Connect with us

Opini

Bom AS Gagal di Yaman: Biaya Miliaran, Hasil Nol

Published

on

Di tepi Laut Merah, asap mengepul dari puing-puing yang ditinggalkan serangan udara Amerika. Ledakan demi ledakan menghantam target yang sama berulang kali, seolah-olah pasir Yaman bisa dipaksa menyerah oleh bom yang semakin besar. Biaya operasi ini melambung melebihi $1 miliar, namun Houthi tetap berdiri tegak, menembakkan rudal dan merekrut pasukan baru. Kegagalan intervensi AS di Yaman bukan sekadar cerita tentang strategi militer yang keliru, tetapi cerminan dari pendekatan yang mengabaikan realitas kompleks di lapangan. Helen Lechner, pakar Yaman, menyebut serangan ini “mahal dan tidak efektif,” sebuah pernyataan yang menggema di tengah kehancuran ekonomi dan krisis kemanusiaan yang kian parah.

Sejak serangan udara AS menggempur posisi Houthi, lebih dari $200 juta telah dihabiskan untuk amunisi saja, belum termasuk biaya kapal induk, pesawat tempur, dan drone canggih seperti MQ-9 Reaper, yang masing-masing bernilai $30 juta. Houthi mengklaim telah menjatuhkan empat drone ini, menambah kerugian material AS. Lechner menyoroti keanehan strategi ini: mengapa menyerang lokasi yang sama berulang kali? Apakah Pentagon menganggap Houthi akan terus menempatkan aset di tempat yang sudah rata? Data menunjukkan bahwa serangan ini tidak melemahkan kapasitas militer Houthi secara signifikan, malah memperkuat narasi mereka sebagai pejuang melawan “imperialisme Barat.” Popularitas Houthi melonjak, terutama karena aksi mereka mendukung Palestina di tengah krisis Gaza.

Yaman bukan medan perang sederhana. Houthi, yang menguasai 70% populasi meski hanya 30% wilayah, adalah kelompok terorganisir dengan pengalaman militer dua dekade. Mereka telah bertahan dari enam perang melawan rezim Ali Abdullah Saleh antara 2004 dan 2010, belajar dari setiap kekalahan, dan kini mengembangkan industri militer sendiri. Dukungan teknis dari Iran dan Hizbullah memang ada, tetapi Lechner menegaskan bahwa Houthi bukan proksi yang patuh. Mereka bertindak berdasarkan ideologi teokratis, mengklaim mandat ilahi, dan menggunakan serangan AS untuk memperkuat propaganda anti-AS. Sementara itu, koalisi internasional, termasuk Inggris, tampak kehilangan arah, menghantam target yang sama tanpa kemajuan nyata.

Biaya ekonomi dari serangan ini tidak hanya terasa di Washington. Krisis di Laut Merah, yang dipicu oleh serangan Houthi terhadap kapal-kapal terkait Israel, telah merugikan Mesir hingga $8 miliar akibat penurunan pendapatan Terusan Suez. Pelabuhan Eilat di Israel juga terdampak, tetapi Yaman sendiri yang menanggung beban terberat. Serangan AS menghancurkan infrastruktur sipil, termasuk pabrik dan fasilitas vital, memperburuk ekonomi yang sudah rapuh. Lechner mencatat bahwa Houthi memeras dana dari pajak dan bea cukai untuk membiayai perang, tetapi serangan udara justru mempersulit akses kemanusiaan, mendorong lebih banyak warga Yaman ke jurang kelaparan. Lebih dari 70% penduduk bergantung pada bantuan, namun pendanaan internasional menyusut di tengah prioritas global yang bergeser.

Mengapa strategi AS gagal? Salah satu alasannya adalah ketidakpahaman terhadap dinamika lokal. Houthi bukan sekadar milisi; mereka adalah pemerintahan de facto dengan sistem administrasi yang represif namun terorganisir. Berbeda dengan pemerintah yang diakui dunia (IRG), yang terpecah belah di bawah Presidential Leadership Council (PLC), Houthi memiliki komando terpusat. IRG, didukung oleh Arab Saudi dan UEA, adalah kumpulan faksi bersenjata yang sering bertikai, melemahkan kemampuan mereka untuk menantang Houthi. Lechner menyebut IRG sebagai “beban” bagi sekutunya, sebuah entitas yang gagal memerintah secara efektif. Serangan udara AS, alih-alih membantu IRG, justru memperkuat narasi Houthi sebagai korban agresi asing.

Kegagalan ini juga mencerminkan pola berulang dalam intervensi AS di Timur Tengah. Seperti di Irak dan Afghanistan, pendekatan militer yang mengandalkan kekuatan udara sering kali mengabaikan akar konflik. Houthi tidak hanya bertahan karena ketangguhan militer, tetapi juga karena kelemahan oposisi mereka. Lechner menunjukkan bahwa IRG hanya sekali bersatu secara militer, yaitu pada 2021 untuk mencegah Houthi menguasai Marib. Tanpa koordinasi yang kuat, serangan udara AS menjadi latihan sia-sia, menghabiskan sumber daya tanpa mengubah keseimbangan kekuatan. Sementara itu, Houthi terus merekrut, memanfaatkan kemarahan rakyat atas serangan asing dan solidaritas dengan Palestina.

Lebih jauh, intervensi AS memperumit dinamika regional. Arab Saudi, yang pernah memimpin koalisi anti-Houthi, kini tampak ingin keluar dari krisis Yaman. Lechner mengungkapkan bahwa Saudi hampir menandatangani kesepakatan dengan Houthi pada 2023, sebuah langkah yang terhenti akibat krisis Gaza. Saudi tidak mendukung serangan AS, kemungkinan karena menyadari popularitas isu Palestina di dunia Arab. Sementara itu, UEA, dengan agenda sendiri, mendukung faksi separatis selatan seperti Southern Transitional Council, memperdalam fragmentasi. AS, dengan pendekatan militernya, tampak mengabaikan rivalitas Saudi-UEA, yang justru memperumit upaya menyelesaikan konflik.

Apa pelajaran dari kegagalan ini? Pertama, kekuatan militer saja tidak bisa menyelesaikan konflik yang berakar pada masalah politik dan sosial. Houthi tidak akan runtuh hanya karena bom yang lebih besar; mereka telah belajar beradaptasi selama dua dekade. Kedua, intervensi asing harus memahami konteks lokal. Mengabaikan fragmentasi IRG dan organisasi Houthi hanya memperpanjang penderitaan. Ketiga, prioritas harus beralih ke diplomasi dan bantuan kemanusiaan. Lechner menyoroti krisis pendanaan internasional, yang memperburuk penderitaan rakyat Yaman. Negosiasi, seperti yang hampir tercapai pada 2023, mungkin lebih efektif daripada serangan udara.

Namun, diplomasi membutuhkan kemauan untuk menghadapi realitas yang tidak nyaman. Houthi, meskipun represif, adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Lechner menekankan bahwa mereka menguasai mayoritas populasi dan memiliki dukungan populer, terutama karena aksi pro-Palestina mereka. Mengisolasi mereka dengan sanksi atau serangan hanya akan memperkuat posisi mereka. Sebaliknya, AS dan sekutunya perlu mendukung proses politik yang inklusif, melibatkan semua faksi, termasuk Houthi, untuk mencapai stabilitas. Tanpa ini, Yaman akan tetap menjadi kuburan bagi ambisi militer asing.

Di tengah puing-puing Yaman, satu hal jelas: bom tidak akan membawa perdamaian. Biaya $1 miliar untuk serangan udara bisa dialihkan untuk membangun kembali sekolah, rumah sakit, atau sistem irigasi, memberikan harapan bagi rakyat Yaman yang telah lama menderita. Lechner mengakhiri wawancaranya dengan nada sedih, menyebut situasi Yaman “horrifically sad.” Kegagalan intervensi AS adalah pengingat bahwa kekuatan militer tanpa strategi politik hanya akan memperpanjang penderitaan. Yaman menanti solusi yang melihat kemanusiaannya, bukan sekadar target di peta.

Daftar Sumber:

1.       Youtube: From Gaza to the Red Sea: Helen Lackner on Yemen’s Civil War, Houthis, U.S. Strikes & Palestine Link – https://www.youtube.com/watch?v=FtR8ju2gzXM

2.       Laporan perkiraan biaya operasi militer AS di Yaman, berdasarkan data yang disebutkan dalam transkrip (biaya amunisi $200 juta, total operasi >$1 miliar, drone MQ-9 Reaper $30 juta per unit).

3.       Informasi dampak ekonomi krisis Laut Merah pada Mesir ($8 miliar kerugian Terusan Suez), sebagaimana disebutkan dalam transkrip.

4.       Analisis Lechner tentang dinamika politik Yaman, termasuk fragmentasi IRG, organisasi Houthi, dan rivalitas Saudi-UEA, dari YouTube

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *