Connect with us

Opini

Dari Brexit ke Tarif Trump: Satir Kehidupan Ekonomi Inggris

Published

on

Di bawah langit kelabu London, suasana seakan memperingatkan sebuah malapetaka yang bakal datang. Pemerintah Inggris, yang sedang berjuang mempertahankan daya tahan ekonomi pasca-Brexit, kini menghadapi ancaman besar lainnya: tarif baru dari Amerika Serikat yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump. Media-media besar Inggris, seperti Reuters dan The Guardian, berlomba-lomba melaporkan kabar buruk tersebut. Donald Trump, yang dikenal dengan pendekatannya yang blak-blakan, telah menyatakan bahwa kebijakan tarifnya ini akan menjadi bagian dari apa yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan” bagi Amerika. Sementara itu, proyeksi dari Office for Budget Responsibility (OBR) memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan menyusut sekitar 1%—angka yang terlihat kecil, tetapi cukup untuk memicu kegelisahan yang mendalam di kalangan pejabat pemerintah dan masyarakat umum.

Di balik pintu-pintu pemerintahan Whitehall, para pejabat Inggris kini berbisik dengan nada cemas. “Ini situasi yang sangat tak terduga, pemerintahan yang tak terduga,” ungkap salah satu sumber yang diwawancarai oleh The Guardian. Mereka mulai mempersiapkan segala kemungkinan, namun langkah yang diambil tampaknya lebih seperti penari balet yang kehilangan irama—canggung, ragu, dan penuh pertimbangan yang berlebihan. Jurubicara Keir Starmer, pemimpin oposisi, dengan optimis mengatakan bahwa pihaknya “aktif mempersiapkan semua kemungkinan,” namun di lapangan, situasi yang dihadapi Inggris tampaknya lebih mirip dengan seekor domba yang menunggu pisau jagal daripada singa yang siap melawan.

Donald Trump, dengan rambut emasnya yang terkenal selalu tertata rapi, tampaknya memiliki rencana yang sangat sederhana: memotong defisit perdagangan Amerika Serikat yang mencapai $1,2 triliun dengan memukul negara-negara, termasuk Inggris, melalui kebijakan tarif. Tidak hanya barang-barang seperti mobil Bentley dan Aston Martin yang terancam dikenakan tarif 25%, tapi juga sektor baja yang sudah merasakan dampaknya sejak minggu lalu, hingga membuat pabrik-pabrik baja terakhir di Inggris mempertimbangkan untuk tutup. Trump tentu saja melihat semua ini sebagai langkah yang “keren,” mungkin sambil tersenyum puas di Oval Office, membayangkan Inggris berlutut dan memohon kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan bagi Amerika.

Namun, meskipun Inggris sedang berada dalam posisi terjepit, bukan berarti negara ini tidak punya nyali untuk melawan. Kanada, misalnya, pernah menunjukkan keteguhan dalam menghadapi tarif Trump dengan tegas, meskipun tanpa harus bertindak drastis. Venezuela juga pernah melawan kebijakan serupa—meskipun dengan cara yang bisa dianggap sangat nekat dan penuh risiko. Tapi kenapa Inggris tidak segera membalas serangan ini? Jawabannya terletak pada situasi Inggris pasca-Brexit, yang semakin membuat negara ini terlihat telanjang, rentan, dan masih mencari-cari posisinya di kancah dunia internasional. Keir Starmer, yang mencoba memperbaiki hubungan dengan Trump melalui pembicaraan pada Minggu malam, menyebut pertemuan tersebut sebagai “negosiasi yang produktif,” tetapi siapa yang bisa menutupi rasa pahit dari kenyataan bahwa Inggris kini berada dalam posisi yang lebih lemah dibanding sebelumnya?

Bayangkan sejenak, jika Inggris akhirnya memutuskan untuk melawan kebijakan tarif Trump. Para pejabat di Downing Street—tempat kediaman resmi Perdana Menteri Inggris—membanting meja dengan keras dan berseru, “Kami tidak akan tunduk pada cobaan dari Washington ini!” Parlemen Inggris kemudian dengan cepat menyetujui kebijakan balasan, yang mencakup tarif baru sebesar 30% untuk bourbon Kentucky, 40% untuk apel Washington State, dan bahkan 50% untuk semua film Hollywood yang masuk ke bioskop Inggris. “Lihat siapa yang tertawa sekarang, Trump!” teriak seorang anggota parlemen sambil mengibarkan bendera Union Jack.

Tentu saja, setelah keputusan tersebut, aksi-aksi protes langsung meletus di seluruh Inggris. Para pengemudi mobil Bentley mogok dan berhenti di depan kedutaan besar Amerika Serikat, para buruh baja yang terancam kehilangan pekerjaan membarikade jalan-jalan utama dengan tungku baja raksasa, dan para pedagang fish-and-chips mengadakan demo dengan melemparkan kentang ke foto Trump. “Kami tidak takut tarifmu!” teriak mereka, meskipun dalam hati mereka tahu bahwa dampaknya akan sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Industri otomotif dan baja yang sebelumnya sudah terpuruk kini berubah menjadi simbol perlawanan—meskipun hanya untuk sementara, sebelum mereka akhirnya tumbang di bawah beban krisis ekonomi yang lebih besar.

Trump, tentu saja, tidak akan tinggal diam. Dari Mar-a-Lago, resor mewahnya di Florida, dia mungkin langsung melontarkan cuitan—atau apapun cara komunikasi yang dia gunakan sekarang—mengatakan, “Inggris berani melawan saya? Tarifnya akan naik jadi 50%! Kalian pasti akan kalah!” Begitulah, perang dagang pun meledak. Harga mobil Inggris yang sebelumnya dijual murah di Amerika Serikat langsung melambung tinggi, ekspor Inggris ambruk, dan pabrik-pabrik besar mulai tutup. Di sisi lain, bourbon Kentucky menjadi barang langka di London, dan bioskop di Inggris dipenuhi oleh film-film murahan buatan Inggris yang tidak ada yang tertarik menontonnya.

Namun, di balik segala kekacauan ini, terdapat sisi yang lebih gelap. Melawan Trump bukan hanya soal keberanian—ini juga soal perhitungan ekonomi yang sangat cermat. Ekonomi Inggris, yang sudah rapuh pasca-Brexit, tidak memiliki banyak daya untuk bertahan melawan gempuran tarif yang diberlakukan oleh Amerika. Negara ini tidak memiliki posisi yang sekuat Kanada yang terlindung oleh perjanjian perdagangan USMCA, ataupun keteguhan Venezuela yang meskipun kalah dalam banyak hal, tetap berani menantang tanpa rasa takut. Oleh karena itu, meskipun balasan terhadap tarif Trump bisa tampak heroik, kenyataannya bisa seperti menembak kaki sendiri dengan senapan tua—nyeri, berdarah, dan akhirnya membuat negara itu jatuh lebih dalam ke jurang kemerosotan.

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh Inggris? Negara ini bisa saja terus berharap bahwa negosiasi akan mengubah arah kebijakan Trump, tetapi waktu jelas bukanlah teman mereka. Tarif yang dijanjikan Trump sebagai bagian dari “Hari Pembebasan” sudah semakin dekat, dan setiap menit yang berlalu adalah pukulan baru bagi ekonomi Inggris. Melawan berarti berisiko mati berdiri, sementara tunduk berarti hidup berlutut. Ini adalah pilihan yang sangat sulit bagi sebuah negara yang dulu berjaya.

Di akhir cerita ini, bayangkan Keir Starmer berdiri di podium dengan wajah pucat, mengumumkan keputusan untuk memberlakukan tarif balasan kepada Amerika, sementara tangannya gemetar. Di belakangnya, bendera Union Jack berkibar, namun angin yang berhembus terasa panas, seperti hembusan tawa Trump yang penuh cemoohan. “Kami akan bertahan!” seru Starmer, meskipun matanya mengisyaratkan keraguan. Di luar, rakyat bersorak—atau mungkin menangis—saat harga bensin meroket, toko-toko tutup, dan ekonomi semakin terpuruk. Perlawanan Inggris baru dimulai, tetapi akankah itu cukup untuk menghadapi gempuran dari raja tarif asal Amerika?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *