Connect with us

Opini

Damaskus dan Tel Aviv: Damai Tanpa Martabat

Published

on

Ada sesuatu yang ganjil dalam hiruk-pikuk berita Timur Tengah beberapa hari terakhir. Sementara dentuman bom masih mengguncang langit Damaskus, sementara helikopter Israel mendarat seenaknya di tanah Suriah, dan sementara desa-desa di pinggiran ibu kota dipenuhi kepanikan warga sipil, tiba-tiba kita mendengar kabar tentang sebuah kesepakatan keamanan. Kesepakatan yang katanya demi stabilisasi, demi mengurangi ancaman, demi mencegah “kesalahan perhitungan.” Ironi yang terasa begitu pekat, seperti bau asap mesiu yang menempel di udara, tak juga hilang meski diplomasi ditabuh di Paris.

Kita dibuat bingung, atau mungkin memang sengaja dibingungkan. Seolah-olah Suriah dan Israel masih bermusuhan, seolah-olah perang masih berkobar. Tetapi fakta yang paling telanjang justru menunjukkan kebalikannya: sejak lama, militer Suriah tidak menembakkan satu pun peluru balasan terhadap agresi Israel. Puluhan, bahkan ratusan serangan udara menghantam instalasi militer mereka, radar dihancurkan, pangkalan roket luluh lantak, brigade disapu habis, namun balasan? Nihil. Senyap. Dan kini, setelah sekian lama, akhirnya diumumkan ke publik bahwa pejabat Suriah dan Israel sudah berkali-kali bertemu, dengan pertemuan di Paris menjadi yang pertama dipublikasikan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa artinya? Mari kita jujur: ini bukan lagi sekadar perang dingin di perbatasan. Ini semacam pertunangan diam-diam yang ditutup rapat dari mata publik, lalu perlahan diberi ruang legitimasi. Seperti pasangan yang pura-pura bermusuhan di depan tetangga, padahal di dalam rumah sudah makan semeja. Pernyataan Ahmad al-Sharaa yang menolak Abraham Accords hanyalah permainan citra—sebuah panggung retorik untuk menjaga marwah nasionalisme Arab. Katanya Suriah berbeda dengan UEA atau Bahrain karena masih ada Golan yang diduduki. Katanya tidak ada normalisasi. Tetapi ketika mereka sudah bicara di Paris, sudah berkali-kali berunding, lalu militer tak pernah merespons agresi Israel, apakah itu bukan bentuk normalisasi terselubung?

Lihatlah bagaimana kata “stabilisasi” dipakai sebagai mantra. Stabilisasi, katanya, berarti demiliterisasi Golan dan selatan Suriah. Stabilisasi, katanya, berarti mencegah rekonstruksi militer Suriah agar tak lagi punya taring. Stabilisasi, katanya, berarti membuka jalur kemanusiaan untuk kaum Druze. Tapi mari kita kupas: stabilisasi di sini hanyalah sinonim halus dari pelucutan, penyerahan, penundukan. Jika Suriah setuju pada kesepakatan ini, maka yang terjadi bukan stabilitas, melainkan perwujudan status quo baru di mana Israel tetap berdaulat atas Golan, sementara Damaskus dipaksa menjadi negara tanpa gigi di selatan.

Bahkan gagasan tentang “humanitarian corridor” terdengar mulia, namun menyimpan aroma manipulasi. Jalur kemanusiaan yang digadang-gadang itu bisa dengan mudah berubah menjadi “David’s Corridor,” jalan darat strategis yang menghubungkan wilayah Kurdi di utara, Irak, dan Israel. Sebuah koridor bukan sekadar untuk distribusi bantuan, melainkan jalur hidup proyek Greater Israel. Saya rasa kita semua tahu betul, sejarah terlalu sering menunjukkan bagaimana istilah “kemanusiaan” dijadikan bungkus manis bagi rencana ekspansi.

Lalu di mana posisi Suriah? Apakah benar-benar punya pilihan? Negeri yang luluh lantak oleh perang berkepanjangan itu kini bagai rumah yang hancur diterjang banjir, dindingnya runtuh, pondasinya rapuh. Dalam keadaan seperti itu, mudah saja datang “tetangga” yang menawarkan payung dan bantuan, tapi dengan syarat: jangan pernah membangun rumahmu lebih kokoh dari milikku. Jangan pernah pasang pintu besi, jangan pasang jendela kuat, cukup papan tipis agar aku bisa intip kapan saja. Itulah posisi Suriah dalam kesepakatan ini: diberi ruang hidup, tapi dalam kandang yang dibuat pihak lain.

Dan mari kita jangan naif. Amerika Serikat jelas hadir sebagai sutradara. Utusan Tom Barrack muncul dalam pertemuan dengan Netanyahu, Dermer, dan Katz. Paris menjadi panggung diplomasi hanya untuk memberi kesan “internasional.” Namun naskahnya sudah ditulis di Washington: Suriah tidak boleh menjadi basis Iran dan Hizbullah, Suriah harus masuk orbit baru, Suriah boleh kembali ke panggung global asal tunduk pada garis merah Israel. Kesepakatan ini, jika terwujud, adalah tanda tangan di atas kertas yang sudah digambar garis oleh orang lain.

Yang membuat getir adalah kontradiksi yang terus dipelihara. Di televisi Suriah, kita mendengar pidato keras tentang kedaulatan, tentang pelanggaran Israel, tentang peluru-peluru yang menghantam tanah mereka. Tapi di meja diplomasi, kita tahu pembicaraan berlangsung dengan lancar, bahkan berulang kali. Seolah-olah seluruh dunia Arab sedang diajak menyaksikan sebuah teater. Panggung depan adalah drama permusuhan. Panggung belakang adalah negosiasi tentang pembagian peran. Dan kita, penonton, dibuat percaya bahwa lakon ini nyata, padahal arahnya sudah lama ditentukan.

Sebagai orang yang tumbuh dalam narasi solidaritas Palestina, saya merasa pahit membaca semua ini. Kita tahu betul, retorika anti-Israel selalu menjadi modal politik para penguasa Arab. Namun dalam praktiknya, banyak dari mereka memilih jalan lain. Ada yang terang-terangan, seperti UEA atau Bahrain. Ada pula yang bermain simbolik, seperti Suriah hari ini. Mereka menolak label normalisasi, tapi menerima substansinya dalam bentuk demiliterisasi dan jalur koridor. Saya teringat pepatah lama: “Jika kau tak bisa melawan, pura-pura melawanlah, agar rakyatmu tetap percaya.”

Namun rakyat tidak sebodoh itu. Warga Suriah tahu betul siapa yang mengebom desa mereka. Mereka melihat sendiri helikopter Israel mendarat di Sweida, mendengar sendiri dentuman di Quneitra, menyaksikan sendiri serangan di Damaskus. Mereka juga tahu betul pemerintah mereka tak menembak balik. Pertanyaan menggantung di udara: apakah ini perang, ataukah sudah semacam akomodasi? Apakah ini permusuhan abadi, atau sekadar permainan peran demi menjaga muka?

Situasi ini, jika dilihat dari jauh, seperti kisah rumah tangga yang penuh sandiwara. Pasangan itu ribut besar di depan tetangga, saling lempar piring dan teriak-teriak soal harga diri. Tapi malamnya, mereka duduk di meja makan, berbisik dan menyusun rencana bersama. Ironi semacam ini hanya bisa membuat kita menggeleng kepala. Karena di ujungnya, yang menjadi korban tetap sama: rakyat kecil. Mereka yang rumahnya hancur, anak-anak yang trauma, keluarga yang kehilangan. Sementara elite politik berbicara tentang “stabilisasi,” rakyat dibiarkan menanggung “ketidakstabilan” yang nyata.

Saya tidak mengatakan Suriah tak berhak mencari jalan keluar. Negara itu sudah terlalu lama dicabik-cabik perang. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa kesepakatan seperti ini lebih dekat pada penyerahan diri ketimbang kedaulatan. Suriah seolah diberi kursi di panggung internasional, bahkan Sharaa akan bicara di Majelis Umum PBB setelah absen sejak 1967. Itu tentu penting secara simbolik. Namun simbol tanpa substansi hanya akan menjadi seremonial belaka, sementara di lapangan Golan tetap diduduki, selatan tetap dikuasai, dan Israel tetap bebas melakukan agresi.

Akhirnya, kita sampai pada satu kesimpulan pahit. Bahwa di Timur Tengah, kata “damai” sering kali hanyalah sinonim dari “diam.” Bahwa kesepakatan bukan berarti kemerdekaan, melainkan pengakuan atas kelemahan. Dan bahwa normalisasi bisa hadir tanpa pernah dinamai demikian, cukup dengan berhenti melawan dan tetap menjaga ilusi permusuhan. Damaskus dan Tel Aviv, dalam arti tertentu, sudah menemukan formula hidup berdampingan. Namun formula itu bukan damai sejati, melainkan damai tanpa martabat.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer