Connect with us

Opini

Dana PIP: Cerdas di Kertas, Korup di Tangan

Published

on

Jangan coba-coba mainkan dana PIP, ada sanksi menanti!” tegas Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti (9/3/2025). Nada tegasnya bergema, tapi di lapangan, dana untuk anak miskin tetap jadi bancakan. Sistem ini katanya pintar, nyatanya bodoh luar biasa.

Bayangkan Program Indonesia Pintar (PIP) sebagai roda besar yang dirancang menggiling kemiskinan pendidikan. Tapi rodanya macet. Bukan karena oli habis, melainkan karena tangan-tangan kotor mencuri pelumasnya—dana PIP—untuk mengisi kantong pribadi. Sistem cerdas? Lebih mirip sistem culas.

Mari kita bedah ini. Niat awalnya mulia: pemerintah ingin anak miskin sekolah. Dana dikucurkan, aturan dibuat, teknologi SIPINTAR diluncurkan. Tapi niat baik ini seperti balon helium—terbang tinggi, lalu meletus di udara. Kenapa? Karena elemen sistemnya saling tikam.

Pertama, pemerintah pusat, si perancang kebijakan. Mereka duduk di menara gading Jakarta, merancang aturan sambil menyeruput kopi Rp50 ribu secangkir. Dana dikirim lewat bank, katanya transparan. Tapi di bawah, sekolah kecil berubah jadi sarang tikus. Kepala sekolah dan stafnya menggigit dana itu, pura-pura tak paham aturan.

Sekolah, yang seharusnya jadi tempat suci, justru jadi ATM berjalan bagi oknum. “Anak-anak dapat Rp225 ribu, saya ambil Rp50 ribu buat bensin,” kata mereka, seolah bensin lebih penting dari buku pelajaran. Sistem membiarkan ini terjadi karena pengawasan hanya formalitas.

Sementara itu, siswa dan orang tua—penerima manfaat—justru dibuat buta. Mereka tak tahu haknya, tak paham cara mengadu. Literasi rendah, akses minim, membuat mereka seperti boneka bisu. Pemerintah bilang, “Ada call center 177!” Tapi coba tanya, berapa banyak orang tua di desa yang punya pulsa untuk menelepon?

Bank penyalur? Tak jauh beda. BRI, BNI, BSI—semua jadi penutup buku transaksi suci. Dana masuk, dana keluar, tapi ke mana? Laporan rapi, tapi tak ada yang benar-benar peduli apakah uang itu sampai atau tidak. Bank hanya mesin tanpa hati, dan sistem membiarkan mereka cuci tangan.

Teknologi SIPINTAR, yang katanya solusi canggih, malah jadi dekorasi. Digitalisasi pencairan dana terdengar futuristik, tapi di desa tanpa sinyal, itu cuma ilusi birokrat. Oknum tetap memotong dana secara manual, sementara SIPINTAR cuma jadi alat pamer di rapat-rapat mewah.

Siklus Korupsi yang Berulang

Hubungan sebab-akibatnya tragis. Orang tua tak tahu haknya, jadi tak ada aduan. Tak ada aduan, oknum bebas berpesta. Dana raib, anak putus sekolah. Kemiskinan lestari, lalu pemerintah bikin program baru. Lingkaran setan ini lebih mirip komedi kelam ketimbang sistem pendidikan.

Sanksi yang dijanjikan Mu’ti? Hanya gertakan kosong. Tak ada efek jera, tak ada yang benar-benar dihukum. Malah, oknum belajar dari kesalahan: “Next time, potong lebih rapi!” Sistem tak belajar, hanya berputar di tempat seperti hamster di roda yang tak pernah sampai tujuan.

Komite sekolah dan masyarakat? Seharusnya jadi pengawas, tapi malah ikut makan. “Diam dapat bagian,” begitu logikanya. Sistem mengandalkan mereka sebagai penjaga, tapi lupa bahwa manusia tak bisa dipercaya kalau dompetnya kosong.

Media dan LSM kadang berteriak, tapi suara mereka tenggelam di lautan apatisme. “Korupsi PIP lagi? Biasa lah!” kata publik, lalu scroll X terus. Pemerintah pura-pura dengar, membuat pernyataan tegas seperti Mu’ti, lalu besoknya lupa.

Biaya Sosialnya Terlalu Mahal

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian PIP bisa mencapai Rp1,9 triliun. Uang ini cukup untuk membangun sekolah megah, bukan hanya janji megah. Tapi sistem lebih suka menjadikannya bancakan.

Solusi? Pemerintah bilang edukasi orang tua adalah kunci. Tapi coba bayangkan: ibu-ibu tani di desa diajari hak PIP tanpa HP, tanpa sinyal. Sistem pintar apa kalau realitanya masih analog?

Sanksi tegas? Hukuman apa yang benar-benar ditakuti oknum? Penjara? Mereka tahu cara keluar dengan duit. Sistem hukum kita sama leletnya dengan roda PIP—macet dan penuh oli korupsi.

Bandingkan dengan Singapura. Dana pendidikan mereka sampai tepat sasaran karena sistemnya tak cuma pintar di kertas. Pengawasan ketat, teknologi nyata, dan hukuman bikin takut. Kita? Sistem kita seperti mobil tua: bannya kempes, mesinnya karatan, tapi dicat ulang biar kelihatan baru.

Kesimpulan: PIP atau Program Indonesia Penipu?

Bayangkan anak SD di desa, duduk di bangku reyot, menatap kosong karena tak punya buku. Dana PIP-nya dipakai kepala sekolah buat tambal ban motor. Di Jakarta, pejabat pidato soal “generasi emas 2045.”

Jadi, apa gunanya PIP kalau akhirnya jadi “Program Indonesia Penipu”? Mu’ti boleh berkoar, tapi tanpa sistem yang benar-benar bergerak, ancamannya cuma angin lalu. Kita butuh lebih dari kata-kata—roda macet ini harus diganti, atau setidaknya dilempar ke jurang.

Tapi siapa yang berani? Birokrat lebih suka duduk manis.

Satu-satunya yang benar-benar pintar di sini adalah cara mencuri. Lebih canggih dari SIPINTAR.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *