Opini
Berkat AS, Netanyahu dan Gallant Kebal Hukum?

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mencatatkan sejarah dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Keamanan Yoav Gallant. Mereka dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk menggunakan kelaparan sebagai senjata perang terhadap penduduk sipil di Gaza. Namun, keputusan bersejarah ini justru memperlihatkan wajah suram dari hukum internasional: kekuatan politik dan militer masih menjadi tameng pelindung bagi pelaku kejahatan.
Amerika Serikat, yang kerap mengklaim diri sebagai penjaga demokrasi dan hak asasi manusia, menjadi pembela pertama Netanyahu dan Gallant. Senator John Thune bahkan menyerukan pengesahan legislasi yang akan memberikan sanksi kepada ICC jika pengadilan tersebut melanjutkan penuntutan terhadap pejabat Israel. Ancaman seperti ini bukanlah hal baru. Pada 2019, AS pernah menjatuhkan sanksi kepada ICC ketika pengadilan itu menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh pasukan AS di Afghanistan. Visa pejabat ICC dicabut, aset mereka dibekukan, dan upaya penyelidikan akhirnya terhenti.
Kali ini, AS kembali menunjukkan bahwa mereka tidak segan-segan menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk membungkam keadilan internasional. Netanyahu dan Gallant yang oleh ICC dianggap bertanggung jawab atas blokade yang menyebabkan penderitaan luar biasa bagi warga Gaza, tampaknya akan tetap bebas berkeliaran. Blokade ini telah menyebabkan 44.056 orang tewas sejak 7 Oktober 2023, sementara 104.268 lainnya terluka. Tidak ada yang lebih ironis daripada sebuah negara yang mencabut hak hidup dasar warganya kemudian dilindungi oleh negara yang mengklaim dirinya sebagai pengusung keadilan global.
Sikap AS ini mengirimkan pesan yang jelas: keadilan adalah barang mewah yang hanya tersedia untuk negara-negara kecil. Jika Anda memiliki kekuatan militer yang besar atau aliansi strategis dengan AS, maka hukum internasional tidak berlaku untuk Anda. Inilah yang menjadikan keputusan ICC kali ini sebagai cermin tajam yang memantulkan bobrok sistem internasional.
Jika situasi ini dibiarkan, implikasinya sangat berbahaya. Kepercayaan terhadap lembaga-lembaga internasional seperti ICC akan terus merosot, hingga pengadilan internasional tidak lebih dari simbol tanpa kekuatan nyata. Negara-negara kecil akan terus menjadi sasaran hukuman, sementara negara-negara besar dan sekutunya tetap kebal hukum. Lebih buruk lagi, pemimpin yang merasa tak tersentuh oleh hukum akan semakin berani melanggar hak asasi manusia, karena tahu mereka tidak akan pernah diadili.
Kondisi ini juga mengancam tatanan global yang selama ini berusaha dibangun di atas prinsip keadilan dan supremasi hukum. Ketika hukum internasional tunduk pada kepentingan politik segelintir negara, dunia hanya akan semakin mendekati era hukum rimba, di mana yang kuat berkuasa tanpa batasan. Ironisnya, ini dilakukan dengan dalih melindungi kepentingan nasional, meskipun pada kenyataannya, yang dipertahankan hanyalah impunitas untuk pelanggaran.
Keputusan ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Netanyahu dan Gallant memang langkah besar yang patut diapresiasi. Tetapi, jika dunia terus membiarkan kekuatan besar seperti AS menekan dan melemahkan pengadilan internasional, maka langkah ini hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa dampak nyata. Dunia harus bersatu melawan impunitas, memperkuat pengadilan internasional, dan menolak campur tangan politik yang merusak tatanan hukum global.
Berkat AS, Netanyahu dan Gallant mungkin akan tetap kebal hukum. Tetapi jika ini dibiarkan berlanjut, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh Gaza, tetapi oleh seluruh dunia yang terus kehilangan harapan pada keadilan sejati.