Opini
Dana Parpol: Dapur Elit yang Tak Pernah Kenyang

Di bawah sorotan lampu studio TV One, wajah-wajah serius tampil dalam diskusi soal dana partai politik (parpol) dari APBN. Nada optimisme melayang tinggi—seolah menambah miliaran rupiah ke kantong parpol bisa menyihir korupsi lenyap dari muka bumi. Angka-angka fantastis dilemparkan: dari Rp1.000 per suara melonjak ke Rp6.400, bahkan Rp10.000. Alasannya? Demi kemandirian parpol dan demokrasi yang lebih bersih, katanya.
Namun di luar studio, di gang-gang sempit kampung, rakyat menghitung receh untuk beli beras, minyak goreng, atau sekadar lauk seadanya. Kegelisahan menyeruak seperti asap dapur yang kehabisan kayu bakar. Apakah ini solusi? Atau justru absurditas yang menyakitkan?
Titi Anggraini dari Universitas Indonesia berbicara penuh semangat soal sistem integritas. Di sisi lain, Arya Bimo dari Komisi II DPR dan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menebar jargon “akuntabilitas.” Tapi di Stasiun Manggarai, suara rakyat jauh lebih jujur—dan lebih pedih. Seorang penumpang berkata lirih, “Lebih baik dana itu buat pendidikan.” Wajah-wajah lelah di sekitarnya seolah berbisik hal serupa: “Parpol ngapain sih mikirin duit buat mereka sendiri, sementara kami susah makan?”
Bayangkan, di negeri yang katanya kaya raya, para elit politik sibuk mengkaji cara menggemukkan anggaran parpol. Bahkan KPK—yang seharusnya jadi penjaga benteng moral bangsa—ikut mengusulkan agar dana APBN mengucur lebih deras ke parpol. Dalihnya mulia: agar parpol tak lagi tergantung pada “cukong.”
Logikanya begini: bila parpol didanai negara, maka ketergantungan pada donatur swasta berkurang. Mereka tak perlu membayar utang budi yang kerap berujung pada kebijakan berpihak. Tapi benarkah sesederhana itu?
Dialog di CNN Indonesia mencatat, Pemilu 2024 menghabiskan Rp71 triliun—naik drastis dari Rp45 triliun pada 2019. Angka-angka ini bikin kepala pening. Apalagi saat harga beras dan minyak goreng terus meroket. Kalau Rp71 triliun saja belum cukup untuk mewujudkan demokrasi bersih, lalu berapa lagi yang dibutuhkan?
Di sisi lain, rakyat antre demi minyak subsidi. Ini seperti menyaksikan elit menari di atas luka yang belum sembuh.
Titi Anggraini mengakui, peningkatan dana bukanlah panasea untuk korupsi. Ia menyebut contoh Jerman dan Swedia, yang berhasil karena sistem pengawasan ketat dan budaya politik yang matang. Tapi, mari jujur saja—ini Indonesia, kawan!
Di sini, laporan keuangan parpol kerap disembunyikan. Pengelolaan keuangan dikuasai segelintir elit. Titi sendiri menyebutkan bahwa banyak parpol enggan membuka “dapur” mereka. Dialog di TV One menegaskan kenyataan pahit itu: sebagian besar dikuasai donatur atau pengurus yang menyuntik dana puluhan miliar.
Kalau begitu, apa gunanya dana dari negara jika tetap mengalir ke kantong yang sama?
Arya Bimo tampil dengan gaya khas politisi penuh jargon. Ia bicara soal “finance engineering democracy.” Kedengarannya keren. Tapi coba tanya emak-emak di pasar: apa artinya itu bagi mereka yang cuma punya Rp10.000 untuk belanja hari ini?
Ironisnya, Bimo sendiri mengaku, setelah lima periode duduk di DPR, ia tak tahu pasti berapa biaya riil demokrasi. Jika orang dalam saja bingung, bagaimana rakyat bisa percaya?
Dan di sinilah kekecewaan memuncak. Seperti pisau yang menusuk pelan-pelan, rasa perih itu tak hanya datang dari besarnya dana, tetapi dari ketidakpekaan moral yang menyelimutinya. Saat dapur-dapur rakyat kehabisan kayu bakar, para politisi justru sibuk mengurus “dapur” mereka sendiri.
Ini bukan lagi sekadar persoalan etika, tapi soal nurani. Dalam kondisi ekonomi yang menjerit—APBN yang tertekan, harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik—rakyat butuh solidaritas, bukan ego sektoral. Tapi yang kita lihat: alih-alih memotong anggaran parpol atau gaji anggota dewan untuk membantu rakyat, para elit malah minta lebih.
Sungguh ironi yang luar biasa. Seperti menyiram garam ke luka yang sudah berdarah.
Bukankah di saat rakyat berjuang sekadar untuk makan, parpol seharusnya justru menunjukkan empati? Memotong jatah sendiri demi subsidi pangan atau bantuan sosial? Tapi tidak. Mereka justru mengulurkan tangan, minta lebih. Seolah rakyat hanyalah penonton dalam drama politik yang melelahkan.
Dialog di TV One menangkap suara-suara yang nyaring tapi sering diabaikan. Fasya, salah satu narasumber, berkata ragu-ragu: ia setuju dana parpol ditambah, jika parpol menjadi lebih amanah. Tapi Alifanika bicara lebih lugas: ia muak, skeptis pada politik yang katanya demokratis, tapi kenyataannya hanya menguntungkan segelintir orang.
Inilah suara rakyat yang sesungguhnya. Campuran antara harapan yang pudar dan kekecewaan yang membeku.
Bima Arya mencoba meyakinkan publik: katanya dana ini bukan untuk pengurus, tapi untuk kaderisasi dan pendidikan politik. Tapi maaf, Pak Bima, ini terdengar seperti lelucon pahit. Selama ini, dengan dana Rp1.000–Rp1.500 per suara saja parpol belum menjalankan fungsinya. Apa jaminan bahwa kenaikan menjadi Rp10.000 akan menghasilkan perubahan?
Data KPK menunjukkan bahwa dana negara selama ini hanya menutup sekitar 0,3% kebutuhan parpol. Sisanya datang dari donatur, iuran anggota, dan sumbangan sukarela caleg—yang tentu saja sarat kepentingan. Sistem seperti ini bukan hanya rentan korupsi, tapi mencerminkan kemunafikan politik itu sendiri.
Kita semua ingin demokrasi yang bersih. Tapi menutup mata terhadap ongkos politik yang tak transparan justru menambah kelam demokrasi itu sendiri.
Yang paling menyakitkan dari semua ini adalah kehilangan rasa. Ketidakpekaan terhadap penderitaan rakyat sudah berubah menjadi kebiasaan. Indeks demokrasi menurun. Kepercayaan publik anjlok. Dan sebagian besar rakyat merasa tak punya suara lagi.
Parpol hari ini tampak lebih mirip mesin yang haus dana, ketimbang pelayan rakyat.
Bukankah seharusnya parpol menunjukkan solidaritas nyata? Potong anggaran mereka. Kurangi tunjangan anggota dewan. Alihkan dana itu untuk pangan, pendidikan, atau layanan kesehatan. Bukan karena populis, tapi karena itu yang paling masuk akal dan bermoral di tengah krisis.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka minta lebih. Seolah rakyat cuma angka di kertas suara, bukan manusia yang lapar.
Sikap saya jelas: tunda dulu rencana peningkatan dana parpol. Potong anggaran mereka. Alihkan untuk kebutuhan rakyat yang jauh lebih mendesak. Ini soal moralitas publik. Soal empati. Soal siapa yang sebenarnya lebih layak diberi prioritas.
Parpol juga harus membuktikan dulu bahwa mereka layak dipercaya. Buka laporan keuangan. Batasi masa jabatan ketua umum. Reformasi internal secara menyeluruh. Tanpa itu semua, penambahan dana tak lebih dari lakon sandiwara politik yang menyakitkan.
Bayangkan ibu di kampung yang sedang menghitung receh untuk beli telur. Lalu ia mendengar parpol meminta tambahan dana. Barangkali ia akan tersenyum getir, dan bergumam pelan, “Mereka pikir kami bodoh.”
Inilah tragedi di negeri yang katanya demokratis. Ironi yang tidak sekadar lucu, tapi menyesakkan. Dan pada akhirnya, rakyat bukan sekadar penonton—mereka adalah korban dari sistem yang lupa siapa yang seharusnya dilayani oleh demokrasi.
Sumber:
- CNN Indonesia – KPK Usul Dana Parpol Ditambah Dari APBN (https://www.youtube.com/watch?v=vWTNhvitJ7Y)
- TV One – Dana Parpol Gemuk, Cegah Korupsi? | AKIM tvOne (https://www.youtube.com/watch?v=EUQh3s9Uks0)