Connect with us

Opini

Ben-Gvir: Bantuan Gaza Jadi Sandera Politik?

Published

on

Di sudut dunia yang tercekik debu dan deru, di mana langit Gaza kini lebih sering kelabu daripada biru, sebuah suara keras menggema dari Itamar Ben-Gvir, Menteri Kepolisian Israel. Dalam unggahan Telegram-nya pada Mei 2025, ia menyerukan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk membatalkan keputusan yang mengizinkan bantuan kemanusiaan terbatas ke Gaza, menyebutnya “kesalahan strategis yang membawa malapetaka.” Bantuan, katanya, hanya boleh mengalir jika tawanan Israel dibebaskan. Di balik kata-katanya yang dingin, ada ancaman implisit: tanpa konsesi, penderitaan warga sipil Gaza akan diperpanjang. Membaca ini, hati kita terguncang—bagaimana sebuah kebijakan bisa begitu tega memainkan nyawa ribuan orang sebagai alat tawar-menawar?

Bayangkan berada di Gaza saat ini, di mana udara terasa tebal oleh keputusasaan. Sembilan belas bulan kampanye militer Israel, yang kembali menggila sejak gagalnya gencatan senjata pada Maret 2025, telah merenggut lebih dari sekadar bangunan. Listrik untuk instalasi desalinasi air diputus, perbatasan disegel, dan truk-truk berisi makanan, obat-obatan, serta bahan bakar terhenti di perbatasan. PBB menyebutnya kelaparan buatan manusia, dengan 65.000 anak-anak—bayi-bayi yang seharusnya tertawa, bukan menangis kelaparan—berisiko mati. Ben-Gvir, dengan pernyataannya, seolah memutar pisau di luka yang sudah menganga. Apakah ini sekadar politik, atau sesuatu yang lebih gelap, yang menginjak-injak nurani kemanusiaan?

Ada sesuatu yang mengiris jiwa saat membaca kata-kata Ben-Gvir. Ia bukan sekadar menolak bantuan; ia menjadikannya alat untuk memeras. “Tidak ada bantuan tanpa tawanan,” katanya, seolah nyawa warga sipil Gaza—yang tak punya kuasa atas keputusan Hamas—adalah chip tawar-menawar. Ini bukan pertama kalinya Gaza dicekik blokade; sejak 2007, Israel telah membatasi masuknya barang, seringkali sebagai tekanan politik. Tapi pernyataan Ben-Gvir di saat krisis ini terasa lebih kejam, lebih terang-terangan. Di Indonesia, kita mungkin teringat ungkapan “menggenggam bara api”—memegang kuasa yang bisa menghanguskan, tapi juga membakar diri sendiri. Apa yang didapat dari kebijakan yang menghukum anak-anak demi tujuan politik?

Laporan itu menyebutkan bahwa keputusan kabinet Israel untuk mengizinkan bantuan terbatas pada Mei 2025 datang dengan syarat ketat: bantuan harus melewati Hamas dan melemahkan fungsi administratifnya. Tapi Ben-Gvir, dengan ideologi sayap kanan ekstremnya, menolak bahkan kompromi ini. Ia ingin bantuan dihentikan total, seolah kelaparan bisa memaksa Hamas menyerah. Namun, data dari otoritas kesehatan Gaza menunjukkan bahwa blokade telah mendorong 65.000 anak ke ambang kematian. PBB memperingatkan, setiap hari penundaan bantuan adalah nyawa yang hilang. Benarkah strategi ini akan membebaskan tawanan, atau justru memperdalam kebencian yang menyulut konflik?

Kita berhenti sejenak, mencerna angka-angka itu. Enam puluh lima ribu anak. Bayangkan sebuah kota kecil, penuh wajah-wajah polos, kini pucat karena lapar. Di Jakarta, kita mungkin mengeluh saat listrik padam sejam, tapi di Gaza, tanpa listrik, air bersih pun lenyap. Instalasi desalinasi mati, rumah sakit kehabisan bahan bakar, dan obat-obatan tak sampai. Juru bicara PBB, Stéphane Dujarric, dengan nada putus asa, menegaskan bahwa bantuan harus sampai ke semua orang berdasarkan kebutuhan, bukan politik. Tapi Ben-Gvir, dengan nadanya yang keras, seolah tak mendengar. Apa yang membuat seseorang begitu yakin bahwa penderitaan massal adalah jawaban?

Hukum internasional, yang seharusnya menjadi kompas kemanusiaan, jelas dalam hal ini. Konvensi Jenewa Keempat melarang hukuman kolektif terhadap warga sipil, dan Statuta Roma 1998 mengkategorikan penggunaan kelaparan sebagai senjata perang sebagai kejahatan perang. Ancaman Ben-Gvir, yang menggantungkan nyawa warga sipil pada pembebasan tawanan, mencium aroma pelanggaran ini. Meski ancaman verbal belum tentu cukup untuk dijatuhi hukuman, pernyataannya bisa jadi bukti niat jika kebijakan itu terwujud. Di Indonesia, kita mungkin bilang, “jangan main-main dengan nyawa orang.” Tapi di Gaza, permainan ini sudah berlangsung lama.

Konteks lokal Gaza menambah kepedihan cerita ini. Gaza bukan sekadar titik di peta; ia adalah rumah bagi dua juta jiwa yang hidup dalam “penjara terbuka,” seperti yang sering disebut aktivis. Blokade sejak 2007 telah membuat ekonomi lumpuh, pengangguran merajalela, dan ketergantungan pada bantuan internasional tak terelakkan. Ketika Ben-Gvir menyerukan penghentian bantuan, ia bukan hanya memblokir truk; ia memutus harapan. Saya teringat peribahasa Jawa: “Urip iku urup”—hidup itu harus menyala. Tapi bagaimana nyala itu bertahan di tengah kegelapan yang sengaja diciptakan?

Organisasi kemanusiaan, dari PBB hingga kelompok hak asasi, mengecam pendekatan ini. Mereka menyebut rencana bantuan yang dikontrol ketat oleh Israel sebagai “tidak memadai” dan “berbahaya,” memaksa warga sipil melintasi zona pertempuran untuk mendapatkan makanan. Dujarric memperingatkan bahwa situasi di Gaza “tidak tertahankan” setelah hampir sepuluh minggu pembatasan bantuan. Sementara itu, Ben-Gvir tetap bergeming, seolah krisis ini hanyalah permainan catur politik. Di sini, kita bertanya: di mana batas antara strategi dan kekejaman? Kapan kebijakan berhenti menjadi alat kekuasaan dan mulai menjadi cermin kehancuran moral?

Ada ironi pahit dalam situasi ini. Ben-Gvir, dengan partainya Otzma Yehudit, mengklaim memperjuangkan keamanan Israel. Tapi dengan menjadikan bantuan sebagai senjata, ia mungkin justru menabur benih konflik yang lebih dalam. Kebencian yang lahir dari kelaparan dan penderitaan bukanlah jalan menuju perdamaian. Di Indonesia, kita tahu betul bahwa luka sejarah—entah dari konflik di Aceh atau Maluku—membutuhkan dialog, bukan tekanan. Gaza, dengan sejarahnya yang penuh luka, tak akan sembuh dengan cara ini. Apa yang tersisa jika kemenangan diraih di atas tumpukan penderitaan?

Saat menulis ini, saya membayangkan seorang ibu di Gaza, memeluk anaknya yang kelaparan, tak tahu apakah besok akan ada makanan. Di sisi lain, ada keluarga tawanan Israel, menanti kabar di tengah kecemasan. Kedua penderitaan ini nyata, tapi solusi Ben-Gvir—mengorbankan satu demi yang lain—adalah jalan buntu. Hukum internasional, nurani kemanusiaan, dan bahkan logika sederhana berbisik: bantuan bukanlah alat tawar-menawar. Kita, yang menyaksikan dari jauh, mungkin merasa tak berdaya. Tapi bisikkan dalam hati kita tetap sama: ini salah. Ini harus dihentikan.

Narasi ini tak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa Gaza adalah cermin dunia kita. Di sini, politik, kekuasaan, dan kemanusiaan bertabrakan. Ben-Gvir mungkin melihat dirinya sebagai pembela bangsanya, tapi dengan ancamannya, ia menginjak garis yang memisahkan strategi dari kekejaman. Enam puluh lima ribu anak, jutaan jiwa, dan sebuah pertanyaan yang menggantung: sampai kapan kita membiarkan nyawa menjadi pion dalam permainan politik? Di Indonesia, kita punya doa sederhana: “Selamatkan yang bisa diselamatkan.” Mungkin, di Gaza, doa itu adalah satu-satunya harapan yang tersisa.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *