Connect with us

Opini

Buah Revolusi Suriah: Ketika Negara Melindungi Para Penculik

Published

on

Di sepanjang pesisir barat Suriah, angin laut tak lagi membawa kabar tentang ketenangan. Ia menyapu jalan-jalan di Latakia, Tartous, Homs, dan Hama dengan semilir keresahan yang sulit ditebak ujungnya. Sejak Februari 2025, puluhan perempuan dan anak perempuan—beberapa masih balita—menghilang begitu saja. Siang hari, di tempat umum, tanpa peringatan. Lima perempuan dan tiga anak di bawah usia delapan belas tahun diculik di siang bolong. Dunia berputar, namun negara tampak tak tahu apa-apa. Atau mungkin pura-pura tak tahu. Kadang yang menakutkan bukanlah ketidaktahuan negara, melainkan pengetahuannya yang terlalu banyak.

Jika ini yang disebut “buah revolusi”, maka rasanya revolusi Suriah tidak tumbuh di pohon harapan, melainkan di semak belukar ketakutan dan kebohongan. Amnesty International mencatat, ada setidaknya 36 kasus penculikan perempuan Alawiyah yang terverifikasi. Dari jumlah itu, hanya satu yang—secara simbolik—diinvestigasi. Selebihnya, hanyut dalam dokumen yang tidak pernah dibuka, laporan yang tidak pernah dibaca, dan janji yang tak pernah ditepati. Presiden Ahmad al-Sharaa, wajah baru revolusi Desember 2024, malah menunjuk komite pencari fakta yang—sungguh ironis—menyatakan tidak menerima laporan penculikan perempuan sama sekali. Begitu rapi cara berbohong, sampai-sampai kebohongan itu tak lagi terasa janggal.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Beginilah rupa Suriah pasca-revolusi: negara baru dengan cara lama. Mereka yang dulu menyerukan perubahan, kini menikmati dinginnya kursi kekuasaan sambil menutup mata atas penculikan, kekerasan, pemaksaan pernikahan, hingga potensi perdagangan manusia. Dulu kekerasan itu dilakukan oleh ISIS—mereka menculik, memperkosa, memperjualbelikan perempuan Yazidi atas nama ideologi yang keblinger. Kini, ketika kekuasaan berganti dan “musuh” telah tumbang, kekerasan yang sama berlanjut dengan selimut kenegaraan yang jauh lebih lembut—dan karena itu jauh lebih berbahaya.

Apa yang terjadi dengan revolusi Suriah? Apakah benar revolusi itu pernah terjadi? Atau hanya pergantian dekorasi panggung, dengan naskah yang tetap sama dan sutradara yang lebih licin? Para penculik hari ini mungkin tak lagi mengangkat senjata di padang pasir, mereka kini memegang telepon genggam, menuntut tebusan antara $10.000 hingga $14.000, dan mengirimkan foto korban dengan wajah lebam sebagai bukti. Bahkan setelah uang dikirim, korban tetap tidak pulang. Ternyata dalam sistem baru, kebohongan tetap menjadi kontrak utama.

Pihak keluarga sudah berupaya. Laporan dibuat. Bukti diserahkan. Tapi bukti ditolak, laporan diabaikan, bahkan keluarga korban dituduh sebagai pelaku. Betapa murahnya harga kebenaran di negeri yang baru saja bersorak merayakan revolusi. Ironisnya, revolusi itu dijual kepada dunia sebagai kemenangan rakyat. Tapi siapa yang dimaksud “rakyat”? Sebab rakyat Alawiyah kini takut keluar rumah, mengubah rutinitas harian, dan menatap setiap kendaraan asing dengan curiga. Apakah mereka bukan bagian dari rakyat yang dijanjikan “Suriah untuk semua”?

Mungkin revolusi ini hanya milik mereka yang berteriak paling nyaring dan merebut kekuasaan paling cepat. Sisanya, termasuk perempuan Alawiyah, hanya jadi kolateral: bagian dari statistik tanpa wajah, tanpa nama. Apakah itu bedanya revolusi dengan kudeta? Dalam kudeta, kita tahu siapa lawan, siapa kawan. Dalam revolusi yang palsu, semua berbaur—dan bahaya terbesar justru datang dari mereka yang mengklaim membawa perubahan.

Dalam delapan kasus yang diinvestigasi Amnesty, ditemukan bahwa ancaman datang bukan hanya dari penculik, tetapi juga dari negara. Negara yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pagar yang membiarkan kawanan serigala berkeliaran. Bahkan ketika panggilan penculik terlacak berasal dari Irak, Turki, dan UEA—negara-negara yang punya hubungan diplomatik dengan pemerintahan al-Sharaa—tidak ada satu pun langkah konkret yang diambil. Bukan hanya tidak serius, tapi seolah-olah ada rasa “tak perlu peduli.” Dan jika benar begitu, maka negara tak lagi netral. Ia berpihak. Dan sayangnya, bukan pada yang lemah.

Pihak berwenang bersikeras menolak kebenaran. Komite presiden menyatakan tak ada laporan. Polisi tak bergerak. Aparat malah mencurigai keluarga sendiri. Betapa mudahnya menjadikan korban sebagai tertuduh di negeri yang penuh trauma. Padahal kita tahu, trauma kolektif yang tak diproses akan melahirkan kekerasan baru. Dan kekerasan yang dilegalkan oleh diamnya negara akan tumbuh menjadi struktur sosial yang membusuk.

Lucunya, sebagian orang di luar sana masih bersikukuh menyebut ini sebagai masa harapan baru. Mereka berbicara tentang “rekonsiliasi”, “kebebasan pers”, dan “transisi demokrasi.” Di dunia internasional, wajah Suriah kembali menghiasi forum-forum diplomatik sebagai “negara yang bangkit dari puing.” Tapi puing-puing apa? Bukankah yang hancur adalah rumah-rumah warga yang anak perempuannya diculik? Dan yang dibangun kembali adalah citra para penguasa baru yang tak jauh beda dengan penguasa lama?

Di sinilah absurditas itu bermula. Ketika dunia menutup mata atas penderitaan perempuan hanya karena pelakunya kini mengenakan dasi dan hadir dalam forum internasional. Ketika penculikan tidak lagi disebut terorisme karena tidak dilakukan oleh kelompok ekstrem, tapi oleh jaringan kriminal yang didiamkan negara. Dan ketika Amnesty, organisasi internasional yang sering dicap bias, justru menjadi satu-satunya suara yang berbicara tentang keberanian dan kebenaran. Kadang memang hanya dari luar suara nurani datang, karena di dalam semua telinga sudah dibeli.

Sebagai orang Indonesia, kisah ini terasa familiar dalam bentuk lain. Kita pernah punya masa di mana penculikan dilakukan oleh negara sendiri, demi stabilitas katanya. Kita tahu persis bagaimana keluarga korban dipaksa diam, bagaimana kesedihan dijadikan rahasia negara. Dan kita juga tahu betapa panjang jalan menuju keadilan itu—bahkan ketika pelaku sudah mati pun, sistem tetap bertahan. Karena itu, Suriah hari ini bukan hanya tragedi satu negara, tapi cermin dunia yang tak belajar dari sejarah.

Barangkali yang terjadi bukan kegagalan revolusi, tapi keberhasilan kebohongan. Mereka yang berteriak tentang perubahan justru ingin mempertahankan kekuasaan dengan cara yang lebih halus—dan karenanya lebih mematikan. Tidak ada ledakan bom besar. Tidak ada parade tentara. Yang ada hanyalah hilangnya perempuan demi perempuan, diam-diam, sunyi, tanpa jejak. Negara tidak mengejar pelaku. Negara justru memberikan mereka ruang bernapas.

Dan kita? Kita hanya membaca laporan itu sambil menyeruput kopi, merasa ngeri sesaat, lalu kembali ke rutinitas. Seperti biasa. Dunia terus berputar. Dan para penculik pun tetap bekerja, mungkin dengan lebih tenang, karena mereka tahu: kini mereka tidak hanya bebas—mereka dilindungi.

Kalau ini yang disebut buah revolusi, maka kita benar-benar hidup di dunia yang pahit getir. Dan pohon yang menghasilkan buah macam ini, sebaiknya tidak lagi disebut harapan—melainkan peringatan.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Paspor Suriah untuk Para Kombatan? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer