Opini
Bumerang Gencatan Senjata: Dilema ‘Israel’

Ketika gencatan senjata digagas, harapan yang terbesit adalah terciptanya ketenangan, penghentian konflik, dan pengembalian stabilitas. Namun, dalam konteks “Israel”, gencatan senjata di Lebanon dan Gaza ternyata menjadi bumerang yang sulit dihindari. Media-media Israel sendiri mulai mengakui bahwa kesepakatan tersebut lebih menyerupai “strategic trap” — jebakan strategis yang memenjarakan mereka dalam ketidakberdayaan.
Seorang mantan perwira militer Israel, Yonatan Adiri, dengan tegas menyatakan bahwa meskipun militer Israel mengklaim kemenangan besar selama 15 bulan konflik, posisi mereka saat ini dalam perjanjian dengan Lebanon dan Gaza justru menunjukkan kelemahan mendasar. Menurut Adiri, “Israel menemukan dirinya dalam posisi inferior akibat ketidakmampuan untuk keluar dari negosiasi.” Sebuah pengakuan yang, meski pahit, tampaknya tidak dapat dihindari.
Di Lebanon, perjanjian yang seharusnya menghentikan konflik malah membuka ruang baru bagi Hizbullah untuk memperkuat cengkeramannya di perbatasan. Pasukan Lebanon yang dianggap gagal menjalankan peran mereka hanya memperdalam celah ini. Dengan kehadiran pasukan Israel di wilayah Lebanon yang minim kekuatan dan persiapan, mereka menjadi target empuk bagi Hizbullah. Ironisnya, kehadiran tersebut bukannya memberikan rasa aman, melainkan menambah risiko eskalasi. Dan sementara warga Lebanon yang rumahnya telah dihancurkan perang kembali dengan semangat, penduduk utara Israel justru ragu untuk kembali.
“Jika saja penduduk Israel utara memiliki motivasi seperti warga Lebanon selatan yang kembali ke desa-desa mereka meski dalam kehancuran,” ujar seorang pejabat senior Israel dengan nada getir. Frustrasi ini mencerminkan dinamika ironis di mana lawan, yang seharusnya berada dalam posisi defensif, justru tampak lebih kuat secara moral dan strategis.
Tidak berhenti di situ, situasi di Gaza memperparah “bumerang” ini. Setiap langkah dalam perjanjian gencatan senjata justru memperkuat Hamas. Pembebasan tahanan profil tinggi, kembalinya warga Gaza ke utara, hingga pembukaan jalur bantuan dari Mesir — semua ini meningkatkan kontrol Hamas atas wilayah tersebut. Adiri menggambarkan bahwa Hamas tidak hanya memperkuat cengkeramannya di Gaza tetapi juga meningkatkan citranya di mata dunia Arab. Bagi “Israel”, setiap minggu berarti kehilangan leverage strategis, sementara Hamas terus mengonsolidasikan kekuasaannya.
Dengan situasi seperti ini, muncul pertanyaan: Apakah gencatan senjata ini adalah solusi atau hanya jeda untuk konflik yang lebih besar? Bagi Israel, jawabannya tampaknya jelas. Adiri sendiri menyebut perjanjian ini sebagai jebakan yang “sulit untuk dihindari.” Tidak hanya itu, ketergantungan Israel pada implementasi perjanjian ini membuat mereka kehilangan fleksibilitas untuk mengambil langkah ofensif.
Lebih ironis lagi, gagasan untuk mengubah dinamika ini datang dengan proposal yang bahkan lebih fantastis: “ofensif di Iran” atau “normalisasi dengan Saudi”. Strategi ini, meski tampak ambisius, pada dasarnya menunjukkan seberapa dalam Israel telah terperangkap. Bukannya mencari solusi realistis, mereka justru membayangkan langkah-langkah besar yang lebih menyerupai mimpi daripada rencana konkret.
Sementara itu, laporan terbaru menunjukkan bahwa gencatan senjata di Lebanon telah melahirkan lebih banyak ketegangan. Pelanggaran oleh pasukan Israel, termasuk penembakan terhadap warga sipil Lebanon yang kembali ke desa-desa mereka, hanya memperburuk citra Israel di tingkat internasional. Dua warga tewas, termasuk seorang anak, dan 17 lainnya terluka. Alih-alih menegaskan kekuatan, Israel justru tampak seperti pihak yang frustrasi, kehilangan arah, dan tak mampu mengelola dinamika baru di wilayah tersebut.
Di Gaza, situasi tidak jauh berbeda. Meskipun Israel berharap gencatan senjata dapat melemahkan Hamas, kenyataannya justru sebaliknya. Setiap perkembangan perjanjian hanya memperkuat posisi Hamas, baik secara politik maupun militer. Dengan setiap tahanan yang dibebaskan dan setiap bantuan yang masuk, Hamas semakin kokoh. Dan bagi Israel, ini bukan sekadar kegagalan taktis, tetapi kekalahan strategis.
Dalam perspektif yang lebih luas, situasi ini menggambarkan kegagalan mendasar dalam pendekatan Israel terhadap konflik. Alih-alih mencari solusi yang berkelanjutan, mereka terus terjebak dalam pola pikir militeristik yang hanya memperpanjang konflik tanpa memberikan resolusi. Gencatan senjata yang seharusnya menjadi jalan menuju perdamaian malah berubah menjadi bumerang — memukul balik Israel dengan cara yang bahkan tidak mereka duga.
Dan di sini, ironi terbesar terletak: bahwa Israel, dengan segala klaim kekuatan militer dan strategisnya, kini mendapati dirinya berada di bawah bayang-bayang lawan-lawannya. Hizbullah di utara dan Hamas di selatan tidak hanya bertahan tetapi tumbuh semakin kuat. Gencatan senjata yang dirancang untuk mengamankan posisi Israel kini menjadi jebakan yang membatasi gerak mereka. Sebuah pelajaran yang pahit, tetapi mungkin, sangat diperlukan bagi mereka untuk menyadari bahwa kekuatan tidak selalu menjadi jawaban.
Pada akhirnya, bumerang ini menunjukkan bahwa dalam konflik yang kompleks seperti ini, pendekatan militeristik tanpa pemahaman mendalam tentang dinamika lokal hanya akan memperburuk situasi. Dan bagi Israel, bumerang ini tampaknya baru saja mulai kembali menghantam mereka dengan kekuatan penuh.