Connect with us

Opini

Dari Goethe ke Genosida: Jerman yang Tersesat Kompas Nurani

Published

on

Dulu, Jerman dikenal sebagai negeri filsuf. Tempat di mana Kant merumuskan imperatif moral dan Hegel menata dialektika sejarah. Negeri yang memikul beban masa lalu dengan kepala tertunduk, tapi hati yang terbuka. Namun kini, di tengah reruntuhan Gaza, ketika anak-anak mati kelaparan dan rumah-rumah runtuh digempur rudal, Jerman berdiri kaku—tidak membela, tidak bersuara, atau lebih buruk: membenarkan. Seolah dari Goethe, mereka kini bergeser ke genosida, tanpa sempat memeriksa arah kompas nurani.

Perubahan itu terasa absurd, bahkan ganjil. Negara yang menyandang slogan “Never Again” pasca-Holocaust, kini memilih bungkam—atau malah mengirim senjata—saat genosida terjadi di depan mata. Gaza dibakar hidup-hidup, dunia berteriak, dan Jerman malah sibuk menjaga warisan sejarahnya yang lama, sambil menutup mata terhadap sejarah baru yang sedang ditulis dengan darah. Friedrich Merz, sang kanselir, kini seperti pemadam kebakaran yang hanya menyiram api dengan kata-kata, tapi tetap menyalakan gas dari belakang.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang lebih menyedihkan adalah alasan moral yang dipakai untuk membungkam kritik. “Tanggung jawab sejarah,” katanya. Tapi berapa banyak anak Gaza yang harus mati agar utang sejarah Jerman lunas? Apakah rasa bersalah terhadap masa lalu boleh dibayar dengan pembiaran kejahatan masa kini? Bahkan rakyatnya mulai gelisah. Menurut survei Bertelsmann Mei 2025, hanya 36% warga Jerman yang masih memandang entitas zionis secara positif—turun drastis dari 46% pada 2021. Sisanya? Mungkin mulai sadar bahwa moralitas tidak bisa diwariskan tanpa akal sehat.

Kita bisa mengerti jika pemerintah ragu. Politik selalu berlapis. Tapi ketika lebih dari 200 seniman dan tokoh budaya Jerman menulis surat terbuka berjudul “Don’t let Gaza die, Mr. Merz”, maka itu bukan sekadar rengekan kaum kiri. Itu teriakan nurani dari masyarakat sipil, yang merasa malu atas diamnya negaranya. Mereka meminta embargo senjata. Mereka menuntut pembekuan perjanjian asosiasi Uni Eropa dengan “Israel”. Mereka, singkatnya, minta agar Jerman tidak ikut jadi kaki tangan kejahatan.

Dan lihatlah, bahkan di dalam pemerintahan sendiri suara mulai pecah. Sosial Demokrat—rekan koalisi Merz—secara terbuka menyerukan penghentian ekspor senjata ke “Israel”. Macron di Prancis mulai mendorong pengakuan negara Palestina. Keir Starmer di Inggris pun mengisyaratkan hal serupa. Tapi Merz tetap berdalih bahwa negara Palestina harus lahir dari “perundingan langsung”. Tentu saja, kita semua tahu bahwa “perundingan langsung” itu seperti mengajak korban perampokan berdiskusi dengan perampok yang masih mengacungkan senjata.

Merz tahu ini, dan karena itu, ia memulai apa yang disebut The New York Times sebagai “pergeseran diam-diam”. Ia telepon Netanyahu. Ia desak buka jalur kemanusiaan. Ia dukung airdrop bantuan. Tapi semua itu dilakukan lewat jalur belakang, karena di depan, ia masih harus terlihat sebagai teman baik Tel Aviv. Bahkan ketika menteri luar negerinya, Johann Wadephul, mengunjungi Gereja St. George yang diserang pemukim, itu dilakukan seperti kode diam: cukup jelas untuk dibaca, tapi cukup samar agar tidak menyinggung.

Ironi itu menumpuk. Negara yang dulu meletakkan fondasi Uni Eropa atas dasar Nie Wieder (Never Again), kini menjadi salah satu penghalang utama pengakuan atas negara Palestina. Negeri yang trauma akan antisemitisme, kini seperti kehilangan keberanian untuk mengecam apartheid modern yang dijalankan atas nama “keamanan”. Padahal, tidak semua kritik terhadap “Israel” adalah antisemitisme. Menyebut penjajahan sebagai penjajahan, menyebut kelaparan massal sebagai kejahatan perang, bukanlah ujaran kebencian—itu adalah kewarasan.

Tapi kewarasan politik sering dikalahkan oleh kepentingan geopolitik. Selama ini, Jerman merasa dirinya adalah “penyeimbang moral” dalam urusan internasional. Tapi Gaza membuktikan bahwa posisi itu sudah lama kosong. Ketika anak-anak sekarat karena tidak ada susu dan air, suara-suara resmi Berlin malah sibuk mendiskusikan prosedur bantuan, bukan akar masalahnya. Dan semua ini dilakukan dengan gaya Eropa yang sopan, netral, penuh bahasa diplomatik, tapi tanpa satu pun tetes air mata.

Sementara itu, di Taybeh, di Tepi Barat yang diduduki, bangunan-bangunan tua diserang oleh pemukim bersenjata. Di Gaza, rumah sakit disulap jadi kuburan. Tapi Jerman tetap saja menari di atas garis halus yang disebut “kompleks sejarah”. Mereka masih takut mengucap kata “pelanggaran HAM” jika dilakukan oleh orang yang mereka anggap korban masa lalu. Padahal, korban bisa jadi pelaku. Dan sejarah bisa menjadi penjara moral, jika tidak dibaca dengan jernih.

Di sinilah kita melihat Jerman tersesat. Bukan tersesat secara ekonomi atau militer, tapi tersesat kompas nuraninya. Dari negeri pemikir menjadi negeri pembenaran. Dari negeri yang dulu mengajarkan dunia tentang pentingnya menyesali kekejaman masa lalu, kini menjadi negeri yang gagap melihat kekejaman masa kini. Mereka takut salah langkah, padahal dunia sudah melangkah jauh di depan. Swedia, Irlandia, Spanyol—semua sudah mengakui negara Palestina. Jerman? Masih duduk menunggu sinyal dari Washington.

Kita yang jauh di Asia pun bisa merasakan betapa getirnya situasi ini. Dulu, para mahasiswa kita membaca Kant, Nietzsche, dan Habermas, berharap bahwa Eropa adalah teladan moral. Tapi sekarang, anak-anak Gaza tak butuh kritik budaya atau pemikiran poskolonial. Mereka hanya butuh makan. Butuh air. Butuh langit yang tidak dipenuhi drone pembunuh buatan Jerman.

Apa gunanya kemajuan teknologi, keanggotaan di Uni Eropa, dan reputasi diplomasi jika tak mampu menyelamatkan satu pun nyawa anak-anak dari kejahatan terang-terangan? Dunia tidak butuh lebih banyak simposium tentang ethics in war. Dunia butuh lebih banyak keberanian untuk berkata: ini genosida. Dan kita harus berhenti membiayainya.

Mungkin sudah saatnya Jerman mengganti slogan “Never Again” dengan sesuatu yang lebih jujur: “Not Now, Not Yet, Not Us.” Sebab, ketika kejahatan dilakukan di depan kamera, dan negara yang paling merasa bersalah terhadap sejarah justru memilih diam—maka kita patut bertanya: apa sebenarnya makna sejarah itu? Dan lebih penting lagi, siapa yang akan mencatat bahwa kali ini, mereka memilih berada di sisi yang salah?

Jika Goethe masih hidup, mungkin ia akan menulis puisi tentang Gaza. Tapi di zaman ini, puisi tak cukup. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengatakan bahwa darah anak-anak bukan harga yang layak untuk menjaga hubungan diplomatik. Sebab, sejarah tidak menebus kesalahan dengan mendiamkan kesalahan baru. Ia justru menuntut agar kita belajar, bukan bersembunyi.

Dan Jerman, untuk saat ini, tampaknya belum lulus pelajaran itu.

3 Comments

3 Comments

  1. Pingback: Rakyat Jerman Berubah: Tekan Israel demi Kemanusiaan Gaza - vichara.id

  2. Pingback: Jerman: Antara Peradaban dan Kebijakan Konyol - vichara.id

  3. Pingback: Jerman Blokir Sanksi UE, Gaza Terus Berdarah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer