Opini
Bom Hiroshima & Nagasaki: Bahaya Terbesar Ada pada Pelaku

Langit Nagasaki mendung pada 9 Agustus 2025. Tepat pukul 11.02 siang, lonceng berdentang, menembus udara seperti napas berat yang menahan tangis. Delapan puluh tahun lalu, pada detik itu, sebuah bom plutonium meledak di atas kota ini, membunuh sekitar 70.000 orang hingga akhir tahun. Tiga hari sebelumnya, 6 Agustus, Hiroshima sudah lebih dulu dijadikan laboratorium hidup untuk menguji bom uranium yang menewaskan 140.000 jiwa. Dua kota dalam tiga hari—sebuah catatan sejarah yang entah mengapa masih bisa diucapkan dengan nada datar di buku pelajaran.
Hari itu, api turun dari langit, bukan sebagai mitos, tapi sebagai kebijakan resmi. Bom itu bukan kecelakaan industri atau kesalahan teknis; ia dijatuhkan dengan sadar, diputuskan oleh manusia yang duduk di meja rapat, lengkap dengan daftar target dan analisis “efektivitas.” Kota dengan rumah-rumah kayu, pasar, sekolah, dan gereja dipilih menjadi titik merah di peta militer. Hiroshima dan Nagasaki bukan sekadar titik koordinat; mereka adalah panggung pertunjukan, dan dunia menjadi penonton yang tak diundang.
Lalu datanglah narasi pembenaran yang sampai hari ini masih dihafal oleh banyak orang di Amerika: bom itu menyelamatkan nyawa karena menghindari invasi darat ke Jepang. Narasi ini terdengar heroik, sampai kita tahu bahwa Jepang saat itu sudah berada di ujung menyerah. Mereka hanya meminta satu hal: biarkan Kaisar tetap duduk di singgasana. Dan setelah bom dijatuhkan, tuntutan itu dipenuhi juga. Jadi apa yang membedakan kondisi sebelum dan sesudah? Hanya ratusan ribu mayat tambahan dan dua kota yang berubah jadi puing.
Kalau kita jujur, alasannya sederhana: ini demonstrasi kekuatan. Amerika ingin Uni Soviet tahu bahwa mereka punya senjata yang bisa menghapus kota dalam sekejap. Hiroshima dan Nagasaki adalah pesan diplomatik yang dikirim lewat darah dan abu. Bukan kebetulan bahwa bom yang digunakan berbeda jenis: uranium di Hiroshima, plutonium di Nagasaki. Dua eksperimen lapangan dengan manusia sebagai objek uji.
Dan yang paling mengganggu: tidak ada satu pun keputusan itu yang dibuat oleh bom. Bom tidak punya selera politik. Ia tidak membenci orang Jepang, tidak mengenal konsep “musuh.” Bom hanyalah logam, plutonium, dan rangkaian kabel. Yang memilih target adalah manusia, yang menandatangani perintah adalah manusia, dan yang bertepuk tangan setelah ledakan pun manusia.
Namun delapan puluh tahun kemudian, dunia masih lebih sering membicarakan “bahaya senjata nuklir” ketimbang “bahaya mereka yang pernah menggunakannya.” Seolah kita takut pada pisau, tapi tidak pada orang yang pernah menikam, bahkan sambil tersenyum untuk kamera. Amerika Serikat tetap bebas dari vonis moral atau hukum. Mereka hadir di upacara peringatan bukan sebagai pelaku, tapi sebagai tamu kehormatan, bahkan kadang pembicara utama.
Ironi ini bisa membuat kepala pening. Bayangkan seorang pembakar rumah diundang memberi sambutan di peringatan kebakaran, lalu menutup pidatonya dengan ajakan menjaga lingkungan. Bayangkan pencuri sepeda memimpin kampanye anti-pencurian. Bedanya, di sini “sepeda” itu setara dengan kota berpenduduk ratusan ribu jiwa.
Para penyintas Hiroshima dan Nagasaki kini rata-rata berusia di atas 86 tahun. Jumlah mereka tinggal seperempat dari populasi awal yang selamat. Mereka hidup membawa luka fisik, penyakit akibat radiasi, dan diskriminasi sosial. Meski begitu, mereka berbicara tentang perdamaian, tentang dunia tanpa nuklir, tentang harapan agar kota mereka menjadi yang terakhir mengalami tragedi semacam ini. Mereka mengajarkan generasi muda untuk melawan perang, untuk tidak melupakan sejarah. Sementara itu, pelaku sejarahnya menikmati reputasi sebagai “pemimpin dunia bebas” dan pemilik stok senjata nuklir terbesar kedua di bumi.
Ada yang bilang, “Itu kan masa lalu, jangan diungkit-ungkit.” Tapi masa lalu ini punya kebiasaan buruk: ia sering kembali. AS hingga hari ini masih memegang ribuan hulu ledak nuklir, masih punya doktrin first strike, dan masih memproyeksikan kekuatan militer ke seluruh penjuru dunia. Mereka pernah menekan tombol itu, dua kali, dan mereka tidak pernah meminta maaf. Kalau seseorang pernah menusuk Anda dua kali, tanpa penyesalan, lalu terus membawa pisau kemana-mana, wajar kalau Anda memilih untuk tetap waspada.
Peringatan tahunan di Hiroshima dan Nagasaki selalu indah di permukaan. Ada merpati dilepaskan, ada doa bersama, ada pidato penuh harapan dari politisi, dan ada air mata di wajah penyintas. Semua itu penting, tapi kalau kita lupa siapa pelaku sesungguhnya, maka peringatan ini hanya menjadi ritual tanpa gigi—seperti memberi kembang di mulut harimau sambil berharap ia jadi vegetarian.
Sejarah telah membuktikan bahwa senjata hanyalah alat. Bahaya yang sebenarnya terletak pada manusia yang memegangnya—terutama mereka yang punya rekam jejak memakainya tanpa ragu. Dalam kasus Hiroshima dan Nagasaki, pelakunya bukan entitas samar, bukan “kondisi perang” yang abstrak, tapi sebuah negara dengan nama jelas: Amerika Serikat. Sebuah negara yang, delapan dekade setelahnya, masih memegang senjata yang sama, dengan alasan “untuk menjaga perdamaian.”
Lucunya, dunia percaya pada retorika ini. Seolah satu-satunya cara menjaga perdamaian adalah dengan mengancam seluruh umat manusia. Seolah memegang palu besar membuat seseorang lebih bisa dipercaya untuk tidak memakainya. Padahal sejarah sudah membuktikan: palu itu pernah dipakai, dan bukan untuk membangun rumah.
Ketika kita memperingati Hiroshima dan Nagasaki, seharusnya yang kita ingat bukan hanya bentuk awan jamur atau angka korban, tapi fakta bahwa ada tangan manusia yang menekan tombol itu. Bahwa tangan itu milik negara yang sampai hari ini masih berkeliling dunia dengan senjata yang sama, sambil mengajar orang lain tentang moralitas.
Dan mungkin tahun depan, di peringatan ke-81, kita akan melihat pemandangan yang sama: pidato indah, doa bersama, pelepasan merpati. Mungkin Amerika akan kembali hadir, tersenyum ramah, bahkan menaruh bunga di monumen yang mereka ciptakan lewat ledakan. Dan kita akan kembali diam, karena begitulah dunia bekerja: yang memegang palu menentukan siapa yang disebut pembangun, dan siapa yang disebut perusak. Bedanya, di sini palunya bisa menghancurkan planet, dan yang memegangnya sudah pernah memakainya—dua kali. Kalau itu bukan alasan untuk waspada, saya tidak tahu apa lagi.
Pingback: Jepang Bikin Batas 2 Jam Smartphone, Realistis?