Opini
Buruh Pelabuhan Prancis Menolak Jadi Bagian Genosida

Di Teluk Fos, sebuah pelabuhan sibuk di selatan Prancis, sejumlah pekerja dari General Confederation of Labor (CGT) berdiri teguh di hadapan kapal pengangkut logistik internasional. Mereka menolak memuat 19 palet berisi 14 ton komponen amunisi yang ditujukan untuk Israel. Penolakan ini bukan sekadar aksi buruh biasa, melainkan bentuk perlawanan moral terhadap keterlibatan Prancis dalam konflik yang telah merenggut ribuan nyawa warga sipil di Gaza.
Di tengah angin laut yang asin dan bau logam yang menguar dari dermaga, para buruh memilih prinsip di atas perintah. Mereka menolak menjadi bagian dari rantai logistik global yang, menurut mereka, turut menopang kekerasan sistematis terhadap rakyat Palestina. Aksi ini, seperti dilaporkan Al Mayadeen, bukan semata protes terhadap beban kerja atau kondisi ketenagakerjaan, melainkan sebuah deklarasi nurani: bahwa mereka tak akan menjadi bagian dari “pembantaian yang dilegalkan.”
Pemicu dari aksi ini berasal dari laporan investigatif Disclose yang mengungkap bahwa komponen amunisi tersebut—diproduksi oleh Eurolinks di Marseille—merupakan bagian dari senapan mesin Negev 5, yang digunakan militer Israel. Fakta ini memperkuat dugaan keterlibatan langsung perusahaan-perusahaan Eropa dalam memasok alat perang ke konflik bersenjata di Timur Tengah.
Lebih dari itu, Disclose menyebut bahwa komponen serupa telah dikirim sebelumnya, pada April dan Mei 2025, menggunakan kapal yang berlabuh di Haifa. Temuan tersebut kian mengkhawatirkan setelah diketahui bahwa senjata itu digunakan dalam insiden “Flour Massacre” pada Februari 2024, di mana lebih dari 100 warga Palestina tewas saat tengah menunggu distribusi bantuan kemanusiaan. Peristiwa tersebut mengguncang dunia dan menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana alat bantu bisa berubah menjadi jebakan maut?
Bagi para buruh pelabuhan Fos, laporan itu seperti pisau yang menyayat kesadaran. Mereka yang biasanya bekerja dalam bayang-bayang, kini maju ke depan, menolak secara terbuka menjadi bagian dari logistik militer yang mengarah pada kekerasan. Tangan-tangan yang sehari-hari mengangkat kontainer, kini mengangkat suara: “Kami tak akan turut andil dalam genosida.”
Aksi ini menjadi cermin yang memantulkan wajah pemerintah Prancis sendiri. Pada Oktober 2024, Presiden Emmanuel Macron sempat mendesak penghentian pengiriman senjata ke Israel. “Kita tak bisa menyerukan gencatan senjata sambil terus memasok senjata,” ucapnya saat itu. Namun, pernyataan itu tampak lebih sebagai retorika diplomatik ketimbang komitmen kebijakan. Sebab hingga kini, pengiriman tetap berjalan, dan mekanisme pengawasan terhadap ekspor senjata tampak lemah, bahkan nyaris tidak ada.
Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Sébastien Lecornu, memang mengklaim bahwa lisensi ekspor tidak memperbolehkan penggunaan ulang komponen militer oleh Israel. Tapi Disclose justru menunjukkan ketiadaan sistem yang efektif untuk memastikan hal tersebut. Inkonsistensi ini membuat publik bertanya-tanya: benarkah pemerintah berniat mencegah keterlibatan dalam konflik, ataukah sekadar bermain kata-kata untuk menenangkan opini internasional?
Buruh-buruh CGT menolak untuk tinggal diam di tengah kabut ketidakjelasan itu. Mereka memilih bertindak ketika pemerintah tampak gamang. Dengan keteguhan, mereka menyuarakan ketidaksetujuan yang tajam namun damai—sebuah bentuk tekanan sipil yang tulus dari bawah.
Resonansi aksi ini juga bergema hingga ke Indonesia. Kita punya sejarah serupa: “Black Armada” di Australia. Antara 1945–1949, pekerja pelabuhan di Sydney dan Brisbane memboikot kapal-kapal Belanda yang mengangkut senjata dan logistik untuk menekan kemerdekaan Indonesia. Aksi solidaritas internasional itu, meskipun dilakukan jauh dari Tanah Air, berdampak nyata dalam memperlambat gerak militer Belanda. Ratusan kapal tertahan; perjuangan diplomatik Indonesia mendapat amunisi moral dari luar negeri.
Kisah CGT di Fos dan Black Armada di Australia menegaskan bahwa buruh, yang kerap dianggap tak berdaya di hadapan sistem global, ternyata mampu menjadi aktor penting dalam membela nilai-nilai kemanusiaan. Mereka mungkin tak memiliki kekuasaan legislatif atau hak veto di PBB, tapi mereka punya sesuatu yang tak kalah besar: keberanian untuk berkata tidak, ketika sebagian besar dunia memilih bungkam.
Di Indonesia, solidaritas terhadap Palestina sering terdengar dalam bentuk unjuk rasa, doa bersama, hingga seruan boikot produk tertentu. Tapi pertanyaannya kini: bisakah kita melangkah lebih jauh? Mungkinkah pelabuhan-pelabuhan di negeri ini suatu saat juga menjadi arena pembelaan moral, tempat di mana hati nurani didahulukan dari logika bisnis?
Namun, kita juga harus jujur tentang risiko yang dihadapi para buruh CGT. Menolak memuat kargo berarti menentang sistem. Mereka bisa dikenai sanksi, dipotong upah, bahkan diberhentikan. Pelabuhan Marseille-Fos adalah nadi ekonomi Prancis selatan. Gangguan sekecil apa pun bisa mengganggu alur ekspor-impor, berdampak pada pendapatan harian para pekerja. Tapi bagi mereka, harga dari berdiam diri jauh lebih besar. Dan dalam diamnya pemerintah, suara kecil mereka menjadi gema yang menggugah.
Tindakan CGT juga bukan satu-satunya. Pelabuhan Genova di Italia dan Thessaloniki di Yunani pernah mengalami hal serupa: buruh memblokir pengiriman senjata ke Israel. Ini membuktikan bahwa solidaritas antarburuh lintas negara bukan sekadar mimpi romantik. Meski tetap ada batasnya—karena tanpa kebijakan negara yang menguatkan, aksi-aksi seperti ini lebih mirip penghambat sementara ketimbang solusi permanen. Aliran senjata bisa tertunda, tapi akan terus mengalir jika sistem ekspor-impor senjata tak diubah secara struktural.
Putusan pengadilan di Paris yang membatalkan larangan terhadap perusahaan senjata Israel di pameran Euronaval 2024 hanya menambah daftar panjang inkonsistensi pemerintah. Politik dan ekonomi kembali berbicara lebih nyaring daripada jeritan kemanusiaan. Maka, pertanyaan yang mengemuka adalah: sampai kapan rakyat harus terus menggantikan fungsi yang gagal dijalankan oleh negara?
Refleksi atas kejadian ini membuka ruang kontemplasi yang lebih luas. Mengapa negara-negara yang punya kewenangan penuh untuk mengubah kebijakan justru sering gagal menunjukkan komitmen yang sejalan dengan prinsip-prinsip yang mereka deklarasikan? Jawabannya mungkin rumit: tekanan diplomatik dari sekutu, kepentingan industri senjata, serta perhitungan geopolitik.
Namun, di sisi lain, kejadian di Fos menunjukkan bahwa rakyat biasa bisa melampaui para elit dalam hal keberanian moral. Buruh-buruh yang selama ini tak pernah tampil di halaman depan koran kini justru mengajarkan integritas. Mereka tidak menunggu keputusan parlemen, mereka bertindak dengan keyakinan—bahwa keadilan bukanlah wacana, melainkan pilihan nyata dalam keseharian.
Bagi kita di Indonesia, ini adalah momen untuk bercermin. Ketika kita dengan lantang menyuarakan dukungan untuk Palestina, apakah kita juga siap bertindak lebih konkret? Apakah kita bisa mencontoh semangat Black Armada dan keberanian CGT, dan bertanya: di pelabuhan kita, di korporasi kita, di jalan-jalan kita—apa yang bisa kita lakukan untuk tidak terlibat dalam ketidakadilan global?
Pertanyaan ini, pada akhirnya, menggantung seperti kapal yang tak jadi berlayar di Teluk Fos—menunggu jawaban dari kita semua. Karena keberanian, pada banyak momen penting sejarah, tidak selalu datang dari gedung-gedung tinggi pemerintahan. Ia kerap muncul dari dermaga yang basah, dari tangan-tangan kotor yang menolak menjadi bagian dari mesin perusak kehidupan.
Sumber:
* Al Mayadeen: French port workers block arms shipment to Israel amid Gaza genocide, [https://english.almayadeen.net/news/politics/french-port-workers-block-arms-shipment-to–israel–amid-gaz]
* Disclose.fr: Investigasi pengiriman komponen amunisi dari Eurolinks, Marseille
* Sejarah “Black Armada” (1945–1949), berbagai sumber sejarah dan arsip dokumenter
* Laporan protes pelabuhan Genova dan Thessaloniki, unggahan X dan media alternatif Eropa