Connect with us

Opini

Bukan Iran, Bukan Hamas: Ancaman Terbesar Netanyahu Berasal dari Dalam Negeri

Published

on

(Refleksi atas Politik Pengalihan Netanyahu dan Krisis Wajib Militer Ultra-Ortodoks)

Pada pagi yang mestinya menjadi langkah diplomasi penting ke Washington, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, justru menunda keberangkatannya. Tiga setengah jam pesawat yang seharusnya membawanya ke ibukota Amerika Serikat dibiarkan menunggu di landasan Ben Gurion Airport. Bukan karena badai, bukan pula karena ancaman teror atau kondisi cuaca ekstrem. Tapi karena badai lain yang jauh lebih mencekam sedang menggulung di dalam negeri: krisis politik eksistensial yang mengancam kelangsungan kekuasaan Netanyahu sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang menggelikan—atau barangkali justru tragis—krisis ini bukan berasal dari musuh-musuh abadi Israel di luar sana. Bukan dari Hamas, bukan dari Hizbullah, bahkan bukan dari Iran yang terus-menerus diklaim sebagai ancaman eksistensial. Bukan. Musuh Netanyahu kali ini adalah koalisinya sendiri, orang-orang yang selama ini ia rangkul dan beri panggung, dalam barter kekuasaan yang selalu ia mainkan dengan lihai.

Isunya terdengar sederhana bagi telinga luar: pembebasan wajib militer bagi pemuda ultra-Ortodoks (Haredi). Tapi di Israel, tak ada yang sederhana, apalagi menyangkut agama dan militer. Wajib militer di sana bukan sekadar kewajiban administratif, tapi simbol utama dari pengabdian warga negara terhadap entitas negara. Di mata publik sekuler, penghindaran wajib militer oleh kalangan Haredi adalah bentuk ketidakadilan yang terang-benderang. Mereka mempertaruhkan hidup di Gaza, sementara yang lain bersembunyi di balik kitab.

Namun di sisi lain, kalangan Haredi tidak melihat hal ini sebagai penghindaran. Bagi mereka, belajar Taurat adalah tugas suci, dan siapa pun yang memaksa mereka untuk mengangkat senjata dianggap mencemari kemurnian panggilan ilahiah. Ini bukan sekadar soal hukum, ini menyangkut teologi, identitas, dan bahkan hak hidup mereka sebagai komunitas yang otonom secara keyakinan.

Krisis mulai mencuat ke permukaan pada 11 Juni 2025, ketika partai-partai ultra-Ortodoks, yang selama ini menjadi mitra kunci dalam koalisi Netanyahu, mengancam akan menarik dukungan. Mereka menuntut janji lama segera ditepati: undang-undang yang membebaskan yeshiva dari wajib militer. Jika tidak, Knesset akan dibubarkan, dan Israel kembali ke kotak suara. Oposisi mencium celah. Mereka segera mengajukan RUU pembubaran parlemen. Pemerintahan Netanyahu berada di ujung tanduk.

Namun sebelum gelombang krisis dalam negeri meledak sepenuhnya ke ruang publik, Netanyahu bergerak cepat. Pada 13 Juni 2025, dua hari setelah krisis meledak, Israel melancarkan serangan militer terbuka terhadap Iran. Rudal-rudal meledak, radar-radar menyala, media internasional bergetar. Dunia, sejenak, lupa bahwa yang tengah runtuh di Yerusalem bukan hanya koalisi politik—tapi fondasi moral dari negara itu sendiri.

Kita tahu taktik ini. Ini bukan pertama kali Netanyahu menggunakan “musuh eksternal” untuk menyelamatkan posisinya di dalam negeri. Setiap kali krisis memuncak, muncullah Hamas, Hizbullah, atau Iran sebagai alasan penundaan reformasi atau gangguan atas kritik publik. Ini adalah politik pengalihan dalam bentuk paling telanjang.

Dan memang berhasil. Setidaknya untuk sementara.

Isu wajib militer tenggelam di tengah dentuman berita tentang perang. Media publik berbicara tentang pertahanan udara, bukan pembelotan koalisi. Oposisi pun kehilangan momentum. Partai-partai Haredi terdiam. Kegaduhan di Knesset digantikan oleh konferensi pers militer. Netanyahu kembali menjadi “Perdana Menteri Keamanan.” Dunia kembali menatapnya bukan sebagai politisi licik, tapi sebagai pemimpin negeri kecil yang dikepung bahaya.

Tapi semua itu hanya sementara. Efek hipnosis dari perang tak pernah bertahan lama. Apalagi jika rakyat tahu, jauh di lubuk hati, bahwa perang ini mungkin lebih ditujukan untuk menyelamatkan kursi perdana menteri daripada menyelamatkan negara.

Akhir Juni hingga awal Juli, suara-suara lama kembali terdengar. Oposisi kembali mengajukan pembubaran parlemen. Fatwa-fatwa dari rabbi Haredi menyeru perlawanan terhadap wajib militer. Militer Israel sendiri, dalam manuver yang jarang terjadi, mulai mengeluarkan 54.000 surat panggilan wajib militer kepada para pemuda Haredi. Ini bukan hanya upaya penegakan hukum, tapi sinyal bahwa bahkan militer pun muak dengan kompromi politik yang terus memperpanjang ketimpangan.

Dan Netanyahu? Ia menunda kunjungan ke Washington. Dunia luar tak lagi penting ketika dalam negeri terbakar. Ini bukan sekadar sinyal taktis. Ini pengakuan bahwa musuh sebenarnya bukan di Teheran, bukan di Rafah—tetapi di ruang rapat kabinetnya sendiri.

Apa yang terjadi saat ini di Israel sejatinya adalah benturan ideologis yang telah lama dipendam. Negara yang dibangun atas kompromi antara kelompok religius dan sekuler itu kini dihadapkan pada pertanyaan dasar: apakah semua warga negara benar-benar setara? Atau hanya sebagian yang harus mati demi negara, sementara sebagian lain dilindungi oleh tafsir agama?

Netanyahu terjebak dalam jebakan yang ia buat sendiri. Demi mempertahankan kekuasaan, ia merangkul kelompok-kelompok religius radikal dan memberi mereka hak istimewa. Tapi kini, hak istimewa itu menjadi ranjau politik yang bisa meledak kapan saja. Jika ia menuruti tuntutan Haredi, ia akan kehilangan legitimasi publik dan militernya. Jika ia menolak, ia akan kehilangan koalisinya dan jabatannya.

Dan sejarah mencatat: Netanyahu tak pernah memilih pengorbanan diri. Ia selalu memilih untuk bertahan.

Lantas apa yang akan ia lakukan? Apakah ia akan menyerang Iran lagi? Apakah ia akan menciptakan krisis baru dengan Hizbullah? Atau menuduh oposisi sebagai pengkhianat bangsa? Semua kemungkinan itu terbuka. Tapi semuanya berasal dari akar yang sama: pemimpin yang enggan mengakui bahwa kekuasaannya telah usang.

Netanyahu bukan lagi solusi. Ia adalah bagian dari masalah. Ia bukan benteng pertahanan demokrasi Israel, tapi jaring laba-laba yang menjebak seluruh sistem dalam sandera krisis berkepanjangan. Dan setiap hari ia bertahan, adalah hari di mana kepercayaan rakyat terhadap negara mereka sendiri semakin runtuh.

Saat dunia melihat Israel sebagai negara kuat yang dikepung musuh, rakyatnya sendiri mulai melihat kenyataan yang lebih kelam: mereka dikhianati oleh orang yang seharusnya melindungi, bukan memanipulasi. Para janda perang Gaza tidak lupa bahwa anak-anak mereka mati di medan perang, sementara para pemuda yeshiva duduk nyaman di ruang belajar, dibiarkan oleh negara yang seharusnya adil. Para perwira militer tidak lupa bahwa mereka harus bertempur dalam sistem yang makin timpang.

Israel saat ini bukan hanya menghadapi krisis pemerintahan. Ia menghadapi krisis kepercayaan nasional. Dan selama Netanyahu terus bertahan dengan politik pengalihan, politik ketakutan, dan politik kompromi kotor—maka setiap hari yang berlalu hanya mempercepat kehancuran.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade kekuasaannya, Netanyahu mulai kehabisan kartu. Perang sudah dimainkan. Musuh eksternal sudah dipanggil. Tapi musuh dalam negeri tak kunjung hilang.

Karena musuh itu bukan Iran.

Musuh itu adalah kebohongan yang terlalu lama dipelihara.

*Sumber:

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Lima Target Baru Israel di Gaza: Misi Mustahil Jilid Dua - vichara.id

  2. Pingback: Netanyahu dan Bayangan Skandal yang Tak Pernah Usai - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer