Connect with us

Opini

Catatan 6 Bulan Pemerintahan Al-Sharaa

Published

on

Tujuh ribu enam ratus tujuh puluh nyawa hilang dalam enam bulan di Suriah—5.784 di antaranya warga sipil, termasuk 306 anak dan 422 perempuan, menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) pada Juni 2025. Angka ini bukan sekadar data; ia adalah luka terbuka sebuah bangsa yang mendambakan kedamaian pasca-runtuhnya Bashar al-Assad, namun terperangkap dalam kekacauan keamanan dan dendam sektarian. Ahmad al-Sharaa, mantan pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kini memimpin sebagai presiden interim. Enam bulan setelah kejatuhan Assad, apakah janji rekonsiliasi dan stabilitas mulai terwujud? Atau, seperti keluh seorang dokter di Damaskus, “tak ada yang berubah—gaji rendah, listrik mati, rakyat lelah”?

Kegelisahan ini tak asing bagi Indonesia, yang pernah merasakan transisi penuh gejolak pasca-Soeharto. Reformasi 1998 membawa harapan, tapi juga kerusuhan dan krisis ekonomi. Suriah kini di persimpangan serupa: euforia kebebasan bercampur ketakutan akan konflik yang tak kunjung usai. SOHR mencatat 2.133 eksekusi di luar hukum dan pembunuhan berbasis identitas sejak Desember 2024. Puncaknya pada Maret 2025, ketika 1.726 “likuidasi” terjadi, terutama menyasar Alawit di wilayah pesisir. Kekerasan ini bukan hanya sisa amarah terhadap rezim lama, melainkan cerminan kegagalan awal al-Sharaa menjamin keamanan bagi semua kelompok.

Al-Sharaa, dengan masa lalu di HTS yang pernah terkait Al Qaeda, berupaya keras membangun legitimasi. Ia membentuk kabinet pada Maret 2025, mengklaim mewakili keragaman Suriah, dan gencar berdiplomasi. Pertemuannya dengan Donald Trump di Riyadh—diduga sebagai utusan informal AS pasca-kepresidenannya—menghasilkan pencabutan sanksi AS, diikuti Uni Eropa. Investasi mengalir, seperti proyek pelabuhan Tartus senilai $800 juta oleh DP World, ditambah dukungan gaji publik dari Arab Saudi dan Qatar. Tapi, seperti kata warga Damaskus kepada The National, “tak ada uang di negara ini.” Indonesia pernah merasakan hal serupa di akhir 1990-an, ketika janji reformasi terhambat krisis moneter dan korupsi.

Meski begitu, ada secercah harapan. Amr Alhamad, pengacara Suriah yang kembali dari pengasingan, menggambarkan kepulangannya ke Damaskus sebagai momen “bisa bernapas lagi.” Semangat ini mirip euforia kemerdekaan Indonesia 1945, ketika rakyat percaya perubahan besar di depan mata. Namun, seperti Indonesia yang bergulat dengan konflik di Aceh dan Maluku, Suriah kini menghadapi kekerasan sektarian. Komunitas Alawit, terkait rezim Assad, menjadi sasaran. Lebih dari 1.700 warga Alawit tewas pada Maret 2025, sebagian besar oleh pasukan keamanan Damaskus. Al-Sharaa menyalahkan sisa-sisa rezim lama, tapi tanpa keadilan yang jelas, tuduhan ini terasa hampa.

Langkah al-Sharaa mengintegrasikan 3.500 pejuang asing—terutama Uyghur—ke dalam angkatan bersenjata baru memicu kritik. Sanharib Barsom dari Rojava memperingatkan bahwa ideologi kelompok ini bisa mengacaukannya. Indonesia tahu risiko ini; milisi sipil di Timor Timur 1999 memperkeruh transisi. Apakah ini strategi al-Sharaa untuk menyatukan faksi bersenjata, atau justru langkah gegabah yang memicu konflik baru? Pertanyaan ini relevan, terutama dengan ancaman ISIS yang masih nyata, baru-baru ini mengklaim serangan di Suweida.

Ada pula sisi lain yang patut dipertimbangkan. Al-Sharaa mungkin sedang merancang strategi jangka panjang untuk menyatukan Suriah yang terpecah. Upayanya merekrut 100.000 dari 200.000 tentara yang direncanakan menunjukkan ambisi menyentralisasi kekuatan militer, mengurangi kekacauan faksi bersenjata. Diplomasinya dengan negara Teluk dan Barat juga bisa jadi fondasi untuk membangun ekonomi pasca-perang. Jika berhasil, ini bisa menyerupai keberhasilan Indonesia menstabilkan ekonomi pasca-krisis 1998 melalui investasi asing dan reformasi bertahap. Tapi, tanpa inklusivitas sejati, strategi ini berisiko gagal.

Konflik tak hanya di wilayah Alawit. Di timur laut, Syrian Democratic Forces (SDF) Kurdi bentrok dengan pasukan pro-Turki. Meski al-Sharaa meneken kesepakatan dengan pimpinan SDF Mazloum Abdi pada Maret 2025, penolakannya terhadap federalisme—tuntutan utama Kurdi—meninggalkan ketegangan. Ilham Ahmed dari Syrian Democratic Council menegaskan desentralisasi sebagai “garis merah.” Ini mirip perjuangan Aceh, di mana otonomi khusus meredakan konflik. Mampukah al-Sharaa menawarkan kompromi, atau sentralisasi akan memicu perpecahan lebih dalam?

Campur tangan asing memperumit situasi. Israel, yang mencaplok lebih banyak Dataran Tinggi Golan dan menyerang dekat istana presiden Suriah, memandang al-Sharaa dengan curiga. Serangan ini, diklaim untuk melindungi Druze, justru memicu kekerasan sektarian setelah rekaman manipulasi memprovokasi serangan terhadap komunitas Druze. Menteri Luar Negeri Suriah Asaad al-Shibani menyebut tindakan Israel bertujuan mengacaukannya. Bagi Indonesia, yang menjunjung kedaulatan, ini mengingatkan pentingnya menjaga integritas wilayah di tengah transisi.

SOHR menyerukan keadilan dan akuntabilitas sebagai kunci perdamaian, mendesak investigasi independen dan penegakan hukum internasional. Indonesia belajar dari kegagalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pasca-1998; keadilan sering terabaikan demi stabilitas jangka pendek. Suriah kini dihadapkan pada pilihan serupa: apakah al-Sharaa akan memprioritaskan rekonsiliasi, atau hanya mengejar konsolidasi kekuasaan? Tanpa mekanisme ini, siklus kekerasan akan berlanjut.

Ekonomi jadi ujian lain. Meski sanksi dicabut, warga Suriah masih bergulat dengan kemiskinan dan infrastruktur hancur. Dokter di Damaskus mengeluhkan listrik yang tak stabil, mirip krisis listrik Jakarta 1997. Investasi asing dan bantuan Teluk menjanjikan, tapi seperti kata Sanam Vakhil dari Chatham House, al-Sharaa mengandalkan normalisasi diplomatik untuk pemulihan ekonomi. Tanpa reformasi hukum, investasi ini berisiko dikorupsi atau tak sampai ke rakyat.

Enam bulan pemerintahan al-Sharaa adalah cermin bangsa yang terbelah antara harapan dan ketakutan. Ada momen kemenangan, seperti kepulangan Amr Alhamad, tapi juga duka mendalam dari ribuan nyawa yang hilang. Transisi Suriah mengajak kita merenung: bagaimana sebuah negara bangkit dari puing-puing perang tanpa mengulang kesalahan? Indonesia, dengan luka sejarahnya, tahu perdamaian sejati butuh keberanian untuk mendengar dan menyembuhkan. Waktu akan menjawab, tapi jika pelajaran masa lalu diabaikan, enam bulan ini bisa jadi awal dekade baru yang lebih kelam.

Sumber: Laporan SOHR (Rudaw, 8 Juni 2025) dan The National (8 Juni 2025)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *