Connect with us

Opini

Benarkah Revolusi Suriah dari Rakyat Suriah?

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Dunia pernah disuguhi narasi heroik tentang revolusi Suriah. Narasi yang mengemasnya sebagai perjuangan rakyat melawan rezim otoriter, berbalut jargon kebebasan dan keadilan. Namun, laporan terbaru dari The Cradle menyajikan kenyataan yang menggelitik logika: apa yang disebut revolusi rakyat ternyata lebih mirip drama politik dengan aktor asing sebagai pemeran utama.

Setelah bertahun-tahun konflik, revolusi Suriah akhirnya berhasil menggulingkan Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024. Kini, Abu Mohammad al-Julani, atau Ahmad al-Sharaa, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), memimpin transisi kepemimpinan di Suriah. Namun, apakah revolusi ini benar-benar perjuangan rakyat Suriah?

Lihat saja Julani, yang dalam konferensi persnya di Damaskus dengan santai menyatakan bahwa pejuang asing yang membantu menggulingkan pemerintah Suriah layak mendapatkan kewarganegaraan Suriah. Pejuang asing? Bukankah ini revolusi rakyat Suriah? Atau mungkin definisi “rakyat Suriah” telah diperluas hingga mencakup ekstremis dari Inggris, Prancis, Saudi, bahkan Chechnya?

Laporan itu juga mengungkap bahwa kelompok Julani, yang awalnya bagian dari Al-Qaeda, memulai kiprahnya di Suriah dengan bom bunuh diri di Damaskus. Tak lama setelah itu, mereka menyulap wilayah yang dikuasai menjadi arena kekuasaan fundamentalis. Minoritas agama seperti Kristen, Alawite, dan Druze diusir dari rumah mereka, dan slogan seperti “Kristen ke Beirut, Alawite ke kuburan” menggema di jalanan. Sebuah potret yang jauh dari semangat kebebasan dan demokrasi yang mereka klaim.

Tak cukup di situ, ribuan ekstremis dari puluhan negara mengalir ke Suriah, membawa ideologi dan agenda masing-masing. Didukung oleh negara-negara asing, termasuk Amerika Serikat dan sekutunya, revolusi ini lebih menyerupai perang proxy dengan rakyat Suriah sebagai tumbal. Ketika negara-negara ini berbicara tentang menghormati kehendak rakyat Suriah, apakah yang dimaksud adalah kehendak para pejuang asing dan sponsor internasionalnya?

Ironisnya, Julani kini menyatakan bahwa Suriah tidak akan lagi digunakan sebagai basis untuk menyerang zionis. Pernyataan ini adalah tamparan bagi mereka yang selama ini percaya bahwa perjuangan di Suriah adalah bagian dari solidaritas terhadap Palestina. Ternyata, solidaritas itu hanya propaganda murahan, seperti halnya klaim revolusi atas nama rakyat.

Dengan situasi ini, bagaimana nasib rakyat Suriah ke depan? Perpecahan etnis dan agama yang diperdalam oleh kelompok fundamentalis seperti HTS hanya menyisakan puing-puing sebuah negara yang dulunya kaya akan keragaman. Harapan bagi stabilitas dan pembangunan terasa jauh, karena kepemimpinan transisi justru dipenuhi aktor dengan rekam jejak pelanggaran HAM yang mengerikan.

Sementara itu, dunia seolah enggan peduli. Kepentingan geopolitik mendominasi sikap negara-negara besar, yang lebih tertarik memastikan akses strategis di kawasan daripada mendengarkan suara rakyat Suriah. Konflik ini telah membuktikan bahwa retorika tentang hak asasi manusia sering kali menjadi alat propaganda, bukan tujuan sejati.

Jadi, benarkah ini revolusi rakyat Suriah? Atau ini hanyalah pertunjukan besar yang disutradarai oleh kepentingan asing, dengan rakyat Suriah hanya menjadi figuran? Laporan The Cradle memberi kita bahan renungan: bahwa revolusi ini lebih banyak dihiasi dengan bom bunuh diri, campur tangan asing, dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang katanya mereka perjuangkan.

Mungkin saatnya kita berhenti menelan mentah-mentah narasi manis dari mereka yang mengaku memperjuangkan rakyat. Karena dari apa yang kita lihat, rakyat Suriah bukanlah aktor utama dalam revolusi ini, melainkan korban dari permainan global yang kotor. Revolusi rakyat Suriah? Barangkali itu hanyalah mitos yang dijual dengan harga nyawa manusia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *