Connect with us

Opini

Beras, Privilege, dan Satu Kalimat yang Menjatuhkan Menteri

Published

on

Musim semi di Jepang biasanya membawa angin segar dan sakura yang mekar. Tapi tahun ini, bukan bunga yang merekah, melainkan kegelisahan: harga beras—makanan pokok sekaligus simbol budaya bangsa—melambung tak terkendali. Di tengah situasi genting itu, Menteri Pertanian Taku Eto justru tampil ringan hati, mengatakan bahwa ia “tak pernah beli beras” karena selalu dapat kiriman dari para pendukungnya.

Satu kalimat. Satu senyuman. Dan satu tamparan telak bagi rakyat yang sedang antre di supermarket, menggenggam dompet yang mulai kehilangan daya beli.

Ucapan Eto, dilontarkan dalam sebuah seminar Partai Demokrat Liberal (LDP), terdengar seperti lelucon usang dari panggung politik yang lupa tur tirai. Ketika rakyat berjibaku mencari beras yang makin mahal, menterinya justru memperlihatkan privilege seolah-olah beras turun dari langit, eksklusif untuk mereka yang bertengger di menara gading kekuasaan. Tapi ini bukan dunia dongeng, dan rakyat tidak hidup dari karung-karung kemurahan hati para pendukung pejabat.

Kemarahan pun mengalir deras. Dalam sistem politik yang masih menyisakan budaya malu, publik Jepang tak menunggu lama untuk mendesak pertanggungjawaban. Eto akhirnya mengundurkan diri. Ia menjadi menteri pertama yang tumbang dalam pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, yang bahkan belum genap seumur jagung.

Namun, apa yang sesungguhnya roboh bukan hanya seorang menteri, tapi wibawa sebuah kepemimpinan yang kehilangan kepekaan di tengah krisis.

Jepang bukan sekadar negara maju dengan gadget canggih. Ia adalah negeri yang menyematkan nilai spiritual pada sebutir nasi. Maka ketika beras tak lagi mudah ditemukan di rak supermarket, luka yang muncul bukan hanya ekonomis, tapi juga kultural. Pemerintah berusaha menenangkan publik dengan melepaskan cadangan beras darurat, tapi efeknya lebih mirip plester pada luka dalam—tak menyentuh akar masalah.

Eto sempat mencoba klarifikasi, menyebut yang ia terima dari pendukung adalah “beras merah”, bukan “beras putih”. Sungguh sebuah upaya semantik yang lebih cocok untuk lomba debat sekolah daripada krisis pangan nasional. Di saat rakyat bingung mencari satu kilogram beras, sang menteri sibuk mengklarifikasi warna.

Di sisi lain, kita di Indonesia—seperti biasa—menyaksikan semua ini dengan senyum getir. Terselip rasa iri sekaligus geli. Bayangkan, di negeri sakura, satu kalimat bisa menjatuhkan menteri. Di negeri kita? Satu blunder bisa menjadi bahan konten TikTok, dan kadang jadi batu loncatan karier politik.

Lihat saja Bahlil Lahadalia. Menteri Investasi yang belakangan merangkap Menteri ESDM ini meluncurkan kebijakan kontroversial: melarang pengecer menjual LPG 3 kilogram mulai Februari 2025. Gas melon, sebagaimana rakyat mengenalnya, adalah nyawa dapur rakyat kecil. Dan pengecer—warung-warung pinggir jalan, toko kelontong desa—adalah denyut ekonomi akar rumput.

Tapi kebijakan Bahlil menyapu bersih semuanya. “Blunder,” kata Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari UGM. Ia menyebut keputusan ini mematikan usaha rakyat kecil, menyusahkan konsumen, dan melabrak komitmen Presiden Prabowo yang katanya berpihak pada wong cilik. Tapi entah mengapa, blunder sebesar ini belum cukup untuk menggetarkan kursi empuk sang menteri.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ya wajar, demi distribusi yang tertib.” Tapi mari kita bicara realitas. Banyak pengecer adalah pengusaha informal yang bahkan tak cukup modal untuk mendaftar jadi pangkalan resmi. Mereka menggantungkan hidup dari selisih tipis penjualan gas—yang kini hendak dipangkas pemerintah tanpa jaring pengaman.

Dan rakyat miskin yang tinggal jauh dari pangkalan? Mereka disuruh beli ke tempat yang lebih resmi, entah sejauh apa, entah dengan ongkos transportasi dari mana. Sebuah kebijakan yang mungkin lahir dari spreadsheet, bukan dari suara riuh warung-warung kampung.

Tapi tak ada pengunduran diri. Tak ada permintaan maaf. Bahkan tidak ada klarifikasi yang berniat merangkul, selain jargon “penertiban subsidi.” Barangkali karena kita memang bangsa yang terlalu sabar, atau terlalu lelah untuk marah.

Kembali ke Jepang. Ishiba, sang perdana menteri yang baru naik, menunjuk Shinjiro Koizumi sebagai pengganti Eto. Nama yang dikenal, putra mantan PM dan karismatik, mungkin pilihan yang aman sekaligus simbolik. Dalam pidatonya, Ishiba menyebut krisis ini sebagai “masalah struktural.” Pernyataan yang tepat—jika saja tak terdengar seperti catatan kaki dari makalah mahasiswa tahun pertama.

Koizumi mencoba tampil sederhana. Ia menyebut, kadang ia juga menyimpan nasi instan untuk anak-anaknya. Pernyataan itu barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ia satu dengan rakyat. Tapi di tengah rakyat yang antre beras, nasi instan pejabat terasa seperti bunga plastik di tengah kemarau—tak layu, tapi juga tak memberi air.

Di negeri sakura, satu kalimat bisa mengakhiri karier. Di negeri kita, satu blunder bisa jadi bahan stand-up di televisi. Tapi jarang jadi momentum perbaikan.

Shizuko Oshima, seorang nenek 73 tahun di Jepang, berkata, “Beras adalah makanan pokok Jepang. Ketika harganya naik setiap minggu, (pengunduran diri) itu sudah sewajarnya.” Kalimat ini barangkali tak akan viral, tapi ia menyimpan hikmah yang dalam: bahwa tanggung jawab itu tak perlu dipanggil—ia harus datang sendiri ketika rakyat tercekik.

Masalah beras di Jepang dan gas 3 kg di Indonesia sama-sama memperlihatkan satu hal: betapa elitenya elite, dan betapa jauhnya jarak antara kebijakan dan kenyataan. Di Jepang, sistem masih cukup peka untuk menampung amarah rakyat dalam bentuk pengunduran diri. Di sini, amarah itu mungkin cuma akan jadi tagar musiman—sebelum tenggelam oleh berita berikutnya.

Di akhir kisah, kita tahu: harga pangan bisa naik, regulasi bisa berubah, tapi yang paling mahal adalah kehilangan empati. Ketika seorang menteri tak lagi merasa perlu merasakan apa yang rakyat rasakan, maka seberapapun banyaknya stok cadangan atau subsidi yang dirancang, semuanya hanya akan menjadi angka.

Dan kita—baik di Jepang maupun Indonesia—masih terus menunggu pemimpin yang tidak hanya bisa bicara, tapi juga tahu kapan harus diam, dan tahu kapan saatnya turun dari panggung.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *