Connect with us

Opini

Berguguran Tanpa Makna: Ketika Tentara Zionis Lupa Pulang

Published

on

Lebih dari 18.500 tentara Israel tercatat terluka sejak agresi ke Gaza dimulai. Angka yang dingin dan kasar, datang dari laporan Channel 12 Israel dan dikutip oleh Al Mayadeen, menunjukkan kerusakan fisik dan psikis yang nyaris setara. Sekitar 12.500 di antaranya menderita luka fisik, sementara 10.000 lebih lainnya dicekik oleh trauma yang tak terlihat mata. Tentara-tentara itu pergi dengan senjata, kembali dengan kursi roda—atau bahkan peti mati tak bernama. Sebuah harga mahal untuk sesuatu yang bahkan tak bisa mereka sebut kemenangan.

Perang adalah panggung yang kejam. Tapi kejamnya menjadi ironis ketika yang digembar-gemborkan sebagai pasukan terkuat di Timur Tengah mendadak kelabakan menghadapi terowongan, granat buatan tangan, dan semangat juang orang-orang yang tak punya negara, tapi punya kehormatan. Mereka yang menyebut dirinya “tentara pertahanan” kini justru menyerang tanpa ujung, dan terluka tanpa sebab. Yang menyedihkan: luka-luka itu bukan karena mempertahankan rumah, tapi justru saat menghancurkan rumah orang lain. Luka karena menjajah. Cacat karena menindas. Psikotik karena tak sanggup melihat mata bocah Palestina yang separuh wajahnya tertimbun debu, tapi masih menatap tajam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan itu menyebutkan 33 persen luka mengenai bagian tubuh yang vital—lengan, kaki, mata, kepala. Luka khas perang perkotaan yang membosankan tapi mematikan. Sisanya? Hancur dari dalam. PTSD, paranoia, depresi, insomnia, bahkan keinginan untuk menghilang dari dunia yang mereka rusak sendiri. Ya, lebih dari 10 ribu tentara Israel kini membawa luka yang tak bisa dibalut perban. Mereka tak sekadar trauma karena perang. Mereka trauma karena tahu bahwa mereka adalah monster dalam cerita yang mereka karang sendiri.

Tak perlu jadi filsuf untuk melihat absurditas ini. Negara dengan militer yang diguyur miliaran dolar bantuan tiap tahun, dengan teknologi tempur tercanggih, satelit pengintai, dan drone pembunuh yang tak bisa ngopi tanpa sinyal, kini dihantui oleh pasukan cadangan yang berjatuhan, perwira yang kabur, dan anak-anak muda yang ogah jadi komandan. Sekitar 300 posisi perwira kini kosong. Para jenderal berpeluh keringat bukan karena disergap musuh, tapi karena tak ada yang mau naik pangkat.

Kekosongan itu bukan teknis. Ia adalah sinyal bahwa generasi muda Israel—yang tumbuh di tengah dongeng keberanian David melawan Goliath—kini sadar bahwa mereka adalah Goliath yang sedang menabrak tembok sejarah. Tak ada lagi kejayaan “enam hari perang.” Yang ada kini adalah berbulan-bulan menyisir reruntuhan, hanya untuk menemukan bom ranjau rakitan dan tulisan di dinding: “Kami masih di sini.”

65 persen dari korban luka adalah pasukan cadangan. Artinya, orang-orang yang mungkin beberapa bulan lalu masih jadi barista, manajer IT, atau guru musik, kini mendapati diri mereka kehilangan kaki, mata, atau kewarasan. Mereka dipanggil bukan karena negara butuh pahlawan, tapi karena sistem reguler sudah ambruk. Mereka masuk ke Gaza bukan sebagai patriot, tapi sebagai tambalan panik sebuah kekuatan militer yang tak pernah siap untuk perang yang tak bisa mereka menangkan.

Dan ketika tubuh tak lagi bisa dipakai, pikiran pun ikut runtuh. Kasus bunuh diri meningkat drastis, meski tak semua dicatat. Ada yang menggantung diri. Ada yang overdosis. Ada yang menembak kepala sendiri. Dan ada pula yang tak mati tapi lebih memilih tinggal di kamar gelap, dihantui jeritan anak-anak Gaza yang tak pernah mereka temui langsung. Bayangkan: seorang tentara yang tumbuh dengan impian membela tanah air, kini dihantui oleh suara-suara dari tanah yang bukan miliknya.

Zionis kerap menyebut dirinya sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Tapi perang ini—dengan seluruh luka fisik, bunuh diri, desersi, dan kegilaan massal—adalah referendum senyap yang menunjukkan bahwa demokrasi pun bisa kehilangan arah ketika dipakai untuk menjustifikasi pendudukan. Yang mereka lawan bukan tentara reguler, bukan negara berdaulat, bukan kekuatan adidaya. Tapi mereka tetap babak belur melawan rakyat yang diblokade, dipasung, dan diisolasi selama lebih dari 17 tahun.

Perang ini bukan hanya membunuh warga Palestina. Ia membunuh keyakinan para prajurit zionis terhadap diri mereka sendiri. Sebagian mungkin masih percaya bahwa ini adalah pertarungan suci. Tapi sisanya mulai menyadari bahwa yang mereka hancurkan bukan sekadar bangunan, tapi kemanusiaan. Dan ketika kemanusiaan itu mulai membusuk di dalam dada sendiri, tak ada pelatihan militer atau terapi kejiwaan yang bisa menyelamatkan.

Mari kita perjelas: ini bukan empati kepada penjajah. Ini adalah ironi pahit dari sejarah. Ketika para penindas mulai terluka oleh penindasannya sendiri, kita hanya bisa menggeleng pelan, sambil mencatat: keadilan memang lambat, tapi ia datang dengan cara yang tak terduga. Kadang berupa rudal. Kadang berupa mimpi buruk. Kadang berupa kehilangan arah hidup di usia 20-an karena terlalu banyak membunuh sebelum belajar mencintai.

Di negeri ini, yang terlalu sibuk dengan drama politik dan isu-isu selebritas, kita mungkin lupa bahwa di Gaza, anak-anak sedang kelaparan. Tapi sesekali, kita perlu juga menoleh ke kamp militer Israel, tempat di mana prajurit-prajurit berseragam itu kini tak berani tidur. Bukan karena takut diserang, tapi karena takut bertemu dengan wajah-wajah yang mereka kubur hidup-hidup dalam memori.

Zionisme menjanjikan perlindungan, tanah air, dan keamanan. Tapi perang Gaza membuktikan bahwa yang mereka dapat hanyalah kehilangan. Kehilangan nyawa, kehilangan pemuda, kehilangan masa depan. Dan perlahan-lahan, kehilangan narasi. Dunia mulai melihat siapa korban yang sebenarnya. Siapa penjajah dan siapa yang dijajah. Dan seperti semua kisah kolonialisme di masa lalu, ini pun akan berakhir—bukan dengan kemenangan teknologi, tapi dengan runtuhnya moral penjajah oleh beban sejarahnya sendiri.

Mereka menyebutnya “operasi militer.” Tapi sejarah akan menyebutnya kekalahan perlahan yang dibayar mahal oleh tubuh-tubuh yang tak lagi percaya pada tujuan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer