Opini
Benarkah al-Sharaa Pro-Israel?

Jet-jet tempur Israel membombardir Suriah, dentuman ledakan menggema di Suwayda, Deraa, dan pinggiran Damaskus. Sementara rakyat turun ke jalan memprotes agresi zionis, namun seorang pria bernama Ahmad al- yang kini menjadi presiden transisi Suriah justru sibuk meyakinkan Israel bahwa Suriah tak punya niat jahat. Bahkan, dengan penuh kelembutan, ia berjanji bahwa tak ada senjata yang akan melintas ke Hizbullah. Alangkah manisnya.
Sikap ini tentu menghangatkan hati Netanyahu yang baru saja mengancam akan mendemiliterisasi selatan Suriah. Barangkali al-Sharaa ingin menunjukkan bahwa Suriah bukan ancaman. Bahwa Zionis tak perlu repot-repot membombardir, cukup duduk manis, Suriah akan menurut. Sebuah pendekatan yang, kalau bukan pengkhianatan, setidaknya kelembekan akut. Mungkin lebih lunak dari roti basi.
Bisa jadi ini diplomasi tingkat tinggi, diplomasi yang tidak kita pahami. Diplomasi yang tampaknya lebih condong ke seni pelayanan ketimbang pertahanan negara. Bukankah menarik? Saat rakyat Suriah menolak intervensi Israel, al-Sharaa justru sibuk memberi garansi bahwa Suriah tidak akan membahayakan Israel. Barangkali kita harus belajar bahwa menjilat bisa jadi strategi baru.
Lebih ironisnya lagi, al-Sharaa juga menyatakan tidak ada ancaman keamanan di Suriah. Tentu saja! Bagaimana bisa ada ancaman kalau yang terancam malah sibuk meyakinkan penjajah bahwa mereka tidak akan melawan? Bayangkan seorang pemilik rumah yang meyakinkan perampok bahwa ia tidak akan menggunakan kunci pintu. Ini bukan sekadar naif, ini bisa disebut bunuh diri politik.
Orang bisa saja membela al-Sharaa dengan mengatakan bahwa ini adalah sikap pragmatis. Bahwa ia mencoba menyelamatkan Suriah dari kehancuran lebih lanjut. Tetapi, bagaimana mungkin menyerahkan leher ke tukang jagal disebut strategi bertahan hidup? Jika al-Sharaa adalah seorang prajurit, ia pasti akan dikenal sebagai panglima yang menyarankan pasukannya untuk membuang senjata dan berharap musuh berbaik hati.
Mari kita bandingkan dengan rakyat Suriah. Ketika Netanyahu mengancam demiliterisasi, mereka turun ke jalan, memprotes, menunjukkan bahwa kedaulatan negara mereka tidak bisa digadaikan. Sementara itu, di kursi nyaman kekuasaan, al-Sharaa memilih mengirim sinyal damai kepada penjajah. Sebuah kontras yang tidak hanya mencurigakan, tetapi juga menjijikkan.
Yang lebih menarik lagi, al-Sharaa tidak hanya berusaha meyakinkan Israel bahwa Suriah tidak berniat menyerang, tetapi juga menegaskan bahwa pemerintahnya mencegah senjata sampai ke Hizbullah. Dengan kata lain, ia secara tidak langsung menawarkan bantuan kepada Israel dalam memastikan lawan mereka tetap lemah. Ini bukan hanya diplomasi, ini pelayanan pelanggan premium.
Tentu saja, kita tidak boleh sembarangan menuduh. Belum ada foto al-Sharaa dengan bendera Israel di belakangnya, belum ada rekaman dia bersulang dengan Netanyahu. Tapi, apakah kita harus menunggu tanda yang lebih jelas? Bukti bukan hanya tentang dokumen resmi, tetapi tentang pola sikap dan tindakan. Dan sejauh ini, polanya jelas: rakyat melawan, pemimpinnya merayu Israel.
Mungkin kita semua yang salah paham. Mungkin al-Sharaa hanyalah pemimpin yang mengutamakan perdamaian. Atau mungkin, ia hanyalah politisi yang terlalu takut untuk mengatakan tidak kepada Israel. Dalam dunia politik, ketakutan bisa disamarkan sebagai kebijaksanaan, dan pengkhianatan bisa dijual sebagai diplomasi. Tergantung siapa yang berbicara dan siapa yang mendengar.
Akhirnya, pertanyaannya sederhana: apakah al-Sharaa pro-Israel? Secara langsung mungkin tidak, tetapi jika ia lebih sibuk menenangkan penjajah daripada membela rakyatnya, bukankah kesimpulannya sudah jelas? Seorang pemimpin yang tidak berdiri bersama rakyatnya, yang memilih menenangkan musuh daripada membela bangsanya, bukankah lebih pantas disebut sebagai pelayan daripada pemimpin?
Jika besok Israel menyerang lagi dan al-Sharaa kembali merespons dengan janji manis, akankah kita tetap menganggapnya sebagai pemimpin Suriah? Atau justru sebagai perwakilan tak resmi Tel Aviv di Damaskus? Mungkin jawabannya ada di tangan sejarah. Tetapi untuk saat ini, satu hal sudah pasti: rakyat Suriah ada di jalan, melawan. Sementara al-Sharaa sibuk berbicara manis di ruangan ber-AC. Cukup untuk menjawab pertanyaan di judul tulisan ini.