Opini
Dari Gaza ke Sudan Selatan: Lelucon Pahit di Tengah Perang

Israel sedang berunding dengan Sudan Selatan untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza—sebuah wilayah yang nyaris tak tersisa selain puing dan duka—ke sebuah negara yang, ironisnya, juga sedang terseok oleh konflik, kelaparan, dan ancaman perang baru. Ini bukan sekadar kabar biasa; ini seperti mendengar ada orang yang hendak menyelamatkan korban tenggelam dengan melempar mereka ke sungai yang arusnya lebih deras. Absurd, tapi di dunia ini, absurditas sering menyamar sebagai kebijakan.
Benjamin Netanyahu menyebutnya “migrasi sukarela,” seolah para warga Gaza akan mengemas barang, berpamitan, dan pergi dengan hati ringan menuju Sudan Selatan seperti turis mencari pantai eksotis. Tapi dalam realitasnya, “sukarela” di sini terdengar seperti pilihan di bawah todongan senjata: bertahan di Gaza yang luluh lantak atau pergi ke tempat yang bahkan tak bisa menjanjikan hidup lebih aman. Ini seperti menyuruh orang lari dari rumah yang terbakar menuju hutan yang penuh binatang buas—selamat dari api, tapi mungkin habis di rahang singa.
Sudan Selatan, negara termuda di dunia, baru saja mencoba merangkak dari perang saudara yang memakan hampir 400 ribu nyawa. Ekonominya compang-camping, infrastrukturnya rapuh, dan kantongnya bolong besar. Minyak adalah satu-satunya napas yang tersisa, itu pun bergantung pada jalur pipa melalui Sudan utara—yang sekarang sendiri sedang terbakar oleh perang antara SAF dan RSF. Mengirim warga Palestina ke sana sama saja dengan menambah beban kapal yang sudah nyaris karam. Jika ini disebut solusi, maka itu adalah solusi yang disusun bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk mengalihkannya.
Mesir jelas menolak. Mereka tahu, jika pintu Gaza benar-benar dibuka untuk eksodus massal, arus pengungsi tak akan berhenti di Sudan Selatan. Mesir akan menjadi jalur transit, dan pada titik tertentu, beban itu akan menimpa mereka. Dan, tentu saja, ada alasan yang lebih mendalam: pengosongan Gaza berarti penghapusan fakta sejarah bahwa tanah itu milik rakyat Palestina. Begitu mereka keluar, hak untuk kembali menjadi tipis seperti kertas, mudah sekali dirobek oleh politik dan kekuatan militer.
Kita tahu, dalam sejarah konflik ini, pengusiran paksa selalu dibungkus rapi. Tahun 1948 disebut “Nakba” oleh rakyat Palestina—bencana besar yang mengusir mereka dari rumah dan tanah leluhur. Kini, di tahun-tahun modern dengan kamera dan media sosial yang mengintai, istilahnya harus diubah: bukan “pengusiran,” tapi “relokasi kemanusiaan.” Begitu canggih, begitu diplomatis, tapi intinya tetap sama—membuang orang dari tanahnya. Bedanya, dulu mereka dipaksa lari ke tenda-tenda di tepi padang pasir. Sekarang, tenda-tenda itu akan berada di negara lain yang sama sekali asing, dengan sejarah dan konflik yang bukan milik mereka.
Pemerintah Sudan Selatan pun tidak berada dalam posisi untuk menolak mentah-mentah. “Cash-strapped,” kata seorang analis—kantong kosong dan lapar bantuan. Siapa pun yang datang dengan janji uang, investasi, atau sekadar simpati diplomatik bisa menjadi “teman.” Dan Israel tahu persis bagaimana menawarkan itu. Sejarahnya mencatat, Mossad pernah membantu Sudan Selatan dalam perjuangannya melawan Khartoum. Kini, bantuan itu mungkin akan dibayar dengan menerima warga Gaza. Dalam bahasa pasar, ini barter. Dalam bahasa kemanusiaan, ini memperdagangkan nyawa.
Lucunya—atau tragisnya—Netanyahu menyelipkan pembenaran hukum perang. Katanya, “biarkan penduduk pergi, lalu habisi musuh yang tersisa.” Pernyataan ini, jika diucapkan tanpa konteks, bisa terdengar seperti strategi perang biasa. Tapi jika diulik, ini justru menguak niat sebenarnya: bukan hanya mengalahkan Hamas, tapi menghapus populasi sipil yang dianggap penghalang bagi agenda politik. Kalau ini dibiarkan, maka Gaza akan menjadi halaman kosong, siap diisi kembali oleh pemukim baru sesuai rencana sayap kanan ekstrem.
Dan mari kita realistis: Sudan Selatan bukanlah tujuan yang aman. Perdamaian di sana tipis seperti kulit bawang. Pemimpin oposisi ditahan, kelompok bersenjata masih berkeliaran, dan ancaman kelaparan menghantui. Laporan mengatakan bahwa bahkan warga asli pun kesulitan mendapatkan makanan, apalagi pengungsi baru. Menempatkan warga Palestina di sana berarti mencampur bara dalam sekam—dengan risiko konflik etnis atau agama. Ada “historical issues” dengan penduduk Muslim atau Arab, dan itu bisa menjadi bahan bakar ketegangan baru.
Bagi banyak orang Palestina, ide pindah ke Sudan Selatan mungkin lebih menakutkan daripada bertahan di Gaza yang sedang dibombardir. Setidaknya di Gaza, mereka berada di tanah sendiri, berbicara bahasa yang sama, dan menghirup udara yang—meski berdebu dan penuh asap—masih udara rumah mereka. Di Sudan Selatan, mereka akan menjadi orang asing yang membawa beban sejarah yang bukan milik mereka, di tanah yang belum pulih dari luka-luka lama.
Dari sisi kita di Indonesia, absurditas ini terasa akrab. Kita pernah mendengar janji-janji manis yang ujungnya memindahkan masalah dari depan pintu ke halaman belakang orang lain. Dalam politik lokal, kita mengenalnya sebagai “lempar batu sembunyi tangan,” atau kadang “serahkan ke pihak ketiga”—selalu ada pihak yang bersedia menampung masalah, asal diberi cukup imbalan. Bedanya, di sini yang dipindahkan bukan barang atau proyek mangkrak, tapi manusia—dengan nyawa, keluarga, dan masa depan.
Di atas kertas, ini mungkin akan disebut sebagai kerja sama kemanusiaan lintas negara. Di dunia nyata, ini adalah pembersihan etnis yang dibungkus pita diplomasi. Dan dunia, dengan segala kesibukan dan politiknya, mungkin akan mengangguk saja, entah karena lelah atau karena lebih sibuk menjaga kepentingannya sendiri. Kita akan mendengar pernyataan-pernyataan standar tentang “keprihatinan,” tapi jarang ada yang berani menyebut ini apa adanya: upaya sistematis untuk menghapus satu komunitas dari peta.
Akhirnya, semua ini mengingatkan kita bahwa dalam konflik panjang seperti Palestina, kejahatan tak selalu datang dalam bentuk serangan udara atau tank yang merangsek. Kadang ia datang dalam bentuk tawaran tiket pesawat ke negeri yang jauh, lengkap dengan tenda pengungsian dan janji hidup baru—tapi tanpa jalan pulang. Dan itu, dalam banyak hal, bisa lebih mematikan daripada peluru. Sebab peluru membunuh tubuh, tapi pengusiran membunuh sejarah, identitas, dan hak untuk ada.
Jika rencana ini benar-benar berjalan, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai “solusi” atau “inisiatif damai,” melainkan sebagai salah satu trik paling dingin dan terencana dalam perang panjang ini. Dunia boleh memujinya sebagai terobosan kemanusiaan, tapi rakyat Palestina akan mengingatnya sebagai hari ketika tanah air mereka resmi dikemas dalam koper dan dikirim ke negara yang bahkan tak pernah mereka bayangkan. Dan kita, yang menyaksikan dari jauh, hanya bisa bertanya-tanya: berapa banyak lagi tragedi yang harus dibungkus dalam kata “sukarela” sebelum dunia berhenti berpura-pura percaya?