara punya hak membela diri. Tapi apakah semua rakyat Gaza harus mati kelaparan untuk itu? Bagaimana jika blokade itu menyasar infrastruktur penting—rumah sakit, sumur bor air, sekolah—yang kemudian runtuh total? Bukankah itu lebih mirip perang terhadap warga sipil? Dari 2007 hingga sekarang, lebih dari dua juta orang jadi tawanan geopolitik.
Laporan PBB menyebut sebagian besar penduduk Gaza menghadapi kondisi kelaparan ekstrem. Administrasi Zona Panas Pangan laut (World Food Programme) telah berkali-kali mencatat kekurangan suplai pangan dan gizi. Saat Flotilla membawa beras dan susu bayi, itu bukan karena mereka bisa membeli ukiran damai di tempat lain, tapi karena jalur resmi telah usai. Dan publik global? Banyak negara memilih diam, kecuali batu-batu kecil seperti kapal simbolis ini.
Kalau di Indonesia, ingat saat pandemi—ketika suplai alat medis tak sampai ke rumah sakit remote, masyarakat dan relawan mengerahkan dana dan logistik sendiri. Tanpa aksi bottom-up, pasien bisa tergeletak karena oksigen habis. Kini kita melihat episentrum ketahanan di Gaza: rakyatnya yang terkungkung. Dan masyarakat global bereaksi, bukan lewat konferensi saja, tapi lewat kapal dan konvoi—karena konferensi retorikanya sudah basi.
Saya terbayang jika 10 kapal seperti Madleen, 20 convoy darat, bahkan 50 gerakan rakyat kecil dari berbagai negara muncul. Bukan untuk bubarkan blokade dengan senjata, tapi untuk tekan secara politis, moral, publik. Jika pesawat charter dengan tenaga medis dari Indonesia pernah ke Gaza, mengapa kita tak menggalang lagi? Birokrasi boleh banyak aturan, tapi rakyat punya cara. Lagipula, ingat aksi YMCA Indonesia saat gempa Palu—ketika pemerintah masih sibuk berkoordinasi, publik sudah bergerak.
Tentu, risiko ada: kapal bisa dibajak lagi, konvoi diblokir di perbatasan. Tapi seperti kata Thunberg: “ketika kita berhenti mencoba, kita kehilangan kemanusiaan.” Ini soal pilihan: diam karena takut, atau bergerak meski tahu efeknya simbolis. Karena justru keberanian simbolis itu yang bisa merobek tirai diam dunia.
Seandainya tiap orang Indonesia menyisihkan sebagian rezeki untuk bantu Gaza melalui jalur rakyat—seperti campaign crowdfunding, kemitraan NGO—itulah kekuatan kolektif. Dan jika publik global bisa menyuarakan hal yang sama melalui media sosial, kampanye digital, diskusi terbuka—tekanan itu bisa menular dan menekan pemerintah negara-negara pendukung diam. Kita bisa mengubah kesadaran kolektif menjadi tekanan nyata.
Masyarakat sipil bukan cuma penonton. Mereka bagian dari kebenaran yang mau tampil. Mereka memegang pistol moral yang tak bisa dibungkam. Jika pemerintah masih bimbang, maka rakyatlah yang akan mendorong perubahan. Seperti tepatnya konteks lokal kita: di saat elite politisi sibuk debat, rakyat di desa-desa sudah membantu sesama—begitu pula jika kita padukan itu ke dunia internasional, kekuatan moral bisa jadi aktor nyata.
Jadi—apa yang bisa kita lakukan? Sejauh ini, aksi simbolis seperti Madleen telah mengajarkan sesuatu: bahwa setiap orang bisa ikut. Tidak harus besar, tidak harus sempurna, tapi harus hadir. Jika setiap negara merespons, suara akan bergema dan blokade tak akan bertahan lama. Bukankah Indonesia pernah jadi contoh solidaritas regional? Saat Aceh dan Lombok, kita tak tunggu intruksi. Kenapa saat Gaza, kita tidak respon?
Kita sedang diuji: apakah kemanusiaan masih mampu menembus jarak geopolitik? Apakah nurani masih punya daya? Gaza adalah ujian bagi kita semua—dan kapal kecil, konvoi rakyat, suara netizen adalah jawaban. Bukan dramatisasi, tapi aksi nyata. Dan jika kita bertanya esok: kenapa kita diam saat sejarah mencatat jutaan butuh? Maka jawabnya mudah: karena kita telah memutuskan untuk bertindak. Bukan karena harapan kosong, tapi karena kemanusiaan nyata itu dimulai dari satu langkah kecil.
Sumber:
https://www.france24.com/en/middle-east/20250609-israel-gaza-aid-flotilla-greta-thunberg
https://www.rt.com/news/618822-gaza-flotilla-greta-detained/