Opini
Belanda Tak Lagi Bungkam, Israel Dianggap Ancaman

Untuk pertama kalinya dalam sejarahnya, Belanda—negara yang tenang, rapi, dan dikenal lebih suka bunga tulip daripada konflik diplomatik—memasukkan Israel dalam daftar negara yang mengancam keamanan nasionalnya. Ya, Israel, bukan Iran, bukan Korea Utara, bukan Rusia. Tapi Israel—negara yang setiap jamnya menyebut diri sebagai korban, tetapi dalam banyak hal justru lebih sering berperan sebagai operator yang gesit dalam urusan mengganggu ketenangan bangsa lain. Ironis, memang. Tapi justru di situlah letak absurditasnya.
Laporan resmi dari Dutch National Coordinator for Security and Counterterrorism (NCTV) tidak main-main. Judulnya saja sudah cukup menegaskan arah tembak: Assessment of Threats from State Actors. Di dalamnya, disebutkan bahwa pemerintah Israel terlibat dalam upaya memanipulasi opini publik Belanda, menyebarkan disinformasi, dan bahkan menyusupkan dokumen yang berisi data pribadi warga sipil Belanda—bukan lewat jalur diplomatik, melainkan melalui “saluran tidak resmi.” Canggih betul. Kalau ini dilakukan oleh negara Dunia Ketiga, mungkin sudah heboh di sidang PBB, dengan para duta besar dari Barat mengangkat alis, menyuarakan kekhawatiran atas “integritas demokrasi.” Tapi ini Israel, dan banyak yang masih pura-pura kaget.
Jadi, bagaimana rasanya ketika sebuah negara kecil di Eropa Barat yang biasanya adem-ayem soal urusan Timur Tengah tiba-tiba bersuara lantang dan tegas? Rasanya seperti melihat seseorang yang selama ini diam di sudut pesta, mendadak berdiri dan membalikkan meja. Tentu mengejutkan, tapi juga mengundang tepuk tangan dari mereka yang sudah terlalu lama melihat meja itu ditelanjangi martabatnya.
Kasus pemicu? Cukup absurd juga. Berawal dari laga sepak bola antara Maccabi Tel Aviv melawan tim Belanda yang berujung kericuhan. Setelah tim Israel kalah, para pendukungnya memicu ketegangan di Amsterdam. Dan, entah mengapa, sesudahnya muncul dokumen yang berisi informasi pribadi orang-orang Belanda yang dianggap “bermasalah.” Lalu tersebarlah dokumen itu ke para jurnalis dan politisi, dikirim oleh sebuah kementerian Israel—tentu saja secara “tidak resmi.” Rasanya seperti sedang menonton episode Black Mirror, hanya saja pemainnya memakai jas diplomatik dan dasi biru-putih.
Sampai di sini, seseorang mungkin masih bertanya: apakah benar ini semua pantas disebut “ancaman terhadap keamanan nasional”? Jawabannya tergantung, tentu. Tapi jika kita bayangkan hal serupa dilakukan oleh Iran—mengirim data warga ke politisi Eropa, menyusupkan disinformasi, dan mengancam lembaga peradilan internasional—mungkin Belanda, dan semua negara Uni Eropa, sudah menyusun sanksi dan embargo dalam waktu kurang dari 24 jam.
Namun tidak, yang melakukannya adalah Israel. Negara yang merasa dirinya di atas kritik, karena sejarahnya, karena holokausnya, karena dukungan tak bersyarat dari Washington. Negara yang bisa menembak jurnalis seperti Shireen Abu Akleh dan masih diundang pidato di parlemen-parlemen Barat. Negara yang bisa mengurung dua juta manusia di Gaza, memblokade bantuan kemanusiaan, dan tetap disebut “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah.” Lucu, bukan?
Tapi Belanda tampaknya mulai kehilangan kesabarannya. Dan ini bukan hanya soal sepak bola atau data pribadi. Ini menyangkut ancaman nyata terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC)—lembaga hukum tertinggi untuk kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang kebetulan bermarkas di Den Haag. Laporan NCTV menyebut tekanan serius yang dilakukan oleh Israel dan Amerika Serikat terhadap ICC, termasuk kampanye intimidasi, ancaman langsung, bahkan pemantauan terhadap jaksa dan hakim.
Bayangkan. Lembaga peradilan yang mestinya bebas dari tekanan politik, malah menjadi target dari negara-negara yang mengklaim dirinya penjaga tatanan dunia. Ironi global yang semakin lebar jurangnya: negara yang menginvasi diberi hak veto, negara yang dijajah diminta “tenang,” dan negara yang mengancam hakim disebut “sekutu strategis.” Maka tidak heran jika Belanda, sebagai tuan rumah ICC, merasa perlu berbicara. Setidaknya untuk menjaga wajah.
Dan mari jangan lupa soal spyware. Israel selama ini telah terkenal sebagai eksportir alat pengintai mutakhir seperti Pegasus, yang disalahgunakan untuk menyusup ke ponsel para aktivis, wartawan, bahkan kepala negara. Di masa lalu, Belanda memang pernah mengungkap kekhawatiran soal spyware buatan Israel. Namun dalam laporan terbaru ini, mereka memutuskan tak menyebut Israel dalam bagian “spionase.” Sebuah keputusan yang tampaknya lebih politis ketimbang teknis. Atau, mungkin mereka ingin menyimpannya untuk babak selanjutnya. Siapa tahu.
Di tengah semua ini, pertanyaan besar menggantung di udara: apakah negara-negara lain akan mengikuti langkah Belanda? Atau, seperti biasa, menunggu sampai ada yang mengakuinya lebih dulu? Di banyak negara, dari Prancis hingga Indonesia, pengaruh Israel mungkin tidak selalu tampak. Tapi jika diselami lebih dalam, ada begitu banyak operasi senyap—dari lobi kebijakan, penetrasi media, hingga intervensi kampus dan opini publik—yang layak dicurigai. Tidak semua diplomasi berlangsung di meja bundar; beberapa berlangsung di server gelap dan ruang data pribadi.
Maka jika Belanda saja sudah mulai bersuara, apa alasan negara lain untuk tetap diam? Terutama negara-negara Global South yang selama ini justru paling merasakan dampak ketimpangan global dan arogansi kekuatan. Dunia ini sudah terlalu lama hidup dalam paradigma yang timpang: pelaku bisa memilih hukum mana yang berlaku untuknya, sementara korban hanya bisa berharap ada negara kecil yang cukup berani bersuara.
Tulisan ini tidak sedang mendorong konfrontasi. Tidak pula menyarankan embargo atau pemutusan hubungan diplomatik. Tapi kita harus mulai menyebut sesuatu dengan namanya yang sebenarnya. Ketika sebuah negara menyebar disinformasi, mengancam hakim internasional, dan menyusupkan spyware ke ponsel warga sipil, maka ia bukan sekutu—ia adalah ancaman. Dan ketika kita gagal menyebut ancaman sebagai ancaman, maka kita ikut menjadi bagian dari normalisasi kekacauan.
Di ujung narasi ini, mungkin kita bisa menyisipkan satu harapan kecil: semoga langkah Belanda bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah diplomasi Eropa, tetapi menjadi awal dari kesadaran kolektif bahwa keamanan nasional tidak boleh dikompromikan oleh diplomasi basa-basi, apalagi oleh negara yang gemar bertindak seolah kebal terhadap hukum.
Toh, jika yang dikhianati adalah kedaulatan, maka siapa pun pelakunya pantas disebut ancaman. Meskipun ia datang dengan dasi rapi, membawa cerita tentang penderitaan masa lalu, dan menuntut simpati sambil menggenggam kunci sel penjara bagi masa depan.
Pingback: Bentrokan Hooligan Maccabi Tel Aviv di Amsterdam