Connect with us

Opini

BRICS, Solusi Perang Tarif Trump? 

Published

on

Sebuah krisis kepercayaan yang semakin dalam terhadap dolar AS mungkin sedang terbentang, demikian peringatan dari Deutsche Bank dalam sebuah laporan yang dikutip Reuters pada April 2025. Peringatan ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru yang luas, mulai dari 10% hingga 50%, pada berbagai impor dari puluhan negara, mengguncang pasar keuangan dan memicu ketakutan akan perang dagang global. George Saravelos, kepala riset valuta asing global Deutsche Bank, menyoroti risiko perubahan besar dalam alokasi arus modal yang dapat mengacaukannya pasar mata uang. Dolar AS anjlok lebih dari 1,5% terhadap euro dan yen Jepang, serta lebih dari 1% terhadap pound Inggris dalam seminggu, sementara aset safe-haven seperti emas dan franc Swiss melonjak permintaannya. Di tengah kekacauan ini, BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—muncul sebagai jawaban potensial. Tapi, bisakah mereka benar-benar menjadi solusi atas perang tarif Trump?

Kebijakan tarif Trump bukan sekadar gertakan politik; ini adalah pukulan ekonomi yang terasa di seluruh dunia. Laporan Financial Times dan Reuters menyebutkan bahwa JPMorgan dan Fitch memperkirakan tarif ini bisa memangkas pertumbuhan PDB AS hingga 1,5% dan bahkan mendorong ekonomi besar lainnya ke jurang resesi. Pasar saham global jatuh, harga minyak merosot, dan imbal hasil obligasi mundur karena investor bersiap menghadapi perlambatan ekonomi. Bank Sentral Eropa (ECB) pun khawatir, seperti yang disuarakan Saravelos, bahwa erosi berkepanjangan terhadap dolar dapat memicu guncangan disinflasi di zona euro, memaksa penyesuaian kebijakan moneter yang tidak diinginkan. Ketidakpastian ini memperlihatkan kerentanan sistem keuangan global yang terpusat pada dolar—dan di sinilah BRICS mulai terlihat relevan. Dengan visi multipolar dan langkah nyata menuju dedolarisasi, mereka menawarkan alternatif yang menjanjikan ketahanan.

BRICS bukanlah pemain baru dalam wacana ekonomi global, tetapi perang tarif Trump memberi mereka panggung yang lebih besar. Kelompok ini, yang kini menyumbang sekitar 35-37% PDB dunia menurut data Bank Dunia 2024, telah lama mendorong dunia yang tidak lagi didominasi satu mata uang. China dan Rusia, misalnya, telah menggunakan yuan dan rubel untuk lebih dari 70% transaksi bilateral mereka pada 2023, menurut laporan Bank Sentral Rusia. New Development Bank (NDB) BRICS, yang didirikan pada 2014, telah menyalurkan pinjaman senilai lebih dari $32 miliar hingga 2024 dalam mata uang lokal, mengurangi risiko fluktuasi dolar. Ketika Trump menutup pintu dengan tarif, BRICS membukanya dengan jaringan perdagangan alternatif—China melalui Belt and Road Initiative (BRI), Rusia dengan pivot ke Asia, dan India dengan hubungan Asia-Afrika yang semakin erat.

Perang tarif Trump mempercepat narasi dedolarisasi yang sudah digulirkan BRICS. Ketika dolar jatuh dan investor berlari ke emas—yang harganya naik 15% sejak awal 2025 menurut Bloomberg—Rusia dan China menonjol sebagai pembeli emas terbesar dunia, masing-masing menambah cadangan lebih dari 200 ton pada 2024, berdasarkan data World Gold Council. Rusia bahkan memangkas porsi dolar dalam cadangannya dari 46% pada 2014 menjadi kurang dari 10% pada 2023, menurut Bank Sentral Rusia, beralih ke yuan dan emas. Ini bukan sekadar simbolisme; ini adalah strategi untuk melindungi diri dari kebijakan AS yang tidak terduga, seperti tarif yang kini mengguncang pasar. Dengan yuan yang kini menyumbang 2,7% cadangan devisa global per IMF 2024, BRICS menunjukkan bahwa alternatif itu nyata, meski masih jauh dari dominasi dolar di 58%.

Namun, BRICS bukan obat mujarab instan. Dominasi dolar tidak dibangun dalam semalam, dan meruntuhkannya pun membutuhkan waktu. Meski yuan masuk dalam keranjang Special Drawing Rights (SDR) IMF sejak 2016, ia masih tertinggal jauh dibanding dolar yang menguasai 60% cadangan devisa global dan 88% transaksi perdagangan dunia, menurut Bank for International Settlements (BIS) 2023. Sistem pembayaran alternatif BRICS, seperti SPFS Rusia dan CIPS China, memang berkembang—SPFS kini digunakan oleh lebih dari 400 bank di 20 negara per 2024—tapi belum bisa menyaingi jangkauan SWIFT yang melayani lebih dari 11.000 institusi di 200 negara. Perang tarif Trump mungkin mempercepat dedolarisasi, tetapi transisi penuh membutuhkan infrastruktur dan kepercayaan global yang masih dalam tahap pembangunan oleh BRICS.

Di sisi lain, perang tarif memberi BRICS peluang untuk membuktikan ketahanan mereka. Ketika AS menekan dunia dengan tarif, negara-negara seperti Indonesia—yang ekspornya ke AS mencapai $20 miliar pada 2023 menurut Kementerian Perdagangan RI—mulai melirik BRICS sebagai mitra. Pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia, menyatakan minat bergabung atau bermitra, menurut laporan resmi BRICS. China, yang menyumbang 18% PDB global pada 2024 (data IMF), telah menyalurkan lebih dari $1 triliun melalui BRI hingga 2023, membangun jaringan perdagangan yang tidak bergantung pada dolar. Ketika pasar AS menyusut akibat tarif, BRICS menawarkan pasar alternatif—India saja menyerap ekspor Afrika senilai $70 miliar pada 2023, naik 12% dari tahun sebelumnya per UNCTAD.

Tapi, ada tantangan yang tak bisa diabaikan. BRICS bukan blok yang sepenuhnya solid. India, misalnya, masih menjaga hubungan erat dengan AS—perdagangan bilateral mereka mencapai $190 miliar pada 2023 menurut Departemen Perdagangan AS—dan sering berbeda pandangan dengan China soal geopolitik. Brasil dan Afrika Selatan, dengan PDB masing-masing $2 triliun dan $400 miliar pada 2024 (data Bank Dunia), menghadapi masalah domestik seperti inflasi dan ketimpangan, membatasi kontribusi mereka. Sementara itu, AS tidak akan diam; sanksi dan tekanan politik bisa meningkat jika dedolarisasi BRICS mengancam lebih jauh. Laporan Fitch memperingatkan bahwa perang tarif bisa memicu respons balasan, memperdalam fragmentasi ekonomi global yang justru melemahkan stabilitas yang dijanjikan BRICS.

Lalu, apakah BRICS benar-benar solusi? Dalam jangka pendek, mereka adalah bantalan—mekanisme seperti Contingent Reserve Arrangement (CRA) BRICS, dengan dana $100 miliar, bisa membantu negara anggota menghadapi guncangan likuiditas akibat tarif. Dalam jangka panjang, mereka adalah harapan—jika dedolarisasi berhasil, dunia bisa terbebas dari kendali ekonomi AS yang kini terasa melalui tarif Trump. Tapi, keberhasilan itu bergantung pada kecepatan dan agresivitas BRICS. Mereka perlu memperluas BRICS+ lebih cepat—KTT 2024 di Kazan, Rusia, menargetkan 10 anggota baru—dan memperkuat sistem pembayaran alternatif. China, misalnya, bisa mendorong yuan digital (e-CNY), yang sudah diuji di 25 kota pada 2024 menurut People’s Bank of China, sebagai alat perdagangan global.

Perang tarif Trump, dengan segala kekacauannya, adalah ujian sekaligus peluang bagi BRICS. Laporan Deutsche Bank menyebutkan bahwa pasar valuta asing bisa menjadi tidak teratur jika kepercayaan pada dolar terus terkikis, dan BRICS punya jawaban parsial: diversifikasi cadangan, perdagangan non-dolar, dan aliansi baru. Tapi, dunia tidak bisa menunggu terlalu lama. Ketika stok pasar jatuh dan resesi mengintai—JPMorgan memprediksi kontraksi global 0,8% pada 2026 jika tarif berlanjut—BRICS harus bergerak lebih cepat dari yang mereka lakukan sekarang. Mereka sudah memulai, tapi belum selesai. Data IMF 2024 menunjukkan perdagangan dalam mata uang lokal BRICS naik 20% sejak 2020, tapi itu baru 5% dari total perdagangan global.

Pada akhirnya, BRICS adalah solusi yang sedang dibangun, bukan yang sudah jadi. Perang tarif Trump memperlihatkan celah dalam sistem unipolar berbasis dolar, dan BRICS mengisinya dengan visi multipolar yang ambisius. Mereka menawarkan ketahanan melalui dedolarisasi—Rusia dan China sudah membuktikannya dengan cadangan emas yang melonjak 25% sejak 2020 (World Gold Council)—dan pasar alternatif yang tumbuh. Tapi, untuk menjadi solusi penuh, mereka harus mengatasi fragmentasi internal dan membangun kepercayaan global yang lebih kuat. Sampai itu tercapai, BRICS adalah harapan yang realistis, tapi belum penyelamat mutlak, dalam menghadapi badai tarif Trump.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *