Opini
Can You Hit Moscow? — Diplomasi Gaya Barat yang Sudah Tak Malu Lagi

Jika deterrence(Pencegahan dengan ancaman) tak berhasil dan Rusia menyerang, apakah tentara Jerman akan membunuh tentara Rusia? “Ya,” kata Boris Pistorius, Menteri Pertahanan Jerman, dengan wajah yang tak menunjukkan keraguan, seperti orang menyatakan bahwa hujan akan turun bila langit mendung. Sebuah kalimat yang nyaris terdengar biasa saja, bila tidak ingat bahwa ini keluar dari pejabat tinggi negara yang pernah menjadi biang Perang Dunia dan kini menganggap membunuh tentara negeri lain sebagai langkah normal dalam “pencegahan modern.”
Ia tak sendiri. Di tempat lain, Donald Trump—yang dulu mengklaim dirinya anti-perang, pembenci perang Irak dan musuh para neokonservatif—bertanya ringan kepada Presiden Ukraina: “Bisakah kalian menghantam Moskow? Atau mungkin St. Petersburg juga?” Seolah-olah ia tengah menyusun peta destinasi tur rudal jarak jauh, bukan membicarakan kota berisi jutaan nyawa manusia. Dan Zelensky, seperti biasa, menjawab dengan semangat: “Tentu, jika Anda memberi kami senjatanya.”
Inilah dunia yang katanya “beradab.” Dunia yang memproduksi senyum diplomatik di satu forum, sembari memoles peluru dan menulis daftar target serangan di forum lainnya. Dunia yang terus menuding Moskow sebagai provokator, sebagai akar dari segala kekacauan, sementara elite Barat dengan santai mengucapkan kalimat-kalimat pembuka kiamat dalam bahasa yang tampak masuk akal. Ketika Rusia mengirim pasukan, mereka bilang: agresi. Ketika NATO menempatkan pasukan permanen dan latihan besar-besaran di perbatasannya, mereka bilang: pencegahan. Ketika Rusia bicara soal kepentingan keamanan nasional, mereka sebut paranoia. Tapi saat AS mendorong Ukraina menyerang jantung Rusia, itu disebut strategi diplomatik aktif.
Betapa elegannya kepalsuan itu dirancang.
Kita sedang menyaksikan semacam teater politik bersenjata, di mana semua aktor merasa dirinya berada di sisi moral yang benar. Tapi panggungnya disusun dari puing reruntuhan kota, jerit pengungsi, dan bangkai anak-anak. Kita disuruh percaya bahwa Barat adalah pembela tatanan internasional, padahal narasi itu kini hanya terdengar sebagai pengulangan kosong di antara sirene rudal dan serangan drone. Bahkan rakyat Eropa pun mulai merasa ada yang tidak beres. Tapi sebagaimana biasa, suara waras tenggelam oleh bisingnya mesin propaganda.
Lihatlah laporan-laporan resmi yang memotret serangan balasan Ukraina dengan bangga. Dronenya dikirim jauh ke wilayah Rusia, mencapai Belgorod, Voronezh, hingga Lipetsk. Bahkan korban sipil jatuh pun mulai dianggap “kerugian tak terelakkan.” Apakah kita sedang merayakan efisiensi teknologi militer atau mengabaikan prinsip kemanusiaan atas nama strategi? Tampaknya garis itu sudah kabur, dan sayangnya, media Barat lebih sibuk menjual heroisme drone daripada mempertanyakan batas etika perang.
Sementara itu, Rusia—yang selama ini dianggap tidak pernah berhenti memprovokasi—justru menyampaikan, meski terdengar diplomatis dan agak basi: “Kami masih menunggu proposal dari Ukraina untuk putaran ketiga perundingan.” Kalimat itu, tentu, akan dianggap sebagai manuver manipulatif. Tapi coba pikir sebentar, siapa yang benar-benar sedang berteriak paling keras dan membawa obor ke dalam gudang amunisi?
Di tengah semua ini, kita pun ikut diseret. Tak ada tank yang melewati perbatasan kita, benar. Tapi ada arus informasi, tekanan diplomatik, bahkan mungkin nantinya kewajiban untuk bersikap jika konflik ini meledak ke luar batas Ukraina. Dunia global tak lagi mengenal netralitas diam—dan kita, entah sadar atau tidak, terus-menerus dicekoki narasi siapa “yang harus didukung,” siapa “yang membahayakan perdamaian,” dan siapa “yang berdiri di sisi sejarah yang benar.”
Padahal, kadang yang disebut “berdiri di sisi sejarah yang benar” hanyalah eufemisme untuk membenarkan bahwa kita sedang membantu mengisi bahan bakar untuk perang yang lebih besar. Kita diam saat mereka kirim senjata, kita tepuk tangan saat mereka ancam satu negara dari panggung yang lain, dan kita menyebut semua itu sebagai bagian dari “dukungan terhadap kemerdekaan.”
Kemerdekaan versi siapa?
Kita yang hidup jauh dari medan perang seharusnya lebih tenang, lebih jernih, lebih mampu melihat kekacauan ini dari ketinggian yang lebih adil. Tapi rupanya, jarak bukan jaminan kejernihan. Justru kadang semakin jauh dari medan konflik, semakin mudah kita percaya narasi yang sudah disaring berkali-kali. Dan di situlah letak bahayanya: kita tidak sedang hanya menjadi korban, tapi pelaku diam dalam sistem produksi kekacauan.
Barat, dengan segala retorika demokrasinya, kini seperti lelaki tua yang tak rela kehilangan cengkeramannya atas dunia. Ia bicara soal perdamaian, tapi tangannya sibuk menyuplai rudal. Ia menyebut negara lain sebagai ancaman, tapi mendirikan pangkalan militer di mana-mana. Ia bicara hak asasi, tapi menutup mata pada anak-anak yang mati di Gaza dan Donetsk. Dunia ini sedang disetir oleh logika bahwa keamanan adalah hasil dari superioritas militer, bukan hasil dari dialog, kepercayaan, atau penghormatan timbal balik.
Dan kita tahu, logika semacam itu hanya akan membawa dunia ke ujung jalan yang lebih gelap.
Sebagai warga dunia, sebagai manusia biasa, kita layak mempertanyakan absurditas ini. Mengapa mendukung perang bisa lebih dipuji daripada menyerukan damai? Mengapa orang yang menyarankan dialog dianggap lemah, sedangkan mereka yang memegang pelatuk disebut realistis? Mengapa negara-negara yang bicara perdamaian dari podium PBB tetap menganggarkan ratusan miliar dolar untuk persenjataan yang tak akan pernah digunakan untuk bertani?
Ironi macam apa ini?
Dunia tak kekurangan kecerdasan, tapi mungkin ia sedang krisis nurani. Dan ketika nurani dipinggirkan, maka kekuatan jadi agama baru, dan retorika jadi senjata utama. Dalam konteks itu, pernyataan Pistorius dan Trump bukan sekadar kesalahan komunikasi. Ia adalah representasi dari pola pikir hegemonik yang tak percaya pada damai kecuali dengan kekuatan di tangan.
Itulah wajah asli kekuasaan: tak pernah benar-benar ingin damai, hanya ingin tunduk. Maka ketika mereka menuduh Rusia sebagai biang masalah, kita seharusnya tak buru-buru percaya. Mungkin memang Rusia punya peran dalam kekacauan ini. Tapi jika Barat terus menabuh genderang perang, mendukung serangan ke wilayah dalam negeri musuh, dan menyebut itu sebagai strategi, maka kita tahu bahwa penyulut api itu bukan satu.
Dunia sedang panas, dan suara-suara seperti Pistorius serta Trump tak sedang membawa air—mereka justru membawa bensin.
Maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang salah, tapi apakah kita masih cukup waras untuk menyadari bahwa dunia tak bisa bertahan jika semua ingin menjadi pemenang dengan senjata di tangan. Kadang, yang benar bukan siapa yang punya rudal paling panjang, tapi siapa yang cukup berani untuk meletakkan senjata lebih dulu.
Dan sayangnya, keberanian macam itu kini semakin langka—terutama di negeri-negeri yang mengklaim diri sebagai penjaga dunia bebas.
Sumber: