Connect with us

Opini

Bisik Rahasia UEA: Israel-Suriah, Menuju Normalisasi?

Published

on

Di bawah langit Timur Tengah yang selalu berdebu dan penuh rahasia, Uni Emirat Arab, negeri pencakar langit yang gemerlap, telah menjahit saluran rahasia antara Israel dan Suriah, dua musuh bebuyutan yang tak pernah duduk semeja. Reuters, dengan nada pelan namun penuh beban, melaporkan bahwa pembicaraan ini—lahir dari kunjungan Ahmad al-Sharaa ke UEA pada April 2025—berfokus pada keamanan, intelijen, dan “pembangunan kepercayaan.” Kepercayaan, sungguh kata yang absurd di tengah dentuman bom Israel di Damaskus, hanya 500 meter dari Istana Presiden. Realitas ini seperti opera tragis: para aktor berbisik tentang perdamaian sambil tangan mereka masih berlumur debu perang. Kita, yang menyaksikan dari jauh, hanya bisa menggeleng, tersenyum miris, dan bertanya: normalisasi, atau sekadar sandiwara geopolitik?

Bayangkan pemandangannya: di Abu Dhabi, di ruangan ber-AC yang wangi oud, al-Sharaa, mantan pemberontak dengan masa lalu kelam di cabang al-Qaeda, duduk berhadapan dengan Sheikh Mohammed bin Zayed. Pertemuan mereka, kata Reuters, berlangsung berjam-jam, membuat al-Sharaa telat untuk agenda berikutnya. Apa yang mereka bicarakan? Mungkin soal minyak, mungkin soal perdamaian, atau—seperti yang kita duga—cara menjinakkan Israel tanpa kehilangan muka. Beberapa hari kemudian, saluran rahasia itu lahir, melibatkan pejabat keamanan UEA, intelijen Suriah, dan mantan spion Israel. Bukan pejabat aktif, tentu saja—terlalu riskan untuk politik domestik. Ini adalah tarian diplomatik yang hati-hati, seperti berjalan di atas seutas tali di atas jurang. Dan kita, penonton, hanya bisa bertanya-tanya: apakah ini langkah menuju Abraham Accords, atau cuma permainan untuk menunda ledakan berikutnya?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Al-Sharaa, adalah aktor ulung. Dari ekstremis ke pemberontak, dari revolusioner ke “moderat” yang kini menggenggam kekuasaan di Damaskus, dia tahu kapan harus mengganti topeng. Reuters mencatat gestur-gesturnya: bertemu komunitas Yahudi, menahan dua pentolan Jihad Islam Palestina, dan mengirim surat manis ke AS, berjanji bahwa Suriah tak akan jadi ancaman, termasuk bagi Israel. Ini bukan sekadar pragmatisme; ini adalah seni bertahan hidup di panggung geopolitik yang kejam. Tapi, di balik senyum diplomatiknya, Suriah masih berdarah. Kekerasan sektarian—pembantaian ratusan Alawit pada Maret 2025, bentrokan Sunni-Druze yang dipicu rekaman penghinaan Nabi—menggerogoti legitimasi al-Sharaa. Dia ingin menyatukan angkatan bersenjata, katanya, tapi bagaimana menyatukan negeri yang retak setelah 14 tahun perang saudara? Normalisasi dengan Israel, dalam konteks ini, terasa seperti mimpi di siang bolong.

Lalu ada Israel, yang bermain dengan aturan sendiri. Serangan udara mereka, yang menurut Reuters hanya berjarak sepelemparan batu dari istana al-Sharaa, adalah “pesan” untuk melindungi Druze dari ancaman sektarian. Pesan, sungguh eufemisme yang cerdas untuk bom yang menghancurkan. Israel, dengan skeptisisme yang beralasan terhadap Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), tak mau ambil risiko. Mereka masih menghantam target-target militer Suriah, menyebutnya upaya mencegah “militan Islamis” di selatan. Tapi, di saat yang sama, mereka membiarkan mantan spion berbincang di saluran rahasia. Ini adalah ironi yang menggigit: satu tangan menawarkan dialog, tangan lain menekan pelatuk. Reuters mengingatkan bahwa Israel pernah melobi AS untuk menjaga Suriah “terdesentralisasi dan terisolasi.” Normalisasi? Mungkin. Tapi lebih mungkin Israel ingin Suriah tetap lemah, seperti pion yang mudah dikendalikan di papan catur regional.

UEA, sang penutur dongeng modern, memainkan peran mediator dengan penuh gaya. Dengan Abraham Accords sebagai trofi diplomasi mereka, Abu Dhabi melihat peluang untuk menyeret Suriah ke meja yang sama dengan Israel. Reuters menyebutkan bahwa Damaskus memandang hubungan UEA-Israel sebagai “avenue kunci.” Tapi, jangan salah, ini bukan sekadar niat mulia. UEA punya agenda: stabilitas untuk bisnis, pengaruh untuk menyaingi Riyadh atau Doha, dan sekat halus untuk menahan Iran. Mereka tahu, di Timur Tengah, perdamaian adalah komoditas yang dijual mahal. Namun, ketika bom Israel mendarat di Damaskus, apakah UEA masih bisa menjaga wajah netral mereka? Atau ini hanya permainan lain, di mana semua orang pura-pura serius sementara penonton—kita—tertawa getir di belakang layar?

Mari kita tarik napas dan lihat peta yang lebih besar. Suriah, yang dulu jadi benteng “Poros Perlawanan” bersama Iran dan Hizbullah, kini pincang. Assad jatuh, Hizbullah melemah, dan al-Sharaa sibuk membersihkan citra HTS. Penahanan anggota Jihad Islam, seperti dicatat Reuters, adalah tamparan bagi Iran—dan mungkin isyarat genit ke Israel. Tapi, di sini letak absurditasnya: sementara al-Sharaa mengulurkan tangan, Israel terus membombardir, dan Iran, meski terluka, tak akan diam. Rusia, dengan basisnya di pantai Suriah, mengintip dari sudut. Dan AS, yang menerima surat manis dari Damaskus, mungkin tersenyum sinis, tahu bahwa Suriah adalah medan proxy yang terlalu berharga untuk dilepas. Normalisasi, dalam kaca mata ini, terasa seperti lelucon yang belum selesai ditulis.

Konteks lokal tak kalah pelik. Bayangkan pedagang di pasar Damaskus, yang bisik-bisik soal bom Israel dan rumor dialog dengan musuh. Mereka tahu harga roti lebih nyata daripada janji perdamaian. Di kampung-kampung Druze di Suweida, ketegangan mereda setelah al-Sharaa merekrut pasukan lokal, tapi trauma kekerasan masih membekas. Di gang-gang Aleppo, anak-anak bermain di reruntuhan, tak peduli dengan saluran rahasia di Abu Dhabi. Normalisasi, bagi mereka, adalah kata asing, jauh dari perut yang lapar dan rumah yang hancur. Al-Sharaa, dengan segala pragmatismenya, harus menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana menjual ide “damai” dengan Israel kepada rakyat yang masih menghitung korban?

Sekarang, mari kita refleksikan dengan sedikit sinisme. Normalisasi Suriah-Israel, meski sudah dirintis melalui bisik-bisik di UEA, bukanlah dongeng dengan akhir bahagia. Reuters menyebutkan bahwa saluran ini terbatas pada isu teknis—kontra-terorisme, katanya—tapi pintu untuk topik lain terbuka lebar. Tapi, pintu itu juga bisa ditutup seketika oleh bom lain, atau oleh amarah rakyat Suriah yang muak dengan permainan elit. Al-Sharaa, dengan topeng moderatnya, mungkin bisa menari di panggung ini beberapa saat lagi. Tapi, ketika Israel masih menghantam dan Iran mengintai, tarian ini lebih mirip langkah di tepi jurang. UEA, dengan segala gemerlapnya, mungkin bermimpi jadi penutur perdamaian, tapi Timur Tengah bukan tempat untuk mimpi yang polos.

Jadi, ke mana arahnya? Saya, seperti Anda, melihat benang tipis menuju normalisasi—mungkin dalam bingkai Abraham Accords, mungkin dalam perjanjian yang lebih sederhana. Tapi, jalan itu penuh lubang: kekerasan sektarian, skeptisisme Israel, dan intrik regional. Al-Sharaa, sang aktor pragmatis, tahu dia harus bermain lambat, seperti penutur pantun yang menjaga irama. Israel, dengan arogansi kekuatannya, mungkin tergoda untuk mendengar, tapi tak akan mudah melupakan sejarah. Dan kita, yang menyaksikan drama ini, hanya bisa mengangguk, tertawa kecil, dan berbisik: “Lanjutkan, tapi jangan harap kami percaya ini akan mudah.” Normalisasi? Mungkin suatu hari. Tapi hari ini, ini masih teater—megah, tragis, dan penuh ironi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer