Connect with us

Opini

Bentrok Thailand-Kamboja: Imbasnya ke Indonesia?

Published

on

Ledakan senjata dan desing roket menggema di perbatasan Thailand dan Kamboja, memecah pagi yang mestinya biasa saja menjadi arena kekerasan yang kembali menegaskan satu hal: perdamaian di Asia Tenggara masihlah rapuh. Tapi yang lebih penting bagi kita: apa makna semua ini bagi Indonesia? Ketika peluru ditembakkan di Ta Muen Thom, kita pun perlu bertanya, seberapa dekat dampaknya ke Jakarta, Pontianak, hingga Medan? Bentrokan bersenjata yang menewaskan sedikitnya sembilan warga sipil Thailand dan melukai puluhan lainnya memperlihatkan bahwa bahkan negara yang selama ini tampak stabil pun bisa terjerumus dalam spiral kekerasan yang cepat dan mematikan.

Bentroka terbaru ini memang bukan kali pertama. Sejak awal Mei, kedua negara telah menunjukkan tanda-tanda konfrontasi, dimulai dari insiden penembakan yang menewaskan seorang prajurit Kamboja. Setelahnya, ketegangan terus membara—dalam bentuk saling tuduh, kebijakan proteksionis, dan retorika keras yang mencerminkan kebuntuan diplomasi. Pembatasan lintas batas oleh Thailand, larangan Kamboja terhadap film dan produk Thailand, hingga boikot terhadap infrastruktur digital lintas negara memperlihatkan bahwa konflik ini menjalar melampaui militer: ia menembus ekonomi, budaya, dan bahkan kehidupan sehari-hari.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang lebih mengkhawatirkan, konflik ini telah memicu guncangan politik di Bangkok. Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra kini diskors karena dugaan pelanggaran etika—semuanya bermula dari kebocoran percakapan dengan petinggi Kamboja. Dalam rekaman itu, ia menyebut Hun Sen sebagai “uncle” dan mengkritik militer Thailand. Bagi publik nasionalis, ini cukup untuk dianggap sebagai pengkhianatan. Kemarahan publik pun meledak, memicu protes dan mengguncang koalisi pemerintah. Tak bisa dimungkiri, ketika diplomasi terhenti dan politik memburuk, jalan menuju de-eskalasi justru kian sempit.

Namun konflik ini tak bisa dilihat sebagai persoalan bilateral semata. Asia Tenggara bukanlah gugus negara yang berdiri sendiri-sendiri, dan kekerasan di satu perbatasan bisa menjadi sinyal keretakan kawasan. ASEAN, yang selama ini mengusung visi “komunitas damai, stabil, dan sejahtera”, kini kembali diuji. Lembaga regional ini memang punya mekanisme penyelesaian konflik, seperti Treaty of Amity and Cooperation dan ASEAN Political-Security Community. Tapi sejarah menunjukkan, dalam konflik nyata seperti ini, mekanisme itu lebih sering menjadi etalase ketimbang alat penyelesaian yang efektif. Tidak mengherankan jika sebagian pihak mulai mempertanyakan: masihkah ASEAN mampu menjamin perdamaian internalnya?

Bagi Indonesia, ini bukan hanya isu etis atau politik. Ada resonansi yang nyata dan praktis. Pertama, dari segi ekonomi. Indonesia adalah salah satu penggerak utama integrasi pasar ASEAN. Ketegangan di kawasan membuat sentimen investor goyah, melemahkan arus modal dan menekan ambisi pembentukan pasar tunggal. Konflik Thailand–Kamboja, jika berlarut, akan mengganggu arus barang lintas batas, memicu ketidakpastian di jalur logistik, dan menurunkan prospek perdagangan intra-kawasan. Ketika ASEAN gagal menampilkan diri sebagai kawasan yang aman, bukan tidak mungkin investor mulai mengalihkan pandangan ke luar wilayah.

Kedua, soal keamanan warga. Ribuan WNI bekerja dan belajar di Thailand maupun Kamboja. Eskalasi konflik tak hanya membahayakan mereka, tetapi juga menambah beban diplomasi konsuler. Belum lagi potensi gelombang pengungsi jika konflik menjalar ke wilayah sipil. Sejarah menunjukkan, perang tak pernah mengenal batas administratif. Indonesia harus bersiap, bukan hanya dalam skenario evakuasi, tetapi juga antisipasi krisis kemanusiaan yang mungkin menghampiri.

Ketiga—dan mungkin yang paling strategis—adalah posisi Indonesia sebagai pemimpin de facto ASEAN. Selama ini, Indonesia kerap menjadi juru damai, dari konflik Moro di Filipina hingga proses demokratisasi Myanmar. Tapi dalam kasus ini, Indonesia belum terlihat menonjol. Padahal, absennya mediasi yang kredibel hanya akan memperpanjang konflik dan merusak reputasi ASEAN sebagai zona damai. Jika Indonesia memilih diam, itu bisa ditafsirkan sebagai kegagalan kepemimpinan, sekaligus kehilangan momentum diplomatik yang bernilai tinggi.

Apa yang bisa dilakukan Indonesia? Pertama, menginisiasi mediasi informal antara kedua negara. Indonesia memiliki sejarah panjang dalam memainkan peran sebagai penengah, terutama melalui jalur diplomasi lintas negara dan organisasi regional. Membangun komunikasi backchannel bisa menjadi langkah awal untuk meredakan ketegangan, setidaknya di luar sorotan publik dan tekanan politik domestik masing-masing pihak. Pendekatan ini tak hanya realistis, tapi juga menyelamatkan muka kedua negara yang mungkin enggan mundur di hadapan publiknya sendiri.

Kedua, Indonesia bisa mendorong pengaktifan ASEAN High Council—forum yang selama ini nyaris tidak pernah digunakan meskipun tercantum dalam konvensi ASEAN. Inilah saatnya mekanisme itu diuji. Jika ASEAN ingin tetap relevan, maka ia harus bertindak. Dan Indonesia, dengan pengaruh yang dimilikinya, bisa memimpin upaya tersebut, setidaknya dengan menyuarakan urgensi penggunaan instrumen yang ada, ketimbang terus bersandar pada diplomasi basa-basi.

Ketiga, Indonesia bisa menawarkan dukungan teknis untuk pemetaan ulang wilayah sengketa. Kita memiliki badan-badan seperti BIG (Badan Informasi Geospasial) dan pengalaman panjang dalam penyelesaian batas wilayah—dengan Malaysia, Filipina, hingga Timor Leste. Keahlian itu bisa ditawarkan sebagai bagian dari upaya membangun kepercayaan. Tidak dalam rangka menjadi “penentu kebenaran”, tapi sebagai fasilitator netral bagi proses yang berbasis data dan hukum internasional.

Namun tentu saja, semua itu hanya mungkin jika ada keberanian politik. Indonesia harus bersedia keluar dari zona nyaman. Kita tidak bisa terus berharap pada wacana kebersamaan ASEAN sementara nyawa melayang di tapal batas dan rakyat sipil menjadi korban. Kita tak bisa lagi berlindung di balik prinsip non-intervensi saat dua saudara satu kawasan saling menembak. Jika ASEAN adalah rumah bersama, maka konflik seperti ini adalah kebakaran di ruang tamu—dan tidak cukup jika hanya ada satu negara yang memegang alat pemadam.

Konflik yang tampaknya jauh itu bisa menjalar secara tak terduga. Di era keterhubungan global dan kawasan yang saling tergantung, Indonesia tak bisa berpura-pura aman hanya karena batas geografis. Hari ini Surin, besok siapa tahu? Ledakan di perbatasan bisa memicu getar yang menjalar hingga ruang-ruang kebijakan dalam negeri kita.

Indonesia, dengan semua sejarah, posisi, dan potensi yang dimilikinya, tak boleh berdiri diam di tengah gemuruh senjata. Sebab jika bukan kita yang menjaga perdamaian di rumah kita sendiri, lalu siapa lagi? Dan jika kita tak segera bertindak, bisa jadi konflik yang kini membara di Thailand-Kamboja hanyalah awal dari gelombang ketegangan yang akan menepi ke pantai kita sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer