Opini
Dalang Kerusuhan Mengaburkan Tuntutan Rakyat

Sejak akhir Agustus 2025, jalanan Jakarta dan berbagai kota di Indonesia berubah menjadi panggung dramatik yang memadukan kemarahan rakyat dan ketegangan keamanan. Awalnya, demonstrasi itu lahir dari keresahan yang jelas: kenaikan tunjangan DPR yang tampak menindas akal sehat rakyat, kematian tragis sopir ojol Affan Kurniawan akibat Rantis Brimob, serta kekhawatiran atas inflasi, PHK, dan kondisi demokrasi yang semakin rapuh. Tapi dalam hitungan hari, perhatian publik dan media tampak bergeser. Dari tuntutan konkret rakyat yang terang benderang, isu berbelok ke pencarian “dalang kerusuhan”. Seolah-olah menangkap satu nama akan menyelesaikan semua problematika struktural yang telah menumpuk bertahun-tahun.
Kita semua tahu absurditasnya. Rakyat turun ke jalan karena kebijakan yang arogan dan perlakuan aparat yang brutal. Tapi sekarang, narasi resmi dan sebagian media lebih tertarik mengorek siapa yang “menyulut” massa, siapa yang membiayai, dan siapa aktor intelektual di balik kericuhan. Sementara itu, 17+8 Tuntutan Rakyat—yang jelas berisi aspirasi jangka pendek dan jangka panjang untuk reformasi—perlahan menguap, digantikan framing kriminalisasi dan teori konspirasi yang terasa seperti sulap politik: fokus bergeser, masalah tetap ada.
Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Sejak lama, kekuasaan menggunakan trik sederhana: alihkan perhatian publik dari substansi ke figur. Jika rakyat marah karena kebijakan DPR yang arogan, cukup angkat isu “dalang” agar perhatian publik tersedot. Seketika, tuntutan rakyat—transparansi anggaran, akuntabilitas aparat, perlindungan buruh—terpinggirkan. Media pun ikut menabur tepung di wajah rakyat yang marah, membuat suara mereka teredam, seolah keberanian mereka turun ke jalan hanya menjadi hiburan publik.
Laporan yang diterbitkan kumparan dan detikFinance mengilustrasikan fenomena ini dengan jelas. Presiden Prabowo Subianto menegaskan kericuhan sebagai tindakan “makar” dan “terorisme”, sementara Kapolri Listyo Sigit menjanjikan proses hukum tegas terhadap pelaku dan aktor intelektual. Bahkan disebut adanya truk yang membawa petasan dan alat untuk membakar fasilitas publik. Ironisnya, saat aparat sibuk memburu dalang, aspirasi rakyat—upah layak, pencegahan PHK massal, audit DPR, pengawasan terhadap fasilitas dan tunjangan—masih menunggu keputusan di balik meja pemerintah dan DPR. Seolah penangkapan dalang akan menuntaskan semua keresahan rakyat, padahal akar masalah tetap sama.
Media sosial juga memainkan peran ganda. Awalnya, influencer seperti Jerome Polin, Andovi da Lopez, Abigail Limuria, dan Andhyta F. Utami menjadi penguat gerakan 17+8, menyebarkan tuntutan rakyat agar didengar publik dan pemerintah. Namun, begitu narasi dalang muncul, platform digital pun menjadi medan perang opini. Hoaks soal upaya adu domba antara Prabowo, Jokowi, dan Gibran memenuhi timeline. Alih-alih mengawal tuntutan, banyak akun digital ikut membingungkan rakyat: siapa yang salah, siapa yang benar, siapa dalang. Publik mulai kehilangan arah; tuntutan rakyat yang jelas tertutupi oleh teater pencarian pelaku.
Ini bukan sekadar soal framing. Ini soal demokrasi yang tersesat. Rakyat menginginkan solusi konkret: transparansi DPR, pertanggungjawaban aparat, perlindungan buruh, reformasi sistemik. Tetapi begitu narasi dalang mendominasi, perhatian bergeser ke pertanyaan kriminal dan investigasi polisi. Seolah-olah rakyat yang turun ke jalan karena kemarahan dan ketidakadilan hanya butuh “pengadilan dalang” untuk puas. Padahal, akar masalah sosial-ekonomi, korupsi sistemik, dan ketidakadilan struktural tetap ada, menunggu solusi nyata.
Saya rasa, di sini media diuji—lebih dari sebelumnya. Apakah media berani menahan godaan framing kekuasaan? Apakah jurnalisme independen mampu menolak narasi pengalihan isu yang nyaman bagi pemerintah? Atau kita akan menyaksikan media menari mengikuti irama kekuasaan, persis seperti DPR yang arogan hingga memicu demonstrasi? Jika media gagal, masyarakat kehilangan peta orientasi: tuntutan rakyat berubah menjadi drama kriminal, sementara solusi nyata kian menjauh.
Laporan resmi pemerintah juga menunjukkan ambivalensi. Presiden Prabowo memang mencabut sebagian tunjangan DPR dan melarang anggota DPR bepergian ke luar negeri. Langkah simbolik ini tampak sebagai respons cepat terhadap keresahan publik. Namun, di sisi lain, retorika “makar” dan “terorisme” diperkuat, sementara narasi dalang dibuat dominan. Akibatnya, publik terjebak dalam pertanyaan: apakah pemerintah benar-benar mendengar tuntutan rakyat, atau cukup puas dengan penangkapan beberapa nama dan deklarasi simbolik?
Kita juga harus melihat konteks lokal. Warga Jakarta dan kota besar tahu sensasi itu: macet, asap petasan, teriakan massa, dan rasa takut yang melekat di jalan. Tapi mereka juga tahu tuntutan rakyat nyata: keamanan sipil, keadilan hukum, kesejahteraan yang merata. Jika fokus terus bergeser ke dalang, pengalaman ini hanya menjadi pertunjukan dramatisasi kekuasaan, bukan langkah nyata memperbaiki sistem. Demonstrasi bisa cepat reda, tapi masalah struktural tetap tertinggal, menunggu kesempatan berikutnya untuk meledak lagi.
Selain itu, ada ironi tersendiri dalam narasi dalang. Framing ini mencerminkan sikap kekuasaan yang sama seperti arogansi DPR yang memicu demonstrasi. Menangkap dalang mungkin memuaskan ego aparat atau politikus tertentu, tetapi tidak mengubah realitas sosial-ekonomi yang menjadi akar kemarahan publik. Sistem yang membiarkan ketidakadilan tetap beroperasi. Seolah-olah rakyat hanya butuh pelampiasan emosional, bukan perubahan nyata.
Dalam demokrasi yang sehat, fokus harus pada substansi, bukan sensasi. Media dan publik harus tetap kritis, menagih jawaban konkret: transparansi DPR, akuntabilitas aparat, perlindungan buruh, reformasi institusi. Penangkapan dalang hanyalah alat, bukan solusi. Kalau publik lengah, narasi ini akan berulang. Rakyat marah, kerusuhan muncul, dalang dicari, fokus kabur, dan masalah tetap sama.
Kita juga melihat bagaimana elite politik memanfaatkan situasi. Dukungan menteri dan pejabat terhadap Prabowo, yang menegaskan keberaniannya melawan “mafia migas” dan oligarki, muncul bersamaan dengan kerusuhan. Sebagian publik mungkin terpesona oleh retorika heroik ini, tetapi narasi tersebut juga berfungsi mengalihkan perhatian dari tuntutan rakyat yang jelas. Sebuah teatrikal politik: heroisme diklaim, substansi rakyat terlupakan.
Saya ingin menekankan satu hal: rakyat turun ke jalan bukan untuk teater politik. Mereka menuntut keadilan dan reformasi. Tugas media adalah mengawal tuntutan ini, bukan terseret dalam pencarian dalang yang dramatis. Jika media gagal, ia sama saja menjadi instrumen kekuasaan yang membelokkan isu, persis seperti arogansi DPR yang memicu amarah publik.
Akhirnya, sikap saya tegas: jangan terbuai oleh narasi dalang. Jangan biarkan isu substantif tersingkir. 17+8 Tuntutan Rakyat harus tetap di depan, menjadi peta jalan aspirasi publik. Penangkapan dalang hanyalah alat, bukan jawaban. Media, pengamat, dan publik harus memilih: berdiri bersama rakyat atau menjadi corong kekuasaan yang mengaburkan fakta. Jika gagal, seluruh perjuangan rakyat akan hilang di kabut framing, sementara kota tetap penuh asap, amarah, dan kekecewaan yang tertahan.
Dalam kerangka demokrasi modern, kita perlu mengingat satu hal: solusi nyata selalu lebih penting daripada simbol. Keadilan tidak datang dari tertangkapnya seorang dalang, tetapi dari reformasi nyata pada sistem yang membuat rakyat turun ke jalan. Kesejahteraan, akuntabilitas, dan transparansi harus menjadi fokus, bukan drama kriminalisasi. Hanya dengan menuntut substansi, rakyat bisa benar-benar menang.
Dan itulah ujian sejati bagi media dan elite politik: apakah mereka akan membiarkan narasi dalang menutupi tuntutan rakyat, atau justru berani menegakkan prinsip demokrasi yang sebenarnya? Saya yakin, jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan arah bangsa ini, bukan sekadar siapa yang ditangkap atau siapa yang disalahkan.