Opini
Ciuman Tahanan: Propaganda atau Tamparan untuk Israel?

Hamas membebaskan enam tahanan Israel dalam rangkaian kesepakatan gencatan senjata. Lima di antaranya diserahkan dalam seremoni yang tampaknya dirancang dengan cermat. Namun, ada satu momen yang mencuri perhatian. Di atas panggung, di hadapan massa yang bersorak, seorang tahanan Israel mencium kepala dua pejuang Hamas dan melambaikan tangan kepada warga Gaza. Propaganda? Spontanitas? Keajaiban Stockholm Syndrome?
Media dan pemerintah Israel langsung meradang. “Ini penghinaan!” teriak mereka, sambil sibuk mencari cara menjelaskan mengapa tawanan yang katanya ditahan dalam kondisi mengerikan justru tersenyum riang. Ah, mungkin mereka lupa membayar aktor untuk menampilkan ekspresi penderitaan. Mungkin juga mereka lupa mengajarkan pada tentaranya cara menunjukkan rasa takut di depan kamera musuh.
Keluarga sang tahanan pun kebingungan. Ayahnya mencoba menyelamatkan citra dengan mengatakan bahwa anaknya memang ceria. Tentu, siapa yang tidak bahagia setelah 505 hari ditawan? Wajahnya kurus, tapi senyumnya lebar. Mungkin Hamas punya rahasia diet yang lebih efektif daripada semua program kesehatan di Tel Aviv. Menarik, bukan?
Lalu muncul tuduhan rekayasa. “Dia dibisiki sesuatu sebelum kejadian!” Seruan ini mengingatkan pada teori konspirasi klasik. Apakah tahanan itu dikendalikan dengan hipnosis? Atau apakah Hamas memiliki teknologi cuci otak yang lebih mutakhir daripada Hollywood? Jika benar demikian, maka Israel tak hanya kalah dalam perang militer, tapi juga dalam perang mind-control. Ironi yang pahit.
Namun, jika ini bukan rekayasa, maka ada pertanyaan yang lebih mengerikan bagi Israel. Mengapa seorang tentara yang seharusnya membenci musuhnya justru menunjukkan gestur penuh kasih? Apakah ia benar-benar merasa lebih manusiawi di tangan Hamas daripada di pangkuan pemerintahnya sendiri? Jika demikian, mungkin Kementerian Pertahanan Israel harus segera merevisi kurikulum doktrin kebencian mereka.
Sementara itu, dunia menyaksikan dengan takjub. Hamas, yang selama ini dituding sebagai kelompok teroris, justru berhasil menciptakan momen yang merusak propaganda Israel sendiri. Mereka tidak perlu membuat video ancaman. Tidak perlu menyiksa tawanan di depan kamera. Cukup dengan memberikan panggung, mikrofon, dan sedikit kebebasan berekspresi. Sisanya? Biarkan tentara Israel mempermalukan negaranya sendiri.
Palang Merah dan PBB mengecam seremoni ini sebagai “tidak bermartabat.” Ah, tentu saja, karena pemboman rumah sakit dan kamp pengungsi jauh lebih bermartabat. Tapi yang lebih menarik adalah betapa selektifnya kemarahan dunia terhadap siapa yang boleh dan tidak boleh menggunakan propaganda. Ketika Israel membuat film dokumenter tentang tragedi warganya, itu disebut kesaksian. Ketika Hamas hanya perlu membiarkan tentara Israel berbicara dengan tindakannya sendiri, itu disebut manipulasi.
Di Tel Aviv, pejabat keamanan kini sibuk menggelar rapat darurat. Bukan untuk menyelamatkan sandera lain, tapi untuk mencari cara menghapus video yang sudah terlanjur viral. Pakar media mereka kebingungan: bagaimana menjelaskan kepada dunia bahwa tentara mereka mencium kepala musuh? Menghapus internet bukanlah opsi. Mungkin mereka harus menyewa tim kreatif dari Netflix untuk membuat serial fiksi yang lebih masuk akal.
Pada akhirnya, momen ini lebih dari sekadar seremoni pembebasan tahanan. Ini adalah kemenangan propaganda bagi Hamas dan tamparan keras bagi Israel. Perang modern bukan hanya soal rudal dan drone, tapi juga soal citra dan persepsi. Dan kali ini, seorang tentara Israel yang seharusnya menjadi korban malah menjadi aktor utama dalam drama paling memalukan bagi negaranya sendiri.