Connect with us

Opini

Birokrat UE Gugat Diamnya Eropa Soal Gaza

Published

on

Di jantung Brussel, di balik gedung-gedung kaca yang berkilau dan rapat-rapat diplomatik yang dibungkus bahasa sopan nan berputar-putar, sedang berkecamuk sebuah drama yang nyaris tak tersentuh publik. Pegawai sipil Uni Eropa, yang biasanya dikenal sebagai barisan birokrat setia penegak peraturan, kini saling beradu pandang dengan atasan mereka di Komisi Eropa. Perselisihan ini bukan soal gaji, bukan pula tunjangan, tapi soal hati nurani—sesuatu yang jarang menjadi agenda resmi di ruang sidang parlemen. Mereka menuntut satu hal yang sebenarnya sederhana: hak untuk berbicara dan bersikap terhadap apa yang mereka lihat sebagai pelanggaran nyata kemanusiaan di Gaza. Ironisnya, di gedung yang konon berdiri di atas pondasi demokrasi dan hak asasi, suara itu justru dianggap terlalu bising.

Bagi banyak dari mereka, masalah ini bukan sekadar politik luar negeri. Ini adalah soal bagaimana mereka bisa bekerja tanpa merasa sedang menandatangani surat izin untuk sebuah tragedi. Laporan menyebutkan, semakin banyak staf yang merasa posisi Uni Eropa yang lembek terhadap zionis, meski ada bukti pelanggaran perang di Gaza, membuat mereka tak bisa menjalankan tugas tanpa melanggar hukum—baik hukum internasional maupun hati nurani pribadi. Ada seorang pegawai, menyebut dirinya “Ramona,” yang mengatakan bahwa institusi ini memaksa mereka untuk menjadi bagian dari “komplikasi” dan mengabaikan kewajiban moral. Dalam bahasa yang lebih membumi: seperti diminta mengabaikan api yang membakar rumah tetangga, dengan alasan kita harus netral demi menjaga hubungan baik dengan si pembakar rumah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang membuat situasi ini makin absurd adalah fakta bahwa badan diplomasi UE sendiri telah mengakui adanya pelanggaran HAM oleh zionis. Mereka bahkan sempat menggulirkan wacana untuk mencabut keuntungan dagang dan menendang zionis dari program riset Horizon. Tetapi rencana itu macet di tangan para pemimpin negara anggota yang sibuk dengan agenda masing-masing. Hasilnya? Sebuah kebijakan yang bisa disebut “mengutuk sambil berbisik”—tepatnya cukup keras untuk terdengar di konferensi pers, tapi terlalu pelan untuk mengubah keadaan di lapangan. Jika ini terjadi di Indonesia, mungkin publik akan menyamainya dengan pejabat yang berpidato keras soal antikorupsi sambil ngopi bareng tersangka di belakang panggung.

Komisi Eropa punya pembelaan khas birokrasi. Mereka bilang, urusan kebijakan luar negeri adalah hak prerogatif pemerintah nasional, bukan urusan pegawai. Mereka bahkan memperingatkan staf agar tidak terlalu larut dalam aktivitas politik, sambil menekankan kewajiban untuk netral, loyal, dan—ini favorit mereka—imparsial. Padahal netralitas itu indah di atas kertas, tapi sering kali busuk baunya ketika diterjemahkan di lapangan. Netral saat melihat pelanggaran kemanusiaan? Itu seperti pura-pura tidur ketika maling masuk rumah—bukan karena tidak bisa bangun, tapi karena takut harus menghadapi kenyataan.

Saluran resmi untuk menyampaikan keberatan memang ada: surat formal, diskusi dengan serikat pekerja, atau obrolan dengan manajer. Tapi para pengkritik mengatakan semua itu seperti berbicara ke dinding marmer—indah, dingin, dan sama sekali tak memberi jawaban. Faktanya, sejak Juli lalu, sekitar 1.500 pegawai dari berbagai level sudah menandatangani surat terbuka yang memperingatkan tentang kelaparan yang memburuk di Gaza. Mereka mendesak UE menekan zionis agar membuka akses bantuan. Tetapi, seperti banyak cerita dalam politik Eropa, surat itu masuk laci, mungkin bersanding dengan rencana-rencana mulia lain yang menunggu “waktu tepat” untuk dijalankan—waktu yang entah kapan datangnya.

Ketika jalur resmi macet, protes pun muncul dalam bentuk yang lebih kasat mata. Ada pegawai yang mengenakan kaos bertuliskan “Say no to genocide” saat makan di kantin. Hasilnya? Mereka diusir, bahkan ada yang didorong paksa, satu lagi dipaksa menghapus rekaman. Ada pula yang kontraknya tidak diperpanjang, survei internal yang pro-Palestina diblokir, hingga kehadiran seorang kolonel zionis yang dituduh melakukan kejahatan perang—Moshe Tetro—di markas Komisi Eropa. Kehadiran tokoh itu di jantung institusi yang mengaku menjunjung HAM jelas seperti mengundang pemburu gading ke pertemuan perlindungan satwa liar, lalu mengumumkan bahwa semua baik-baik saja.

Bagi para pegawai ini, aksi mogok kerja mulai dipertimbangkan, meski risikonya jelas: karier bisa tamat, reputasi hancur, dan label “tidak loyal” menempel seumur hidup. Tapi ada juga yang melihatnya sebagai bentuk penegakan kewajiban hukum UE sendiri. Dalam pandangan mereka, diam berarti ikut bersalah. Ini mirip dengan dilema yang dihadapi banyak orang di sini ketika melihat ketidakadilan di depan mata: tetap diam demi kenyamanan pribadi, atau bicara dan siap menerima konsekuensinya. Bedanya, di Brussel, konsekuensinya mungkin lebih ke jabatan dan tunjangan; di Gaza, konsekuensinya adalah hidup atau mati.

Ada ironi besar di sini. Uni Eropa, yang kerap menjadi polisi moral dunia—menegur negara lain soal kebebasan sipil, demokrasi, dan hak asasi—ternyata panik ketika kritik itu muncul dari dalam rumah sendiri. Mereka meminta staf untuk loyal dan netral, padahal yang diminta itu justru bertentangan dengan nilai yang mereka promosikan keluar. Seperti guru yang rajin mengajarkan kejujuran, tapi marah besar ketika murid bertanya kenapa nilai ujiannya bisa berubah tanpa transparansi.

Kita yang di Indonesia mungkin terbiasa dengan ketegangan seperti ini—antara narasi besar di panggung dan kenyataan di belakang layar. Kita tahu betul bahwa demokrasi tidak selalu hidup di tempat yang mengaku menjaganya. Kita juga tahu bahwa keberanian untuk bersuara sering kali tidak dihargai di ruang-ruang resmi. Dan di sini, seperti di Brussel, ada garis tipis yang memisahkan mereka yang memilih diam demi aman dengan mereka yang memilih bicara demi waras.

Apa yang terjadi di Brussel adalah pengingat pahit bahwa institusi sebesar apa pun tidak kebal dari kemunafikan. Gedung megah, prosedur rapi, dan bahasa diplomasi yang terdengar canggih bisa menyembunyikan rasa takut untuk bertindak. Dan bagi para pegawai yang menolak diam, perjuangan mereka bukan sekadar soal Palestina atau Gaza. Ini juga soal menjaga agar kata “hak asasi manusia” tidak berubah menjadi sekadar jargon manis di brosur resmi Uni Eropa. Karena kalau itu terjadi, bukan hanya mereka yang kehilangan integritas—kita semua, di mana pun berada, ikut kehilangan alasan untuk percaya.

Kalau kita mau jujur, sindiran paling pas untuk situasi ini mungkin datang dari pepatah lama yang entah siapa yang pertama kali bilang: “Di saat kebenaran jadi masalah politik, orang jujur akan dianggap radikal.” Di Brussel, kalimat itu sedang hidup dan bernapas, di lorong-lorong gedung yang selama ini dianggap pusat akal sehat Eropa. Dan seperti biasa, sejarah akan menilai bukan dari apa yang mereka katakan, tapi dari apa yang mereka berani lakukan—or tidak lakukan sama sekali.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer