Connect with us

Opini

Catalonia Menolak Bungkam, Dunia Masih Berpura-pura

Published

on

Pada hari Rabu yang kelabu, pemerintah Catalonia mengumumkan penutupan kantor perdagangannya di Tel Aviv. Langkah ini, seperti dilaporkan oleh La Vanguardia, bukan sekadar manuver politik biasa. Ia menyerupai sebuah deklarasi tegas: “Kami muak dengan kemunafikan.” Di tengah tragedi berulang di Gaza—di mana darah dan air mata menjadi pemandangan harian—keputusan ini hadir bagai hembusan kejujuran di tengah kabut retorika dunia yang memekat.

Ketika banyak negara masih terjebak dalam debat moral yang tak kunjung berujung, Catalonia memilih jalan tindakan. Menutup pintu perdagangan dengan Israel bukanlah semata-mata soal ekonomi; ini adalah pernyataan simbolik untuk tidak turut berpartisipasi dalam sandiwara kemanusiaan global. Di saat dunia memperdebatkan etika dengan timbangan yang telah berkarat, Catalonia memilih untuk tidak menjadi figuran dalam panggung yang penuh hipokrisi.

Ada absurditas dalam kenyataan ini. Dunia yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia dan konvensi internasional, acap kali hanya menjadi penonton pasif ketika Gaza dibombardir. Catalonia—sebuah wilayah yang juga tengah memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri—memilih untuk tidak berdiam. Keputusan mereka lahir dari kepekaan yang terus diasah oleh kekejaman yang disaksikan secara langsung melalui layar gawai. Bersama Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez, pemerintah Catalonia mengambil posisi berani, menyentil standar ganda yang merajalela dalam politik global.

Sánchez bahkan menyerukan agar Israel dikeluarkan dari ajang Kontes Lagu Eurovision 2024—sebuah panggung musik yang seharusnya menyuarakan harmoni, tapi kini justru menghadirkan ironi. Bayangkan Eden Golan, penyanyi Israel, berdiri di panggung Eurovision di Malmö, 9 Mei 2024. Di balik tepuk tangan dalam siaran resmi, arena sebenarnya dipenuhi teriakan “Free Palestine“. Apa yang disaksikan pemirsa di rumah? Hanya tepuk tangan. The Intercept mengungkapkan bahwa suara protes sengaja dibungkam oleh European Broadcasting Union (EBU). Ini bukan masalah teknis; ini adalah penyensoran, penyembunyian keresahan kolektif.

Golan sendiri mengakui bahwa atmosfer penuh kecaman membuatnya nyaris tak mendengar suaranya sendiri. Lagu aslinya, October Rain, yang ditengarai merujuk pada serangan 7 Oktober, diganti menjadi Hurricane demi mematuhi aturan “netralitas” Eurovision. Netralitas? Sebuah ironi pahit. Ketika Rusia dilarang tampil akibat invasi ke Ukraina, Israel—yang tengah menghadapi tuduhan genosida di Gaza—dibiarkan melenggang bebas. Sebuah standar ganda yang menyilaukan, seperti lampu sorot di malam yang keruh.

Catalonia, lewat juru bicara pemerintahnya Sílvia Panique, menyampaikan pernyataan lugas: “Kami berkomitmen pada hak asasi manusia, dan standar ganda terkait partisipasi Israel di Eurovision melemahkan posisi kami.” Pernyataan itu bukan sekadar isyarat moral, melainkan tamparan halus bagi mereka yang memilih diam. Sehari sebelumnya, parlemen Spanyol juga mengesahkan mosi tidak mengikat yang mendesak embargo senjata terhadap Israel. Dengan hasil tipis 176-171, terlihat bahwa ini bukan sekadar isu politik luar negeri, melainkan juga soal nurani kolektif.

Aliansi kiri seperti Sumar, Podemos, dan Republik Kiri Catalonia tampil di garis depan. Mereka menyerukan pelarangan ekspor senjata ke Israel, termasuk helm dan bahan bakar. Verónica Martínez dari Sumar berkata, “Spanyol tidak boleh bekerja sama dengan negara yang melakukan genosida atau kejahatan perang.” Ione Belarra dari Podemos bahkan menyebut Benjamin Netanyahu sebagai “Hitler zaman kita”. Pernyataan ini mungkin terdengar ekstrem, namun mencerminkan kemarahan yang kian mendidih terhadap standar ganda dan kelumpuhan diplomasi.

Namun di balik mosi dan retorika, ada ironi yang tak bisa disembunyikan. Menteri Pertahanan Spanyol, Margarita Robles, bersikukuh bahwa sejak 7 Oktober 2023 negaranya tidak membeli senjata dari Israel, hanya peralatan pelindung. Tapi data kelompok masyarakat sipil yang berdemonstrasi di luar parlemen menunjukkan bahwa Spanyol masih memiliki sembilan kontrak aktif dengan perusahaan senjata Israel, senilai jutaan euro. Di satu sisi, ada suara keras; di sisi lain, kontradiksi yang sama nyaringnya. Sebuah paradoks: mengutuk pelaku sembari tetap menjalin kerjasama.

Mengapa tindakan Spanyol dan Catalonia terasa lebih menusuk dibanding banyak negara Arab? Bukan karena mereka lebih peduli, tetapi karena mereka lebih bebas. Negara-negara Arab kerap terikat jejaring geopolitik dan kepentingan strategis yang rumit. Mesir dan Yordania, misalnya, terjerat perjanjian damai yang sulit diputus. UEA dan Bahrain bahkan menyambut normalisasi hubungan. Qatar memang banyak menyalurkan bantuan kemanusiaan, namun semua itu hanya menambal luka, bukan menghentikan penyebabnya.

Menolong korban memang mulia, tetapi menekan pelaku? Itu butuh keberanian politik yang langka. Spanyol tidak terikat perjanjian damai, tak terlalu tergantung pada stabilitas Timur Tengah, dan bisa menyuarakan sikap tanpa takut kehilangan restu Washington. Catalonia, dengan sejarah perjuangannya sendiri, melihat Palestina sebagai cermin dari perjuangan mereka. Ini bukan sekadar empati; ini adalah solidaritas yang tumbuh dari pengalaman dan rasa senasib.

Namun, langkah Spanyol tetaplah belum sempurna. Mosi parlemen itu tidak mengikat secara hukum, dan kontrak-kontrak senjata masih berlangsung. Mereka memang berteriak lantang, tapi keran kemunafikan di belakang panggung belum sepenuhnya ditutup. Meski begitu, langkah mereka tetap berarti—karena bergerak, meski pelan, lebih bermakna daripada tetap diam.

Eurovision kini menjadi cermin dari kontradiksi dunia. Ajang yang konon untuk merayakan persatuan kini dipenuhi kepura-puraan. Lebih dari 56.000 orang menandatangani petisi untuk mengecualikan Israel. Ribuan seniman, termasuk 72 mantan kontestan Eurovision, menyerukan boikot. Tapi EBU, atas nama “netralitas,” menyensor suara-suara protes dan memberi jalan bagi Israel tanpa gangguan. Ini bukan sekadar tentang musik. Ini adalah tentang keberanian untuk melihat kenyataan, dan keputusan untuk tetap memalingkan wajah darinya.

Dari Catalonia dan Spanyol, kita belajar bahwa keberanian mungkin langka, tapi nyata. Mereka memang belum mengubah lanskap geopolitik, namun setidaknya menunjukkan bahwa melawan ketidakadilan tidak selalu harus dalam bentuk revolusi. Di Timur Tengah, banyak pemimpin Arab masih terjebak dalam kalkulasi diplomatik dan nyali yang terbungkus rapi dalam jubah kenegaraan. Sementara itu, dari balik puing dan debu, Palestina masih menunggu: dunia yang bukan sekadar bersimpati, tapi juga berani berdiri.

Dan mungkin, di tengah absurditas zaman, tersenyum getir adalah satu-satunya respons yang masuk akal.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *