Opini
Boikot Turki: Antara Perlawanan Politik dan Krisis Ekonom

Turki berada dalam pusaran ketegangan politik yang kian memuncak. Pernyataan keras dari Menteri Dalam Negeri Ali Yerlikaya tentang boikot bisnis pro-pemerintah sebagai “percobaan kudeta” terhadap ekonomi menandai eskalasi konflik antara pemerintah dan oposisi. Boikot yang dipimpin oleh CHP bertujuan untuk memprotes penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, sebuah langkah yang mereka anggap sebagai upaya membungkam oposisi. Sementara pemerintah menganggap boikot sebagai ancaman terhadap stabilitas ekonomi, oposisi melihatnya sebagai bentuk perlawanan damai terhadap otoritarianisme. Benturan ini bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga perebutan makna tentang bagaimana Turki seharusnya dikelola.
Pemerintah, yang dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan, bersikeras bahwa stabilitas ekonomi adalah prioritas utama. Yerlikaya, dalam pernyataannya, menuduh oposisi melakukan “sabotase terhadap kemandirian ekonomi,” sebuah retorika yang memperlihatkan sensitivitas rezim terhadap ancaman terhadap dominasi politik mereka. Kondisi ekonomi yang rapuh menjadi alasan utama kekhawatiran ini. Nilai lira telah merosot ke titik terendah di angka 38 terhadap dolar AS, sementara inflasi melonjak hingga 75,2% pada Maret, menurut laporan dari Inflation Research Group (ENAG). Pemerintah khawatir bahwa aksi boikot ini dapat memperburuk krisis ekonomi, menciptakan ketidakstabilan yang lebih luas, dan menggerus kepercayaan investor asing.
Narasi pemerintah tidak hanya terbatas pada retorika, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan keras terhadap pendukung boikot. Polisi menahan 11 orang, termasuk seorang aktor dari “Rise of Empires: Ottoman,” atas tuduhan menghasut kebencian karena mempromosikan boikot di media sosial. Media pemerintah Anadolu Agency melaporkan bahwa tindakan ini dilakukan untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Erdogan memperingatkan bahwa siapa pun yang terlibat dalam sabotase ekonomi akan menghadapi konsekuensi hukum yang serius. Menteri Perdagangan Ömer Bolat bahkan menawarkan kompensasi bagi bisnis yang mengalami kerugian akibat boikot, langkah yang bertujuan untuk meredam dampaknya.
Namun, respons keras pemerintah ini memperlihatkan kontradiksi mendasar. Alih-alih mencoba meredakan ketidakpuasan, mereka justru memperdalam kesan bahwa Turki sedang bergerak ke arah yang lebih otoriter. Penangkapan Imamoglu dan tokoh oposisi lainnya dalam beberapa bulan terakhir menambah daftar panjang tindakan represif terhadap kelompok yang menentang pemerintah. Oposisi melihat penahanan ini sebagai bukti bahwa Erdogan dan partainya, AKP, tidak lagi sekadar mempertahankan kekuasaan, tetapi secara aktif menyingkirkan lawan politik mereka menjelang pemilu 2028.
Di sisi lain, CHP dan Imamoglu menegaskan bahwa boikot adalah bagian dari strategi perlawanan damai. Ketua CHP, Özgür Özel, memulai kampanye ini di depan Balai Kota Istanbul dengan menargetkan sejumlah merek yang dianggap berafiliasi dengan pemerintah. Tujuannya bukan untuk menghancurkan bisnis, tetapi untuk menunjukkan bahwa rakyat tidak akan diam terhadap tindakan pemerintah yang mereka anggap tidak demokratis. Imamoglu, melalui akun X yang dikelola oleh tim hukumnya, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk pembebasan ekonomi dari cengkeraman rezim.
Pendekatan oposisi dalam memanfaatkan boikot sebagai alat politik bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah mencatat bahwa aksi serupa pernah menjadi katalisator perubahan besar, seperti boikot bus Montgomery 1955 di Amerika Serikat yang mengakhiri segregasi rasial di transportasi publik. Oposisi berharap bahwa tekanan ekonomi ini bisa memaksa pemerintah mengubah kebijakan atau bahkan membebaskan Imamoglu. Namun, efektivitas strategi ini masih menjadi tanda tanya. Jika pemerintah tetap bersikeras, boikot dapat berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan, termasuk meningkatnya tekanan terhadap aktivis dan pendukung oposisi.
Boikot juga memiliki dampak yang lebih luas pada kondisi sosial dan ekonomi Turki. ENAG memperingatkan bahwa depresiasi lira pasca-penangkapan Imamoglu dapat semakin membebani ekonomi negara. Jika bisnis pro-pemerintah mengalami penurunan tajam, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pemilik bisnis tetapi juga oleh pekerja biasa yang bergantung pada penghasilan mereka. Ini menjadi titik lemah dalam argumen oposisi—bahwa meskipun boikot mungkin efektif sebagai alat politik, dampak jangka pendeknya bisa memperburuk kehidupan rakyat jelata yang mereka klaim perjuangkan.
Benturan antara pemerintah dan oposisi pada dasarnya adalah persaingan dua visi tentang negara yang ideal. Pemerintah berpegang pada gagasan bahwa stabilitas ekonomi dan ketertiban harus dijaga dengan segala cara, bahkan jika itu berarti membatasi kebebasan individu. Data ekonomi memang mendukung kekhawatiran ini—krisis keuangan Turki bukanlah ancaman yang bisa dianggap enteng. Namun, strategi pemerintah yang mengandalkan represi justru memperlemah klaim mereka sebagai pelindung negara. Dengan membungkam dissent, mereka semakin menciptakan kesan bahwa Turki sedang bergerak menjauh dari nilai-nilai demokrasi.
Di sisi lain, oposisi memandang demokrasi sebagai prinsip utama yang harus ditegakkan, bahkan jika itu berarti mengorbankan stabilitas dalam jangka pendek. Mereka yakin bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang tidak boleh dikompromikan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 25 dan 26 Konstitusi Turki. Tetapi mereka juga menghadapi dilema: bagaimana meyakinkan rakyat bahwa perjuangan mereka berharga jika konsekuensi langsung dari tindakan mereka adalah meningkatnya penderitaan ekonomi?
Di tengah persaingan politik ini, rakyat Turki berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka menginginkan kebebasan yang lebih besar, terutama di kota-kota besar seperti Istanbul dan Ankara, tempat di mana dukungan terhadap oposisi cukup kuat. Namun, bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan atau yang lebih bergantung pada stabilitas ekonomi, narasi pemerintah tentang perlunya ketertiban bisa lebih meyakinkan. Dukungan terhadap Erdogan masih kuat di kalangan pemilih konservatif, dan jika oposisi gagal menunjukkan hasil nyata dari aksi boikot mereka, mereka bisa kehilangan momentum yang telah mereka bangun.
Idealnya, Turki tidak perlu memilih antara kebebasan dan stabilitas. Namun, realitas politik saat ini menunjukkan bahwa kompromi semacam itu sulit terwujud. Oposisi saat ini lebih dekat dengan prinsip demokrasi yang ideal, tetapi mereka harus membuktikan bahwa aksi mereka dapat menghasilkan perubahan nyata tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat. Jika tidak, pemerintah akan terus menggunakan argumen ekonomi sebagai senjata untuk membenarkan tindakan represif mereka.
Pertarungan ini bukan hanya soal ekonomi atau kebebasan, tetapi juga tentang siapa yang bisa meyakinkan rakyat Turki bahwa visi mereka adalah yang terbaik untuk masa depan negara. Pemerintah mengandalkan ketakutan akan ketidakstabilan, sementara oposisi bertaruh pada harapan akan perubahan. Keduanya memiliki dasar yang sah: ekonomi memang dalam kondisi genting, tetapi ketidakpuasan terhadap rezim juga semakin nyata. Dalam konteks ini, hasil dari konfrontasi ini akan sangat bergantung pada bagaimana masing-masing pihak bisa mengartikulasikan visi mereka dan, lebih penting lagi, apakah mereka bisa mewujudkannya dalam kenyataan.