Connect with us

Opini

Boikot, Ayat, dan Kekuasaan: Netanyahu dalam Cengkeraman Haredi

Published

on

Di sebuah ruangan megah bernama Knesset—tempat keputusan politik ditulis dengan pena emas tapi sering kali dengan niat perak—dua partai ultra-Ortodoks dua partai ultra-Ortodoks dari kubu Haredi, Shas dan United Torah Judaism (UTJ), memutuskan untuk memboikot sidang pleno. Alasannya bukan karena perang yang tak kunjung padam, bukan karena krisis perumahan, bahkan bukan karena meningkatnya kemiskinan di kalangan warga “Israel”. Mereka memboikot karena satu hal yang dianggap lebih suci daripada kesetaraan sipil: draf undang-undang pengecualian wajib militer untuk pelajar yeshiva belum diserahkan secara utuh. Tampaknya, membela Tuhan dari balik meja belajar lebih genting daripada membela negara di parit-parit perbatasan.

Ini bukan sekadar aksi protes. Ini adalah deklarasi terbuka: bahwa sebagian warga negara ingin tetap menikmati fasilitas negara, tanpa harus memenuhi kewajibannya. Dan mereka tidak main-main. Jika sebelumnya mereka hanya mogok parsial dengan menolak voting RUU tertentu, kini mereka benar-benar menutup pintu dan melempar kunci ke arah kepala koalisi. Barangkali sambil mengutip ayat, tentu saja.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan, Yuli Edelstein, disebut-sebut sebagai biang kerok karena belum menyerahkan draf RUU yang dijanjikan. Padahal, katanya, ia sudah menunjukkan “versi lunaknya” pada utusan Haredi. Tapi versi lunak itu, menurut mereka, hanyalah “omong kosong.” Tak cukup kitab, tak cukup klausul, dan jelas tak cukup kepastian bahwa anak-anak mereka bisa tetap duduk tenang di ruang belajar sembari anak-anak orang lain berjibaku dengan peluru.

Ini bukan pertama kalinya elite Haredi menunjukkan bahwa mereka lebih ahli dalam politik tawar-menawar ketimbang politik solidaritas. Mereka menolak untuk ikut serta dalam proyek nasional yang mempersatukan rakyat: wajib militer. Mereka lebih memilih proyek spiritual—yang dalam praktiknya lebih sering menjadi proyek kekuasaan. Tidak semua yang suci itu polos. Kadang-kadang, ayat juga dipakai sebagai tameng untuk menolak risiko.

Yair Lapid, pemimpin oposisi yang terkenal dengan kritik kerasnya, memanfaatkan momen ini untuk menampar moralitas elit Haredi di muka umum. Ia menyebut mereka pengecut: sanggup mengirim anak-anak orang lain ke medan tempur, asalkan anak mereka tetap aman di balik lembaran Talmud. Menurut Lapid, mereka hidup dalam kontrak sosial sepihak: menuntut hak, menghindari kewajiban. Kritik yang, meskipun politis, sangat sulit dibantah secara etis.

Aryeh Deri dari Shas tentu tidak tinggal diam. Ia membalas dengan statistik yang entah dari mana: bahwa proporsi tentara dari komunitasnya lebih tinggi daripada dari kalangan Lapid. Perdebatan ini, seperti biasa, berubah menjadi adu angka, bukan adu nalar. Mereka saling lempar data, seakan luka, trauma, dan nyawa bisa diukur dalam grafik Excel. Namun yang lebih penting dari siapa yang benar, adalah siapa yang bisa membuat publik percaya bahwa mereka sedang membela “kebenaran”.

Netanyahu, sang maestro kekuasaan yang sudah terlalu sering memainkan simfoni koalisi, kini tampaknya mulai kehilangan ritme. Dulu ia bisa menari lincah di antara blok-blok ideologis, merangkul Haredi dengan satu tangan dan nasionalis garis keras dengan tangan lainnya. Tapi kini, kedua tangan itu saling menarik ke arah yang bertolak belakang. Jika ia terlalu menuruti tuntutan Haredi, ia akan kehilangan legitimasi di mata warga sekuler dan militer. Jika ia menolak atau menunda, ia bisa ditinggal oleh Haredi—dan koalisinya akan runtuh seperti menara kartu yang disusun di tengah gempa.

Kelompok Haredi, yang selama ini memainkan peran sebagai penjaga identitas religius dalam koalisi, kini berubah menjadi kekuatan pengendali arah kebijakan. Mereka bukan lagi sekadar minoritas religius—mereka adalah aktor utama dalam penentuan hidup-mati pemerintahan.

Inilah dilema Netanyahu: ia bisa dikalahkan bukan oleh musuh-musuhnya di luar negeri, bukan oleh pengadilan, bukan pula oleh opini internasional. Ia bisa tumbang oleh mereka yang selama ini ia rawat dan beri tempat duduk di meja kekuasaan. Sekutu yang berubah menjadi sandera. Koalisi yang beralih menjadi persekongkolan tuntutan.

Yang menyakitkan—dan sekaligus menggelikan—adalah bahwa di tengah semua ini, tak satu pun dari mereka yang memikirkan korban perang. Tak satu pun yang bertanya tentang masa depan para remaja yang dilatih menjadi mesin tempur. Tak satu pun yang merenungkan nasib para janda tentara, para veteran yang hidup dengan luka batin, atau keluarga yang kehilangan harapan. Yang diperjuangkan hanyalah: siapa yang boleh tidak ikut perang.

Di negeri yang mengklaim sebagai demokrasi tunggal di Timur Tengah, justru sedang terjadi praktik eksklusivisme agama yang luar biasa telanjang. Yeshiva menjadi benteng eksklusif, tempat anak-anak elit Haredi berlindung dari panggilan negara. Ketika warga lain belajar membidik senapan, mereka belajar menafsir ayat. Dan ketika warga lain mengantar anak ke wajib militer, mereka mengantar anak ke ruang pengajian, sambil mengklaim bahwa keduanya sama-sama bentuk pengabdian. Entah pengabdian kepada siapa.

Lalu, apa arti nasionalisme jika hanya sebagian warga negara yang diminta berkorban? Apa artinya negara jika hukum bisa dinegosiasikan oleh kekuatan politik berbasis tafsir agama? Di sinilah absurditas itu menjadi nyata: kewajiban sipil berubah jadi tawar-menawar kekuasaan, dan ayat suci dijadikan tiket masuk ke ruang aman dari risiko.

Jika kita melihat ini dari sudut pandang yang lebih luas, Haredi bukan hanya kelompok minoritas keagamaan. Mereka adalah pemain politik strategis yang tahu cara menggunakan kelembagaan demokrasi untuk mengejar privilese. Mereka tahu bahwa dengan beberapa kursi di Knesset, mereka bisa mengunci proses legislasi, bahkan mengancam eksistensi pemerintahan. Mereka tahu cara menjual “doa” sebagai komoditas politik. Dan Netanyahu tahu, sangat tahu, bahwa tanpa mereka, kekuasaannya runtuh. Maka ia pun terus menari, meski lagu yang diputar makin sumbang.

Dari kejauhan, kita mungkin tergoda untuk menertawakan semua ini. Tapi tertawa pun terasa getir. Karena pada akhirnya, inilah potret klasik dari rezim yang terlalu lama bergantung pada kompromi transaksional. Ketika ayat, boikot, dan kekuasaan saling menempel dalam satu simpul, yang hancur bukan hanya logika hukum, tapi juga semangat kebangsaan. Dan Netanyahu, dengan semua kepiawaian politiknya, bisa saja menjadi korban dari jebakan yang ia bangun sendiri.

Mungkin masih akan ada draf baru. Mungkin Edelstein akan menyerah. Mungkin Haredi akan kembali duduk di ruang parlemen, dan semua ini dianggap “bagian dari proses demokrasi”. Tapi luka itu tetap tinggal. Luka karena negara yang tak berani menuntut kesetaraan pengorbanan dari semua warganya. Luka karena kekuasaan yang terlalu takut menegakkan prinsip, demi mempertahankan kursi.

Dan jika akhirnya Netanyahu tumbang bukan karena tekanan global, bukan karena perang, melainkan karena ia tak mampu menulis sebuah draf yang cukup “suci” untuk menyenangkan sekutunya, maka sejarah barangkali akan mencatatnya dengan satu kalimat singkat: kekuasaan yang runtuh oleh ayat, bukan oleh peluru.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Dua Front Kehancuran Israel: Dari Gaza hingga Yerusalem - vichara.id

  2. Pingback: Israel Terancam Runtuh: Krisis Haredi dan Politik Netanyahu

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer