Connect with us

Opini

China Berani Lawan Tarif Trump: Siap Perang Hingga Akhir

Published

on

Di tengah ketegangan global yang kian memanas, China mengeluarkan peringatan keras kepada Amerika Serikat, menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam menghadapi kebijakan yang merugikan kepentingan nasionalnya. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Wang Wenbin, dengan tegas menolak kerja sama AS yang dianggap merusak prinsip hubungan internasional, khususnya tarif era Trump yang masih menghantui perdagangan bilateral. Di balik sikap berani ini, China menunjukkan kesiapan untuk menghadapi perang tarif hingga titik akhir, didukung oleh strategi jangka panjang yang matang dan ketahanan ekonomi yang telah mereka bangun dengan cermat.

Sikap tegas China bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan cerminan dari persiapan ekonomi yang telah mereka susun untuk mengurangi dampak tarif AS. Laporan menyebutkan bahwa investor China mulai mengalihkan portofolio dari US Treasuries ke utang Eropa, sebuah langkah strategis yang menurut Lillian Tao dari Deutsche Bank mencerminkan diversifikasi untuk menghindari ketergantungan pada pasar AS. Data dari Reuters menunjukkan ekspor China ke ASEAN melonjak 12% pada 2024, mengimbangi penurunan di pasar AS. Dengan inisiatif Belt and Road yang terus memperluas jejaring perdagangan, China membuktikan bahwa mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu mencari pasar alternatif untuk menggantikan dominasi AS.

Ketegantungan pada pasar AS, yang pernah menjadi pilar utama ekspor China, kini mulai terkikis berkat langkah proaktif Beijing. Bloomberg melaporkan bahwa perusahaan China seperti BYD telah mendirikan pabrik di Hongaria, menargetkan pasar Eropa yang kian terbuka. Pada 2024, China menandatangani perjanjian perdagangan dengan 15 negara, seperti dicatat South China Morning Post, memperluas akses untuk barang mereka. Langkah ini menunjukkan bahwa China tidak hanya bereaksi terhadap tarif, tetapi juga membangun fondasi baru untuk pertumbuhan ekonomi global. Dengan pasar domestik yang besar dan stimulus pemerintah untuk mendorong konsumsi, China memiliki bantalan untuk menyerap guncangan jangka pendek akibat tarif.

Keberanian China juga terlihat dari kemampuan mereka untuk membalas tekanan AS secara langsung. The Wall Street Journal mencatat bahwa China mempertahankan tarif balasan pada produk AS seperti kedelai dan pesawat Boeing, menunjukkan bahwa mereka memiliki alat untuk menyakiti ekonomi AS sebagai respons. Cadangan devisa yang kuat, sebagaimana dilaporkan The Financial Times, memungkinkan China menjaga stabilitas yuan di tengah ketidakpastian perdagangan. Negosiasi dengan Uni Eropa untuk menghindari tarif tambahan pada kendaraan listrik, seperti disebutkan dalam laporan yang sama, menunjukkan pendekatan diplomatik yang cerdas untuk menjaga akses pasar global. China tidak hanya bertahan, tetapi juga menyerang balik dengan presisi.

Di sisi geopolitik, China memanfaatkan posisinya sebagai pendukung multilateralisme untuk memperkuat pengaruh globalnya. Wang Wenbin mengecam “kubu kecil” yang dibentuk AS dengan sekutu seperti Jepang, sebuah kritik yang sejalan dengan laporan BBC bahwa China menggunakan forum seperti G20 untuk menentang proteksionisme AS. Dengan memposisikan diri sebagai mitra yang lebih inklusif bagi negara berkembang, China menarik simpati dari pasar-pasar baru di Afrika dan Amerika Latin. Global Times menyebutkan bahwa Beijing siap untuk “perjuangan berkepanjangan,” sebuah pernyataan yang diperkuat oleh investasi mereka dalam inovasi teknologi domestik, seperti chip semikonduktor, untuk mengurangi ketergantungan pada Barat.

Meski demikian, perang tarif bukan tanpa biaya bagi China. Reuters melaporkan bahwa sektor teknologi, termasuk raksasa seperti Huawei, mengalami penurunan pendapatan di pasar Barat akibat tarif dan pembatasan ekspor AS. Eksportir di sektor tekstil dan elektronik, menurut Bloomberg, menghadapi margin keuntungan yang lebih tipis karena kenaikan biaya akibat tarif. Penyesuaian untuk diversifikasi pasar memerlukan investasi besar, yang dapat membebani ekonomi dalam jangka pendek. Namun, kerugian ini tampaknya telah diperhitungkan oleh Beijing, yang memprioritaskan ketahanan jangka panjang di atas tantangan sementara.

Apa yang membuat China begitu berani adalah keyakinan mereka bahwa AS juga tidak kebal terhadap kerugian. Konsumen AS menanggung beban tarif melalui harga barang yang lebih tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh studi dari Brookings Institution. Perusahaan AS seperti Apple dan Walmart, yang bergantung pada rantai pasok China, menghadapi biaya produksi yang meningkat. Dengan mempertahankan tarif balasan dan memperluas pasar alternatif, China memaksa AS untuk mempertimbangkan kembali strategi proteksionismenya. Nikkei Asia mencatat bahwa stimulus domestik China, seperti subsidi untuk kendaraan listrik, telah meningkatkan konsumsi internal, mengurangi dampak penurunan ekspor ke AS.

Keberanian China tidak hanya didorong oleh kekuatan ekonomi, tetapi juga oleh narasi yang mereka bangun di panggung global. Dengan mengecam proteksionisme AS dan mempromosikan perdagangan bebas, China menarik negara-negara yang skeptis terhadap dominasi AS. Laporan South China Morning Post menunjukkan bahwa perjanjian perdagangan baru telah memperkuat hubungan dengan negara-negara berkembang, memberikan China pengaruh yang lebih besar di kawasan seperti Afrika dan Asia Tenggara. Sementara AS berfokus pada aliansi dengan sekutu tradisional, China membangun koalisi yang lebih luas, yang memberi mereka kepercayaan diri untuk melawan hingga akhir.

Perang tarif ini, pada hakikatnya, adalah ujian ketahanan antara dua raksasa ekonomi. China, dengan diversifikasi pasar, retaliasi yang terukur, dan diplomasi yang cerdas, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya siap bertahan, tetapi juga mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Kerugian jangka pendek, seperti penurunan pendapatan sektor teknologi atau biaya penyesuaian, tampaknya merupakan harga yang bersedia dibayar Beijing untuk mencapai kemandirian ekonomi dan pengaruh global yang lebih besar. Sikap tegas Wang Wenbin bukan sekadar ancaman, tetapi cerminan dari strategi yang telah dirancang untuk memastikan China tetap berdiri tegak, bahkan di tengah tekanan terberat.

Di sisi lain, AS menghadapi dilema: mempertahankan tarif berisiko mempercepat pergeseran rantai pasok ke negara lain, sementara menghapusnya bisa dianggap sebagai kelemahan. China memahami dinamika ini dan memanfaatkannya dengan cerdik. Dengan cadangan devisa yang kuat, pasar domestik yang berkembang, dan jejaring perdagangan yang terus meluas, China tidak hanya berani melawan tarif Trump, tetapi juga siap untuk bertarung hingga akhir, mengetahui bahwa waktu mungkin berpihak pada mereka. Perang tarif ini bukan sekadar pertarungan ekonomi, tetapi juga pertarungan visi, dan China tampaknya telah mempersiapkan diri untuk memenangkannya.

 

Daftar Sumber:

  1. Al Mayadeen. “China Warns US Against Striking Intl. Deals That Could Harm.” https://english.almayadeen.net/news/politics/china-warns-us-against-striking-intl–deals-that-could-harm
  2. “China’s Exports to ASEAN Surge Amid US Trade Tensions.” Februari 2025.
  3. “China’s BYD Expands in Europe as Trade War Looms.” Maret 2025.
  4. South China Morning Post. “China Signs Trade Deals with 15 Countries in 2024.” Januari 2025.
  5. The Wall Street Journal. “China’s Retaliatory Tariffs Hit US Agriculture, Aviation.” Februari 2025.
  6. The Financial Times. “China Bolsters Forex Reserves to Counter US Tariffs.” April 2025.
  7. “China Criticizes US Protectionism at G20 Summit.” Maret 2025.
  8. Global Times. “China Prepares for Prolonged Trade Struggle with US.” April 2025.
  9. Nikkei Asia. “China’s Domestic Stimulus Boosts EV Market.” Maret 2025.
  10. Brookings Institution. “The Costs of Trump’s Trade War for US Consumers.” 2024.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *