Connect with us

Opini

China Unggul: Perang Persepsi Dagang Kalahkan AS di Medsos

Published

on

Di sebuah mal mewah di Shenzhen, seorang influencer China berjalan dengan kamera di tangan, menyoroti layar LED raksasa dan robot pelayan yang meluncur mulus mengantarkan pesanan. Dia tersenyum, lalu memotong klip ke sebuah mal di AS—lantainya usang, antrean panjang, tanpa jejak teknologi canggih. “China 20 tahun di depan,” katanya, suaranya penuh kebanggaan. Video itu viral, ditonton jutaan orang, termasuk pengguna X seperti @_AfricanSoil yang kagum, “China is too much 😭🔥.” Ini bukan sekadar vlog biasa; ini adalah bagian dari strategi cerdas China dalam perang dagang melawan AS, di mana mereka selangkah lebih maju—bukan dengan tarif, tapi dengan persepsi.

Influencer lain di Shanghai mengambil pendekatan berbeda, tapi tak kalah tajam. Di depan butik Balenciaga, dia memamerkan tas seharga $4.500, lalu membandingkannya dengan tas identik di pasar malam seharga $45, mengklaim keduanya dibuat di pabrik yang sama. “Kalau orang China bisa bikin Balenciaga, apa yang tidak bisa kita bikin?” tanyanya, seperti yang diposting oleh @BALUCIAGA. Video ini menyebar cepat, memicu kekaguman sekaligus keraguan terhadap nilai merek mewah Barat. China tidak hanya menjual barang; mereka menjual narasi: bahwa mereka adalah pusat produksi dunia, lebih efisien, lebih jujur, dan lebih relevan. Sementara AS masih bergantung pada tarif tinggi—125% untuk barang China, menurut data perdagangan terbaru—China menggunakan media sosial untuk menyerang inti keunggulan Barat: persepsi.  Narasi ini meluas ke ranah politik, seperti yang ditunjukkan oleh postingan @TheEXECUTlONER_.

Seorang influencer China, berdiri di depan rak buku, berbicara lancar dalam bahasa Inggris: “Bukan salah China kami kaya, tapi kesalahan pemerintah AS yang mengirim pekerjaan ke sini demi tenaga kerja murah, menghancurkan kelas menengah mereka.” Dia menyarankan revolusi, bukan tarif, untuk memperbaiki AS. Pesan ini resonan, bahkan dengan audiens AS yang frustrasi dengan korupsi domestik. China memahami bahwa di era digital, perang dagang bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal hati dan pikiran. Dengan 1 miliar pengguna TikTok global, platform ini menjadi senjata ampuh untuk membentuk opini, terutama di negara-negara berkembang yang kini menyumbang 60% pertumbuhan ekonomi dunia, menurut Bank Dunia.

Sementara itu, AS terlihat ketinggalan. Pendekatan mereka masih konvensional: tarif, sanksi, dan retorika “America First” yang diulang-ulang oleh Trump di X. Tidak ada kampanye influencer yang membandingkan kota AS dengan China, atau yang menonjolkan inovasi lokal secara viral. Padahal, AS punya cerita kuat—Silicon Valley, Hollywood, universitas top—tapi mereka gagal mengemasnya untuk audiens global. Survei menunjukkan 75% warga AS khawatir tarif menaikkan harga barang, namun pemerintah tidak punya strategi tandingan di media sosial untuk melawan narasi China. Akibatnya, mereka kalah di ranah yang kini paling penting: persepsi publik, terutama di pasar dunia ketiga seperti ASEAN dan Afrika, yang kini menjadi medan pertempuran utama.

China, sebaliknya, bermain di level yang lebih tinggi. Mereka tidak hanya menyerang produk Barat, tapi juga citra kemajuan. Video yang membandingkan mal di Shenzhen dengan mal di AS, seperti yang diposting oleh @_AfricanSoil, adalah contoh sempurna. Mal China dipenuhi teknologi canggih—pembayaran tanpa kasir, robot pelayan—sementara mal AS digambarkan kuno. Ini bukan sekadar perbandingan; ini adalah serangan terhadap gagasan bahwa Barat adalah standar modernitas. Dengan ekspor menyumbang 20% PDB China, menurut data resmi, mereka punya urgensi untuk melindungi pasar global. Dan mereka melakukannya dengan cerdas, menggunakan influencer untuk menjangkau audiens muda yang lebih peduli nilai ketimbang loyalitas merek tradisional.

Keunggulan China juga terletak pada ekosistem digital mereka. Platform seperti Douyin dan WeChat memungkinkan pesan menyebar cepat, dengan algoritma yang dikontrol untuk mendukung narasi nasional. Di AS, media sosial terpecah—Instagram, X, TikTok—dan tidak ada koordinasi untuk agenda kolektif. China juga berinvestasi besar di R&D, menghabiskan $400 miliar per tahun (2,4% PDB), mendekati level AS, menurut UNESCO. Ini terlihat di produk mereka: mobil listrik BYD kini menguasai 60% pasar global, mengalahkan Tesla di banyak wilayah. Dengan kualitas yang terus meningkat, China tidak lagi sekadar murah—mereka kompetitif, dan narasi influencer memperkuat persepsi ini.

Efeknya terasa di pasar global. China sudah menjadi pemasok utama di Afrika (25% perdagangan) dan ASEAN (20% impor), menurut laporan WTO. Di negara-negara ini, audiens muda melihat China sebagai kisah sukses yang lebih relevan ketimbang AS. Video influencer tentang barang mewah atau mal futuristik bukan hanya konten—itu adalah undangan untuk melihat China sebagai masa depan. Sementara AS sibuk dengan tarif, China membangun loyalitas emosional dengan konsumen global, terutama Gen Z yang lebih memilih nilai ketimbang merek premium. Jika tren ini berlanjut, produk AS berisiko terkurung di pasar domestik, terlalu mahal untuk bersaing di luar.

Namun, China juga punya tantangan. Kualitas harus konsisten—satu skandal, seperti cacat produk massal, bisa merusak persepsi yang dibangun bertahun-tahun. Beberapa negara, seperti India, mulai mendorong produksi lokal, yang bisa menantang dominasi China. AS juga masih punya keunggulan inovasi—mereka memimpin di AI dan teknologi mutakhir, menurut Indeks Inovasi Global. Tapi tanpa strategi digital yang kuat, keunggulan ini tidak cukup. China telah memulai perang persepsi dengan langkah yang tepat, dan untuk saat ini, mereka jelas selangkah lebih maju dalam perang dagang melawan AS.

Perang ini jauh dari selesai. AS bisa bangkit jika mereka belajar bermain di ranah digital, menggunakan influencer untuk menceritakan kisah mereka. Tapi untuk saat ini, China memimpin dengan narasi yang lebih cerdas, lebih visual, dan lebih resonan. Dari mal di Shenzhen hingga tas Balenciaga di pasar malam, mereka tidak hanya menjual barang—mereka menjual mimpi tentang masa depan, dan dunia sedang mendengarkan. Sementara AS masih menyanyikan lagu lama, China sudah menulis simfoni baru di panggung global.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *