Connect with us

Opini

China Stop LNG AS: Peta Energi Asia Berubah Drastis

Published

on

Di tengah gemuruh perang dagang yang kian memanas, China menarik langkah berani yang mengguncang pasar energi global: menghentikan impor LNG dari Amerika Serikat selama lebih dari sepuluh minggu, seperti dilaporkan Financial Times berdasarkan data pelayaran. Dengan tarif hingga 99% yang membuat LNG AS tak lagi kompetitif, Beijing tidak hanya memukul industri energi AS, tetapi juga menggambar ulang peta geopolitik energi. Langkah ini, yang diperparah dengan pengurangan 90% pembelian minyak mentah AS, menyingkap ambisi China untuk mengurangi ketergantungan pada Washington sambil memperkuat aliansi dengan Rusia. Apakah ini awal dari kemunduran dominasi LNG AS di Asia?

China, raksasa impor LNG yang menyerap 70 juta ton pada 2023, adalah pasar krusial bagi AS, menyumbang 10-15% ekspor LNG-nya, atau sekitar 7 juta ton per tahun. Penghentian impor sejak Februari, ketika kapal tanker 69.000 ton dari Corpus Christi tiba di Fujian, menandai pukulan telak. Tarif 49% yang diberlakukan China membuat LNG AS terlalu mahal, memaksa pengalihan kargo ke Bangladesh. Kontrak jangka panjang dengan PetroChina dan Sinopec, beberapa hingga 2049, kini terancam renegosiasi atau pembatalan, mengguncang fondasi proyek LNG AS yang bergantung pada pembiayaan dari komitmen China.

Dampaknya tidak sekadar angka. Industri LNG AS, yang sedang gencar ekspansi dengan terminal baru di Texas dan Meksiko, menghadapi risiko eksistensial. Tiga belas kontrak jangka panjang dengan China, menurut Kpler, adalah tulang punggung proyek-proyek ini. Tanpa pasar China, pengembang seperti Cheniere Energy atau ExxonMobil terpaksa mencari pembeli baru di tengah persaingan ketat dengan Qatar dan Australia. Anne-Sophie Corbeau dari Columbia University memperingatkan bahwa importir China mungkin tidak akan pernah menandatangani kontrak LNG baru dengan AS, sinyal buruk bagi investor yang bertaruh pada booming LNG AS.

Namun, langkah China ini bukan sekadar respons ekonomi; ia sarat nuansa geopolitik. Dengan mengalihkan fokus ke Rusia, pemasok LNG terbesar ketiga China setelah Australia dan Qatar, Beijing mempercepat pergeseran aliansi energi. Pada 2023, China mengimpor 7 juta ton LNG Rusia, dan duta besar China untuk Rusia, Zhang Hanhui, menegaskan rencana peningkatan impor serta pembahasan pipa gas Power of Siberia-2. Ini bukan hanya diversifikasi pasokan, tetapi deklarasi strategis untuk mengurangi pengaruh AS di pasar energi Asia, kawasan yang menyumbang lebih dari separuh permintaan LNG global.

AS, di sisi lain, terjebak dalam kontradiksi kebijakannya sendiri. Tarif agresif di bawah pemerintahan Trump, termasuk 32% resiprokal untuk negara seperti Indonesia, meningkatkan biaya ekspor LNG AS, membuatnya kurang kompetitif. Meskipun pasar baru seperti Indonesia menunjukkan minat—sebagai imbalan untuk mengurangi tarif AS—skala impornya jauh di bawah China. Indonesia hanya mengimpor di bawah 5 juta ton LNG per tahun, dibandingkan 70 juta ton China. Bahkan kombinasi pasar seperti India atau Bangladesh tidak bisa menutup celah ini, apalagi dengan infrastruktur regasifikasi yang terbatas di negara-negara tersebut.

Eropa, yang meningkatkan impor LNG AS sejak konflik Rusia-Ukraina, juga bukan solusi jangka panjang. Pasar Eropa sudah mendekati kapasitas maksimum, dengan impor dari Qatar dan Norwegia yang kompetitif. Jepang dan Korea Selatan, importir besar lainnya, terikat kontrak jangka panjang dengan pemasok lain, menyisakan ruang terbatas untuk LNG AS. Akibatnya, AS menghadapi risiko kelebihan pasokan, yang bisa menekan harga LNG global dan merusak margin keuntungan eksportir. Data historis menunjukkan bahwa kehilangan pasar China saja bisa mengurangi pendapatan ekspor AS hingga miliaran dolar per tahun, dengan harga LNG rata-rata $10-15 per MMBtu.

China, sebaliknya, menunjukkan ketahanan luar biasa. Dengan mengamankan pasokan dari Rusia, Australia, dan Qatar, Beijing tidak hanya menjaga stabilitas energi domestik, tetapi juga memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Pembatasan ekspor mineral teknologi tinggi sebagai balasan terhadap tarif AS menambah dimensi strategis, mengganggu industri teknologi dan energi terbarukan Barat. Langkah ini menegaskan bahwa China tidak hanya bermain defensif, tetapi juga menyerang dengan memanfaatkan posisinya sebagai konsumen energi terbesar dunia untuk mendikte dinamika pasar.

Namun, apakah langkah China ini tanpa risiko? Ketergantungan yang meningkat pada Rusia, meskipun menguntungkan dalam jangka pendek, bisa menimbulkan kerentanan jika hubungan bilateral memburuk atau jika pasokan Rusia terganggu. Selain itu, tarif tinggi China pada LNG AS mungkin mendorong inflasi energi domestik jika pasokan alternatif tidak cukup murah. Meski begitu, cadangan strategis China dan diversifikasi pemasoknya memberikan bantalan yang kuat, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan, memungkinkan Beijing untuk terus menekan AS tanpa kerugian signifikan.

Bagi AS, tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara proteksionisme dan daya saing global. Kebijakan tarif Trump, meskipun dimaksudkan untuk melindungi industri domestik, justru melemahkan eksportir LNG dengan meningkatkan biaya dan mengasingkan sekutu dagang. Negosiasi dengan pasar baru seperti Indonesia, yang sedang berupaya menyeimbangkan neraca perdagangan, harus didukung dengan insentif konkret, seperti pengecualian tarif atau subsidi logistik. Tanpa langkah ini, AS berisiko kehilangan pangsa pasar Asia secara permanen, terutama jika China dan Rusia berhasil mengkonsolidasikan aliansi energi mereka.

Pada akhirnya, langkah China adalah pukulan telak yang mengekspos kerentanan pasar LNG AS. Ini bukan hanya soal kehilangan pendapatan atau kontrak, tetapi tentang pergeseran kekuatan di panggung energi global. China telah menunjukkan bahwa ia bisa mengguncang dominasi AS dengan memanfaatkan bobot ekonominya dan aliansi strategisnya. Bagi AS, tantangan ke depan adalah beradaptasi dengan cepat atau menyaksikan pasar LNG-nya terkikis di tengah badai perang dagang yang diciptakannya sendiri. Akankah AS mampu bangkit, atau akankah Asia menjadi medan kemenangan energi China-Rusia?

Daftar Sumber:

  1. “China stops buying US LNG amid trade war escalation.” https://www.rt.com/business/615943-china-stops-buying-us-lng/
  2. Data impor LNG China dan AS dari laporan Financial Times dan Kpler, sebagaimana dikutip dalam artikel RT.
  3. Pernyataan Anne-Sophie Corbeau dari Columbia University’s Center on Global Energy Policy, dikutip dalam artikel RT.
  4. Pernyataan Zhang Hanhui, duta besar China untuk Rusia, mengenai impor LNG Rusia dan Power of Siberia-2, dikutip dalam artikel RT.
  5. Data historis ekspor LNG AS dan impor global (2023) dari laporan industri energi dan analisis pasar.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *