Connect with us

Opini

Danantara: Mimpi Emas atau Pintu Neraka Investasi?

Published

on

Indonesia kembali dengan proyek ambisius, kali ini bernama Danantara (Daya Anagata Nusantara). Dana kekayaan negara terbesar di dunia, katanya. Rp14.000 triliun dikelola demi masa depan bangsa, klaimnya. Diluncurkan pada 24 Februari 2025, proyek ini digadang-gadang sebagai solusi investasi jangka panjang. Tapi mari jujur sejenak: apakah ini jalan menuju kejayaan ekonomi atau lubang hitam investasi yang siap menelan kepercayaan publik dalam sekali telan?

Sejarah telah memberi pelajaran pahit, namun bangsa ini tampaknya gemar melupakan. Jiwasraya, Asabri, Garuda, dan sederet skandal lain cukup menjadi referensi. Kini, ketika Danantara diluncurkan, orang-orang justru sibuk bertaruh: berapa lama sebelum ada kasus korupsi pertama? Bukan soal pesimisme, ini hanya insting bertahan hidup di negeri di mana uang rakyat sering kali lebih lincah menguap dibanding janji transparansi.

Skeptisisme publik bukan tanpa dasar. Pemerintah bersumpah menjaga integritas Danantara, membentuk pengawasan berlapis, melibatkan lembaga hukum, dan berjanji menjalankan tata kelola kelas dunia. Semua terdengar indah di atas kertas, tetapi bukankah kertas juga bisa terbakar? Pengalaman membuktikan bahwa semakin kompleks sebuah sistem pengawasan, semakin besar kemungkinan ada celah yang bisa dimainkan.

Ketika pengumuman Danantara menggema, pasar saham justru melemah. Ini menarik. Jika proyek sebesar ini adalah kabar baik, mengapa investor tidak melonjak kegirangan? Mungkin mereka terlalu sibuk mengingat-ingat bagaimana setiap megaproyek pemerintah selalu datang dengan janji surga, tapi berakhir dengan duka nestapa. Tidak ada yang lebih rasional dalam dunia investasi selain mencium bau busuk lebih awal.

Untuk menjamin kredibilitasnya, Danantara menghadirkan dewan penasihat yang diisi mantan presiden, figur politik, hingga nama-nama internasional. Tentu ini mengundang pertanyaan: apakah ini soal keahlian atau sekadar bagi-bagi peran untuk menjaga stabilitas kekuasaan? Singapura punya Temasek yang dikelola profesional, kita punya Danantara yang dikawal oleh orang-orang yang dulu ada di lingkaran kekuasaan. Menarik, bukan?

Janji transparansi selalu diulang, tetapi bagaimana memastikan itu bukan sekadar retorika? Publik menginginkan akses real-time, audit terbuka, sistem yang bisa diamati siapa saja, bukan sekadar laporan tahunan penuh angka-angka ajaib. Tapi mari jujur, apakah benar akan ada sistem yang bisa diakses publik tanpa ada sensor? Atau kita akan kembali mendengar cerita klasik: ini rahasia negara?

Optimisme selalu dijual dengan harga mahal. Ada harapan bahwa Danantara akan menjadi pengubah permainan, menarik investasi asing, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tetapi optimisme tanpa landasan realitas adalah utopia yang menyesatkan. Bagaimana mungkin investor percaya ketika rakyatnya sendiri ragu? Kepercayaan adalah aset, dan kita sudah terlalu sering kehilangannya.

Mungkin pemerintah benar bahwa proyek ini tidak boleh gagal. Tetapi jika kepercayaan publik terus dibiarkan remuk, apakah kita benar-benar bisa menyalahkan mereka yang skeptis? Di negeri di mana angka triliunan hanya angka di laporan keuangan, rakyat hanya ingin satu hal sederhana: bukti, bukan janji. Danantara boleh besar, tetapi rakyat tidak bisa lagi dibodohi dengan slogan-slogan megah.

Mungkin, dalam beberapa dekade ke depan, Danantara akan dikenang sebagai lompatan besar menuju kejayaan ekonomi Indonesia. Atau mungkin, ia akan dicatat sebagai contoh klasik bagaimana kita tidak pernah belajar dari sejarah. Waktu akan menjadi hakim terbaik. Dan selama itu, publik hanya bisa mengamati dengan mata waspada, karena yang paling berbahaya dari janji-janji besar adalah ketika ia mulai dipercayai tanpa pertanyaan.

 

*Sumber:

Danantara VS Kepercayaan Publik, Ini Kata Rosan Roeslani saat Ditanya Raymond Chin | ROSI

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *