Opini
Bom, Demokrasi, dan Kemunafikan Amerika

Israel baru saja menerima kiriman bom MK-84 dari Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump dengan murah hati mencabut blokir ekspor. Ini adalah bom berbobot dua ribu pon yang mampu menembus beton dan logam, menciptakan ledakan yang cukup besar untuk menuliskan pesan cinta Washington kepada dunia: kebebasan, demokrasi, dan kemanusiaan yang berjatuhan dari langit.
Presiden Biden, yang sebelumnya menahan pengiriman ini dengan dalih kemanusiaan, kini hanya bisa tersenyum tipis melihat sahabat sejatinya kembali mendapatkan mainan barunya. Amerika mungkin sibuk berpidato tentang nilai-nilai hak asasi manusia, tetapi tentu ada pengecualian untuk sekutu kesayangan. Lagipula, siapa yang butuh nilai moral ketika bom bisa berbicara lebih keras?
Menteri Keamanan Israel, Israel Katz, menyambut pengiriman ini dengan penuh syukur, seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah ulang tahun. “Ini bukti aliansi kuat kami dengan AS,” katanya. Tentu saja! Tidak ada yang lebih menggambarkan persahabatan sejati selain bom raksasa yang siap dijatuhkan di permukiman padat penduduk Gaza.
Gencatan senjata? Perdamaian? Itu hanya istilah omong kosong yang enak diucapkan di podium PBB. Di dunia nyata, bom ini akan segera menemukan rumah baru mereka, mengisi daftar panjang kejahatan perang yang akan terus diabaikan. Persatuan Bangsa-Bangsa hanya akan mengeluarkan pernyataan keprihatinan, sementara Washington akan menyodorkan lebih banyak cek kosong ke Tel Aviv.
Kita harus berterima kasih kepada Amerika Serikat yang begitu peduli terhadap stabilitas kawasan dengan terus menyuplai senjata mematikan. Lebih dari dua puluh ribu bom telah dikirimkan sejak 7 Oktober 2023, ribuan di antaranya bom pintar yang sepertinya diciptakan untuk menyasar rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi dengan akurasi yang luar biasa.
Washington menyebut ini sebagai dukungan bagi keamanan Israel. Karena tentu saja, keamanan sebuah negara hanya bisa dijamin dengan membombardir warga sipil, menghancurkan infrastruktur, dan memastikan generasi Palestina tumbuh dalam trauma yang tak berkesudahan. Keamanan adalah istilah fleksibel yang dapat diartikan ulang sesuai kepentingan Gedung Putih.
Industri militer AS tentu bahagia dengan perkembangan ini. Lockheed Martin, Boeing, dan Raytheon akan mencatatkan keuntungan besar di laporan keuangan mereka. Karena di dunia ini, bisnis terbaik bukanlah menjual kebutuhan pokok, melainkan menjual kematian dalam kemasan logam dan mesiu, dikirim langsung ke zona perang dengan tanda tangan persetujuan Presiden AS.
Sementara itu, dunia Arab? Mereka hanya akan menggelar pertemuan darurat, mengutuk dengan suara parau, sebelum kembali berdamai dengan fakta bahwa mereka tak berdaya. Beberapa akan menandatangani lebih banyak kesepakatan dagang dengan Israel, beberapa akan berpose dengan pejabat AS sambil berbasa-basi tentang solusi dua negara yang mereka sendiri tahu tak akan pernah terwujud.
Dan rakyat Palestina? Mereka sudah terlalu sering melihat skenario ini berulang. Mereka tahu bahwa di antara reruntuhan rumah mereka, tidak ada yang akan datang menyelamatkan mereka. Amerika tetap akan berbicara tentang demokrasi, hak asasi, dan kebebasan, sembari menyuplai lebih banyak bom yang akan menghapus makna kata-kata itu dari kamus mereka.
Kita bisa terus berpura-pura terkejut dengan kebijakan ini, atau kita bisa menerima kenyataan bahwa dunia telah lama kehilangan nuraninya. Di Washington, perdamaian hanyalah konsep yang digunakan untuk menenangkan massa, sementara perang adalah bisnis yang terlalu menguntungkan untuk dihentikan. Maka, mari kita tunggu, bom berikutnya pasti sedang dalam perjalanan.