Opini
Boikot Massal: Senjata Baru Rakyat Melawan Rezim Erdogan

Di sudut-sudut kota Istanbul, ada sesuatu yang berbeda. Jalanan yang biasanya penuh dengan turis dan lalu lintas kini dipenuhi oleh suara lantang yang menggema di antara bangunan-bangunan tua. Namun, tidak seperti demonstrasi sebelumnya, kali ini tidak hanya ada suara pekikan di udara, tetapi juga keheningan yang lebih menusuk—heningnya mesin kasir di kedai kopi tertentu, kosongnya kursi di restoran yang dulu ramai, sepinya pusat perbelanjaan yang biasanya penuh sesak. Ini bukan sekadar protes biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih licik, dan mungkin lebih berbahaya bagi Erdogan: ini adalah perlawanan ekonomi.
Semua bermula dengan sesuatu yang sudah terlalu sering terjadi di Turki—seorang tokoh oposisi ditangkap dengan tuduhan korupsi yang tampak lebih seperti sandiwara politik daripada tindakan hukum. Kali ini, giliran Ekrem Imamoglu, Wali Kota Istanbul yang namanya semakin santer sebagai ancaman politik terbesar bagi Recep Tayyip Erdogan. Imamoglu ditangkap dengan tuduhan keuangan yang meragukan, didasarkan pada laporan dari Financial Crimes Investigation Board (MASAK), lembaga yang entah sejak kapan berubah dari badan pemantau keuangan menjadi senjata politik.
Penangkapan Imamoglu meledakkan gelombang protes yang segera menyebar ke lebih dari 55 provinsi. Ribuan orang turun ke jalan menuntut pembebasannya, sementara polisi merespons dengan cara yang sudah terlalu akrab: gas air mata, meriam air, dan penangkapan massal. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Para demonstran tahu bahwa melawan dengan cara yang sama hanya akan berakhir dengan lebih banyak kekerasan. Maka, mereka menemukan strategi baru. Jika Erdogan menekan mereka dengan hukum dan pentungan, maka mereka akan membalas dengan sesuatu yang lebih halus tapi lebih menyakitkan: boikot.
Boikot adalah senjata yang jarang digunakan dalam politik Turki, tetapi kali ini, oposisi melihat peluang emas. Jika demonstrasi di jalanan bisa dibungkam dengan polisi, maka uang adalah bahasa yang lebih sulit untuk ditekan. Mereka mulai menyebarkan daftar bisnis yang berafiliasi dengan pemerintah—kedai kopi, toko buku, jaringan media, restoran, dan bahkan perusahaan turisme. Setiap perusahaan yang terlibat dalam menopang rezim Erdogan menjadi sasaran. Bukan dengan kekerasan, bukan dengan penghancuran, tetapi dengan sesuatu yang lebih sederhana: ketidakhadiran.
Efeknya langsung terasa. Kedai-kedai kopi yang biasanya penuh dengan pelanggan mulai kehilangan pemasukan. Stasiun TV pro-pemerintah yang biasanya tidak peduli dengan berita demonstrasi tiba-tiba mulai meliputnya, takut kehilangan pemirsa. Bahkan perusahaan-perusahaan yang merasa aman di bawah perlindungan Erdogan mulai mempertanyakan apakah mereka akan terus bertahan jika pelanggan mereka menghilang. Dalam sekejap, gerakan ini berkembang lebih cepat daripada yang bisa dibayangkan oleh rezim.
Erdogan, tentu saja, tidak tinggal diam. Jika ada satu hal yang tidak bisa dia toleransi, itu adalah kehilangan kendali. Maka, pemerintah mulai menyerang balik. Mereka menyebut boikot ini sebagai ancaman terhadap perekonomian nasional, seolah-olah masalah ekonomi Turki selama ini bukan karena kebijakan-kebijakan aneh yang menghancurkan nilai lira. Mereka mencoba memframing oposisi sebagai pengkhianat yang ingin merusak negara. Namun, narasi itu sulit diterima ketika rakyat melihat kenyataan bahwa yang menghancurkan ekonomi bukan boikot, melainkan kebijakan pemerintah sendiri.
Dalam upaya untuk membendung perlawanan ini, pemerintah semakin brutal. Tidak cukup hanya menangkap demonstran, mereka juga mulai memburu jurnalis yang berani meliputnya. Lebih dari 10 wartawan ditangkap, termasuk fotografer AFP dan reporter lokal yang hanya mencoba melakukan pekerjaan mereka. Jika rezim tidak bisa mengontrol opini publik, maka lebih baik membungkam mereka yang menyebarkannya. Tapi ini bukan 2016, ketika Erdogan bisa dengan mudah menyingkirkan lawan-lawannya dengan dalih kudeta. Ini 2025, dan rakyat Turki semakin cerdas dalam membaca permainan ini.
Boikot terus meluas, tidak hanya di Istanbul tetapi di seluruh negeri. Bahkan di luar negeri, diaspora Turki mulai menyerukan agar turis tidak mengunjungi bisnis yang mendukung Erdogan. Media sosial menjadi alat utama dalam menyebarkan daftar boikot, dan setiap hari semakin banyak perusahaan yang merasa panas dengan tekanan ini. Beberapa mulai mencoba bersikap netral, sementara yang lain memilih untuk merapatkan barisan ke pemerintah, berharap perlindungan dari dampak ekonomi yang semakin besar.
Dan inilah titik di mana Erdogan mungkin menghadapi bahaya yang lebih besar daripada sekadar protes jalanan. Demonstrasi bisa dihancurkan dengan kekerasan, pemimpin oposisi bisa dipenjara, tetapi perekonomian adalah hal yang lebih sulit untuk dikendalikan dengan tangan besi. Jika perusahaan-perusahaan besar mulai merasakan dampak dari boikot ini, mereka bisa mulai mempertimbangkan apakah loyalitas mereka kepada Erdogan masih menguntungkan atau justru menjadi ancaman bagi bisnis mereka. Ketika uang mulai berbicara, bahkan rezim yang paling otoriter pun bisa goyah.
Turki sekarang berada di titik yang sangat menarik dalam sejarahnya. Jika boikot ini terus berkembang, bukan tidak mungkin ini menjadi senjata paling efektif dalam menantang kekuasaan Erdogan. Ini bukan hanya sekadar demonstrasi yang bisa dibubarkan atau pidato yang bisa dilarang. Ini adalah perlawanan yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan masyarakat, membuat setiap keputusan konsumsi menjadi sebuah tindakan politik.
Erdogan mungkin bisa mengontrol banyak hal—media, polisi, pengadilan—tetapi dia tidak bisa mengontrol ke mana rakyat memilih membelanjakan uang mereka. Dia tidak bisa menangkap setiap orang yang memutuskan untuk membeli kopi dari kedai independen daripada dari jaringan yang mendukungnya. Dia tidak bisa membubarkan setiap keluarga yang memutuskan untuk tidak menonton stasiun TV pro-pemerintah. Dia tidak bisa menyetop setiap turis yang memutuskan untuk tidak berbelanja di toko-toko yang berafiliasi dengan rezimnya.
Jika ada satu hal yang diajarkan sejarah, itu adalah bahwa kekuasaan tidak selamanya abadi. Dan mungkin, tanpa disadari, Erdogan sedang mempercepat kejatuhannya sendiri—bukan oleh revolusi bersenjata, tetapi oleh sesuatu yang lebih sederhana dan lebih efektif: keputusan sehari-hari rakyatnya untuk berkata ‘tidak’ dengan dompet mereka.