Opini
Bom AS, Darah Gaza: Komplicitas dalam Tragedi Kemanusiaan

Di Stadion Yarmouk, Gaza, tenda-tenda pengungsi yang rapuh menjadi saksi bisu serangan udara Israel. Dua warga sipil tewas, tujuh lainnya luka-luka, seperti dilaporkan Palestinian Civil Defense (Al Mayadeen). Di tengah keputusasaan, ribuan keluarga yang kehilangan rumah berlindung di sana, hanya untuk menghadapi maut dari langit. Sementara itu, AS menyetujui pengiriman 3.000 bom untuk Angkatan Udara Israel (The Cradle), memicu pertanyaan: mengapa Amerika terus memicu api tragedi kemanusiaan ini?
Pengiriman senjata ini bukan sekadar bantuan militer, melainkan nyala api yang memperpanjang penderitaan Gaza. Laporan dari The Cradle menyebutkan bahwa AS, di bawah Presiden Donald Trump, membuka kembali pengiriman bom MK84 yang sebelumnya ditahan, dengan rencana mengirim 10.000 bom lagi dalam beberapa bulan. Bom-bom ini, dikenal karena daya ledaknya yang masif, sering dikaitkan dengan korban sipil massal. Sejak Oktober 2023, 51.000 warga Palestina tewas dan 116.343 luka (Al Mayadeen), sebagian besar akibat serangan udara.
Data ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan krisis kemanusiaan yang mengerikan. Gaza’s Ministry of Health melaporkan bahwa sejak perang dilanjutkan pada 18 Maret, 1.630 warga tewas dan 4.302 luka dalam sebulan. Serangan seperti di Al-Mawasi, Khan Younis, menewaskan dua orang di tenda pengungsian (Al Mayadeen). Hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa Keempat, melarang serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur non-militer. Namun, bom-bom AS terus menghancurkan rumah, sekolah, dan harapan.
AS, yang sering mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia, menunjukkan kontradiksi mencolok melalui kebijakan ini. Dengan menyetujui pengiriman senjata, Washington tidak hanya mendukung operasi militer Israel, tetapi juga berpotensi melanggar hukum internasional. Statuta Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyatakan bahwa negara yang memasok senjata dapat dianggap bertanggung jawab jika senjata tersebut digunakan untuk kejahatan perang. Laporan The Cradle menyebutkan bahwa Israel berencana memperluas serangan di Gaza dan bahkan menyerang Iran, meningkatkan risiko eskalasi regional.
Pengepungan Rafah memperburuk situasi. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengumumkan perluasan “vigorously” operasi militer, dengan Koridor Morag memisahkan Rafah dari Khan Younis (The Cradle). Rafah, yang kini dikuasai Divisi ke-36 Israel, telah hancur total. Lebih dari 1.9 juta warga Palestina terlantar, banyak yang terjebak tanpa akses ke makanan, air, atau obat-obatan (Al Mayadeen). Blokade bantuan kemanusiaan, yang berlangsung sebulan, melanggar Pasal 55 Konvensi Jenewa yang mewajibkan akses bantuan.
Philippe Lazzarini, kepala UNRWA, menyebut situasi Gaza “neraka” tanpa tempat aman (Al Mayadeen). Kelaparan menyebar, penyakit merajalela, dan kondisi hidup “kotor luar biasa.” Laporan UNRWA mencatat bahwa 12.000 pekerja bantuan di Gaza tidak dapat mendistribusikan bantuan karena penutupan perbatasan. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi strategi yang oleh beberapa ahli disebut “penggunaan kelaparan sebagai senjata,” tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang berdasarkan hukum internasional.
Pendukung kebijakan AS mungkin berargumen bahwa dukungan militer untuk Israel diperlukan demi keamanan regional, terutama menghadapi ancaman dari Iran dan kelompok seperti Hamas. Namun, argumen ini runtuh ketika kita melihat dampaknya: 50% wilayah Gaza kini dikuasai Israel, dengan rencana menjadikan Rafah bagian dari zona penyangga (The Cradle). Penghancuran sistematis infrastruktur sipil dan pemindahan paksa penduduk melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa, menimbulkan tuduhan pembersihan etnis dari pejabat seperti Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi.
Keterlibatan AS dalam eskalasi ini juga memperkeruh dinamika regional. Ancaman Trump terhadap Iran, di tengah negosiasi nuklir, menunjukkan bahwa pengiriman senjata ini bukan hanya tentang Gaza, tetapi juga bagian dari strategi “tekanan maksimum” terhadap Teheran (The Cradle). Namun, mendukung serangan Israel yang dapat memicu perang dengan Iran berisiko menyeret dunia ke konflik global. Alih-alih stabilitas, kebijakan ini menciptakan lingkaran kekerasan yang tak berkesudahan.
Kontradiksi AS semakin jelas ketika kita mempertimbangkan retorisnya. Washington kerap menyerukan perlindungan warga sipil, namun tindakannya berbicara lain. Laporan Human Rights Watch (2023) mencatat bahwa bom MK84, yang dipasok AS, digunakan dalam serangan tidak proporsional di Gaza, menewaskan ratusan warga sipil dalam hitungan detik. Dengan menyetujui pengiriman baru, AS tidak hanya mengabaikan laporan ini, tetapi juga melemahkan kredibilitasnya sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah.
Apa yang bisa dilakukan? Komunitas internasional harus menekan AS untuk menghentikan pengiriman senjata dan mendukung gencatan senjata segera. Investigasi independen oleh ICC terhadap pelanggaran hukum kemanusiaan, termasuk penggunaan bom AS, harus segera dimulai. Negara-negara sekutu AS, seperti anggota Uni Eropa, dapat menggunakan pengaruh diplomatik mereka untuk mendorong evaluasi kebijakan ini. Publik global juga memiliki peran: kampanye kesadaran dan tekanan kepada pemerintah dapat mengubah narasi.
Kisah Gaza adalah kisah tentang ketidakadilan yang didukung oleh keputusan politik. Setiap bom yang dikirim AS adalah keputusan untuk memperpanjang penderitaan. Dari tenda-tenda di Stadion Yarmouk hingga puing-puing Rafah, warga Palestina membayar harga dari kebijakan yang mengutamakan geopolitik di atas kemanusiaan. Dunia tidak bisa terus diam. Kita harus menuntut akuntabilitas, bukan hanya dari Israel, tetapi juga dari AS, yang dengan senjatanya telah menjadi bagian dari tragedi ini.
Gencatan senjata bukan sekadar harapan, melainkan keharusan. Akses bantuan kemanusiaan harus dibuka, dan solusi politik jangka panjang—berdasarkan resolusi PBB untuk hak Palestina—harus dikejar. Tanpa langkah ini, Gaza akan terus menjadi kuburan impian, dan AS akan tetap tercatat sebagai aktor yang memilih kekerasan alih-alih keadilan. Mari kita ubah arah sejarah ini, sebelum lebih banyak nyawa hilang di bawah bayang-bayang bom.
Sumber:
- The Cradle. (2025). “Washington Prepares New Shipment of Bombs for Israel Ahead of Vigorous Expansion of Gaza Assault.” Diakses dari https://thecradle.co/articles/washington-prepares-new-shipment-of-bombs-for-israel-ahead-of-vigorous-expansion-of-gaza-assault.
- Al Mayadeen. (2025). “Israeli Forces Bomb Gaza Displacement Tents, Several Martyred.” Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-forces-bomb-gaza-displacement-tents–several-martyre.
- Konvensi Jenewa Keempat (1949). Pasal 49 dan Pasal 55 tentang perlindungan warga sipil dan akses bantuan kemanusiaan di wilayah pendudukan.
- Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC). (1998). Pasal terkait tanggung jawab negara dalam penyediaan senjata untuk kejahatan perang.
- Human Rights Watch. (2023). Laporan tentang penggunaan bom MK84 dalam serangan tidak proporsional di Gaza.
- UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees). Pernyataan Philippe Lazzarini mengenai situasi kemanusiaan di Gaza, dikutip dari Al Mayadeen (2025).