Connect with us

Opini

Darah Minoritas Suriah dan Ahmad Al-Sharaa

Published

on

Pada suatu Selasa yang biasa, sebuah komite fakta buatan pemerintah Suriah mengumumkan sesuatu yang luar biasa: bahwa dalam bulan Maret saja, 1.426 orang tewas. Tidak, bukan karena gempa bumi, bukan karena wabah, tapi karena manusia membunuh manusia lain dengan alasan yang terdengar amat spiritual—sektarianisme. Pemerintah menyebutnya sebagai kekerasan balasan terhadap serangan terhadap pasukan keamanan. Retorika lama. Darah baru. Tapi jangan khawatir, katanya, tak ada komandan yang memberi perintah pembantaian. Semua terjadi begitu saja, spontan, seperti hujan turun atau kucing melahirkan di atap rumah.

Laporan itu, kalau dibaca dengan tenang dan tidak sedang lapar, sebenarnya mengandung muatan humor hitam yang tak tertahankan. Pemerintah yang kini dipimpin Ahmad al-Sharaa, mantan pentolan Hay’at Tahrir al-Sham (HTS)—sebuah kelompok militan yang dulu kalau disebut dalam berita langsung bikin jantung berdebar—kini tampil rapi, berjas, dan berbicara tentang penyelidikan, prosedur hukum, dan keadilan. Katanya, 298 pelaku kekerasan terhadap Alawiyin sudah diidentifikasi, dan 265 lainnya juga dikenali sebagai pemicu awal serangan. Tapi siapa mereka? Mana daftarnya? Maaf, belum bisa diumumkan, katanya. Dikirim dulu ke pengadilan. Transparansi bisa menunggu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lucunya, di negeri yang mengklaim sedang dalam masa transisi damai, darah minoritas justru mengalir lebih deras dari sebelumnya. Alawiyin dibantai di pesisir, Druze dimusnahkan di Sweida, dan negara—yang katanya baru—malah berdiri seperti penjaga toko yang malas, menutup mata sambil bersiul. Bukan karena tidak bisa berbuat, tapi karena tidak ingin. Tidak perlu jadi cendekiawan politik Timur Tengah untuk melihat ini: kekuasaan baru sedang memantapkan kekuasaannya dengan cara lama. Bakar dulu, bangun kemudian. Kalaupun dibangun.

Pemerintahan Ahmad al-Sharaa sebenarnya adalah eksperimen politik yang menarik. Seorang mantan pemimpin kelompok jihad, kini menduduki kursi presiden. Ironis? Tentu. Tapi Suriah adalah tanah yang subur untuk ironi. Di sini, revolusi dimulai dengan harapan dan diakhiri dengan daftar korban. Di sini, “kebebasan” berganti nama jadi “keamanan nasional”, dan keadilan disesuaikan dengan siapa yang sedang memegang senjata.

Sialnya, kekerasan sektarian tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu disembunyikan atau disesalkan. Ia telah menjadi komoditas, alat, bahkan—jika boleh jujur—strategi politik. Minoritas dijadikan kambing hitam untuk menyatukan mayoritas yang mulai bosan menunggu hasil revolusi. Ketika ekonomi hancur, layanan publik lumpuh, dan rakyat lapar, selalu ada cara klasik untuk mengalihkan perhatian: bangkitkan narasi sektarian, beri mereka musuh bersama, dan biarkan mereka saling tikam atas nama iman.

Pemerintahan al-Sharaa tentu saja tahu ini. Bahkan sangat tahu. Mereka tak sedang gagap, mereka sedang lihai. Dengan menggunakan bahasa penyelidikan dan penegakan hukum, mereka menyembunyikan fakta bahwa yang terjadi di pesisir bukan insiden terisolasi, tapi praktik sistematis. Bahwa kekerasan terhadap Alawiyin bukan sekadar dendam lama, tapi bagian dari konsolidasi kekuasaan baru yang ingin memastikan tak ada residu Assad yang bisa bangkit. Dan di Sweida, ketika Druze mulai menyuarakan ketidakpuasan, jawaban dari pemerintah adalah peluru, eksekusi lapangan, dan serangan udara Israel sebagai bonus tambahan.

Ya, Israel. Di tengah kekacauan ini, negara Zionis itu muncul dalam narasi dengan peran yang tidak kalah gila. Meluncurkan serangan udara ke bangunan Kementerian Pertahanan Suriah, membunuh pejabat dan warga sipil. Israel menyerang rezim yang dulu mereka musuhi, kini diperintah oleh HTS yang secara ideologis juga membenci mereka. Tapi politik itu cair, kata orang. Dalam kasus Suriah, kadang terlalu cair hingga baunya menyengat.

Dan di atas semua kekacauan ini, Ahmad al-Sharaa tetap tersenyum dalam konferensi pers. Dengan setelan jas yang bersih dan bahasa tubuh yang tenang, ia bicara tentang reformasi, rekonsiliasi, dan pemilu di masa depan. Tapi orang-orang di Sweida tidak bicara tentang pemilu—mereka bicara tentang keluarga yang dibunuh, tetangga yang hilang, dan mayat yang belum dikubur karena takut diserang saat pemakaman. Orang-orang Alawiyin di pesisir tidak bicara tentang masa depan—mereka bicara tentang bagaimana mereka akan bertahan hidup malam ini.

Ada ungkapan lama di Timur Tengah: jika engkau tidak bisa menyatukan rakyat dengan cinta, satukanlah mereka dengan ketakutan. Ahmad al-Sharaa sepertinya memahami ini dengan baik. Ia tahu bahwa dalam kekacauan, ia bisa membentuk ulang negara sesuai citranya. Ia tahu bahwa dengan menjaga konflik sektarian tetap menyala di pinggiran, pusat kekuasaan akan tetap hangat untuknya dan orang-orangnya.

Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya: apakah Suriah benar-benar berganti rezim? Ataukah hanya mengganti aktor dalam drama yang naskahnya tetap sama? Assad pergi, tapi pola represinya tampaknya diwariskan dengan baik. Kekerasan sebagai alat politik, sektarianisme sebagai bahan bakar, dan propaganda sebagai selimut. Bedanya hanya kini, pelakunya membawa label revolusioner, bukan dinasti.

Kita yang jauh di Indonesia, yang hidup dalam demokrasi (meski sering kacau), seharusnya bisa bercermin. Betapa mudahnya demokrasi runtuh ketika suara rakyat digantikan oleh suara senjata. Betapa cepatnya harapan bisa berubah menjadi senapan. Suriah mengajarkan bahwa tak semua revolusi berakhir dengan pembebasan. Kadang ia hanya mengganti wajah penindas, memberi jeda beberapa tahun, lalu memulai kembali daur ulang darah.

Mungkin suatu hari nanti, Ahmad al-Sharaa akan duduk di depan kamera, diwawancarai oleh media asing, dan berkata bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari “proses transisi yang sulit.” Ia akan menyebut kekerasan sebagai “tantangan keamanan,” eksekusi massal sebagai “kecelakaan operasi,” dan pembantaian sektarian sebagai “respon spontan.” Ia akan memakai kata-kata itu seperti parfum mahal—untuk menutupi bau busuk yang menyebar dari istananya sendiri.

Dan mungkin dunia akan percaya. Atau pura-pura percaya. Karena dunia ini, seperti halnya kekuasaan, seringkali hanya peduli pada stabilitas, bukan keadilan. Pada yang berkuasa, bukan yang berduka. Maka, jika Anda ingin memahami Suriah hari ini, jangan lihat pada siapa presidennya. Lihat pada siapa yang terkubur diam-diam. Di pesisir. Di Sweida. Di laporan yang hanya jadi headline selama dua hari. Lalu tenggelam.

Sebab di negeri itu, darah adalah bahasa resmi yang tak pernah dihapus dari dokumen transisi.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer