Connect with us

Opini

Bom Waktu di Kantong Israel: Ketika Perang Menguras Negara

Published

on

Tiga ratus miliar shekel. Kira-kira Rp1.260 triliun. Jumlah yang jika ditumpuk dalam lembaran seratus ribuan bisa membuat Jembatan Suramadu terlihat seperti seutas benang. Angka itu bukan anggaran pembangunan lima provinsi, bukan pula dana bantuan sosial nasional. Itu adalah harga dari sebuah perang—sebuah nafsu panjang yang dilanggengkan atas nama “keamanan nasional”—yang kini mulai menampakkan wajah aslinya: boros, tak efisien, dan membakar negeri sendiri dari dalam.

Adalah Shaul Amsterdamski, seorang komentator ekonomi dari Kan, media nasional Israel, yang membocorkan kekhawatiran itu ke publik. Ia menyebut bahwa para pejabat Kementerian Keuangan di Tel Aviv kini pusing tujuh keliling—bukan oleh roket Hamas, tapi oleh angka-angka di layar kalkulator mereka. Semakin lama perang berlangsung, semakin membengkak anggaran, semakin tak masuk akal pembenarannya. Israel memang belum kalah secara militer. Tapi secara fiskal? Mereka sedang kalah diam-diam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Lebih parah lagi, perang kali ini tak seperti “operasi militer kecil” yang biasa mereka lakukan dengan penuh perhitungan jangka pendek. Kini, Israel bukan cuma melawan Gaza. Mereka berurusan dengan Iran, Hizbullah, dan para “anak muda” pemberani dari Yaman yang mengirimkan drone dengan harga sepeda motor tapi membuat sistem pertahanan berharga miliaran jadi kalang kabut. Mungkin mereka lupa: melawan perlawanan yang menjadikan kemiskinan sebagai kekuatan berarti menghabiskan triliunan untuk menghancurkan tekad yang tak bisa dibeli.

Lihat saja catatan kerugian perang melawan Iran yang hanya berlangsung 12 hari. Empat belas miliar dolar (sekitar Rp228 triliun) raib dari neraca ekonomi Israel. Infrastruktur rusak, perdagangan lumpuh, dan rakyat sipil terpaksa hidup dalam ketakutan sambil menunggu sirene berbunyi. Dalam skenario pemulihan paling optimis, hanya separuh kerugian yang bisa dipulihkan. Sisanya? Silakan ditulis sebagai kenangan di batu nisan anggaran negara.

Dan itu baru 12 hari. Bagaimana jika 120 hari? Atau jika front perang meluas ke Lebanon, Suriah, Yaman, Tepi Barat? Bagaimana jika pasukan cadangan harus ditarik terus menerus, menambah beban logistik, bahan bakar, amunisi, hingga biaya rohani yang tak tercatat dalam laporan keuangan? Sejarah punya caranya sendiri untuk menyindir. Dan kali ini, ia menyindir dengan angka.

Laporan dari Maariv—koran Israel yang kini terdengar lebih jujur daripada pidato perdana menterinya—mengatakan bahwa pertahanan Israel berubah menjadi “lubang hitam anggaran”. Bayangkan: dari total anggaran negara tahun 2025, 21,8% dicurahkan untuk pertahanan. Itu sekitar 135 miliar shekel (Rp567 triliun), termasuk 75,7 miliar shekel (Rp318 triliun) hanya untuk membayar utang ke institusi asuransi sosial. Bukannya menjamin masa depan warga, mereka malah sedang membiayai masa lalu yang penuh kekerasan.

Dan sepertinya, lubang itu belum cukup dalam. Militer Israel baru-baru ini mengajukan permintaan tambahan anggaran: 55 hingga 60 miliar shekel (Rp231–252 triliun). Alasan mereka sederhana: biaya perang. Alasan rakyat mungkin lebih sederhana lagi: kapan ini semua akan berhenti?

Tapi tenang saja, rakyat tetap ditagih. Lebih dari 36 ribu klaim kompensasi telah diajukan: rumah hancur, kendaraan meledak, anak-anak trauma, warga sipil mengungsi. Bahkan ada hampir 11 ribu klaim dari penduduk yang terpaksa dievakuasi. Mereka tidak mencari musuh, hanya ingin hidup tenang. Tapi kini harus berhadapan dengan dua bencana: satu di luar rumah berupa roket, satu lagi di dalam rumah berupa kebangkrutan.

Adakah ironinya lebih pahit dari ini? Israel mengklaim diri sebagai “startup nation”, pusat inovasi dan teknologi tinggi. Tapi kini mereka menyalakan peringatan darurat karena kehabisan uang akibat… perang yang mereka mulai sendiri. Bahkan di dunia teknologi pun, tak ada algoritma yang bisa menghitung untung dari agresi yang tak berujung.

Dan di sinilah absurditas itu berdiri tegak: sebuah negara yang menjadikan kekuatan militer sebagai identitas nasional kini mulai pingsan karena tak kuat bayar tagihan. Mereka membayangkan bisa mengontrol Gaza sepenuhnya—tapi lupa bahwa mengontrol berarti juga harus memberi makan, air bersih, pendidikan, layanan medis, dan pengelolaan limbah. Apakah militer akan turun tangan memberi vaksinasi? Atau pasukan tank akan membersihkan selokan?

Di sinilah kita bisa merenung: jika kekuasaan itu mahal, bukankah lebih masuk akal untuk tidak serakah?

Kita, dari ujung nusantara ini, bisa melihatnya dengan mata yang relatif lebih tenang—meski bukan berarti lebih damai. Konflik di Palestina tak asing bagi telinga kita. Bahkan mungkin, terlalu akrab. Tapi jarang sekali kita mendengar bagaimana peluru itu juga menembus saku si penembak. Bahwa roket bukan hanya menghancurkan rumah korban, tapi juga menjebol atap ekonomi pelakunya sendiri.

Lalu, bagaimana akhir cerita ini? Tidak ada yang tahu. Mungkin Israel akan terus bertahan dengan bantuan miliaran dolar dari Amerika. Mungkin mereka akan memotong anggaran pendidikan dan kesehatan untuk menambah belanja bom pintar. Mungkin rakyat akan bangkit dan bertanya: sampai kapan hidup kami dikorbankan demi ambisi yang tak pernah selesai?

Yang pasti, bom waktu itu terus berdetak. Bukan di bawah tanah Gaza, tapi di dalam brankas Tel Aviv. Setiap shekel yang terbakar di medan perang adalah pengingat bahwa bahkan kekuatan militer terbesar pun tak kebal dari hukum dasar kehidupan: apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Mereka menanam kebencian, membajak tanah dengan rudal, dan kini mulai menuai utang serta ketidakpastian.

Di tengah reruntuhan ekonomi yang mereka buat sendiri, mungkin sesekali terdengar tawa getir dari para korban di seberang: “Terima kasih, kalian sudah membuktikan satu hal… bahwa keadilan kadang datang bukan dalam bentuk keajaiban, tapi dalam bentuk tagihan.”

Dan saat itu tiba, bahkan dompet paling tebal pun tak akan mampu membeli rasa aman.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Perang Gaza di Tengah Drama Internal Tel Aviv - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer